JAKARTA, GRESNEWS.COM — Peringatan Hari Ulang Tahun Tentara Nasional Indonesia (TNI) ke-71, yang jatuh pada tanggal 5 Oktober lalu, ternoda oleh beberapa aksi kekerasan yang dilakukan aparat TNI terhadap wartawan. Dampaknya, puncak acara HUT TNI yan digelar secara sederhana di Markas Besar TNI di Cilangkap, Jakarta Timur pun semakin senyap akibat adanya "boikot" dari wartawan.

Para jurnalis dari organisasi wartawan seperti Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI), dan Pewarta Foto Indonesia (PFI) sepakat untuk tidak meliput acara HUT TNI. Sikap ketiga organisasi di atas diambil akibat terjadinya beberapa kasus tindakan represif dilakukan aparat TNI terhadap para jurnalis.

Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers mencatat, setidaknya, ada dua tindakan kekerasan yang dilakukan oknum TNI terhadap para jurnalis dalam kurun waktu dua bulan belakangan. Kasus pertama terjadi pada (15/8) lalu. Jurnalis Harian Tribun Medan Array dianiaya oknum TNI AU saat dirinya hendak mewawancarai warga Sirerejo, Medan, yang terlibat sengketa lahan dengan TNI.

Array sudah berteriak sambil menunjukkan kartu identitasnya sebagai jurnalis, namun tindak kekerasan tak dapat ia hindarkan. Para anggota TNI AU tetap melakukan pemukulan terhadap Array. "Selain Array, sejumlah jurnalis lain juga terkena represifitas oknum TNI tersebut," bunyi keterangan LBH Pers yang diterima gresnews.com.

Kasus kedua terjadi pada Minggu (2/10) lalu. Jurnalis Net TV Soni Misdananto diduga dianiaya anggota Batalion Infanteri Lintas Udara 510 Bajra Yudha Kostrad saat meliput perayaan 1 Syuro. Terkait kasus-kasus kekerasan yang dilakukan anggota TNI kepada wartawan ini, menurut anggota tim Advokasi AJI Aryo Wisanggeni, bukanlah hal baru.

"Kasus kekerasan oleh TNI sebenarnya bukan sesuatu yang baru. AJI punya data kekerasan sejak tahun 1997. Setiap tahun kasus kekerasan secara umum tidak pernah kurang dari 30 dan dari kasus kekerasan itu selalu melibatkan TNI," kata Aryo, Kamis (6/10).

Selain kasus kekerasan terhadap jurnalis, LBH Pers juga mencatat, TNIlterlibat di lebih dari 8 kegiatan pembubaran berbagai kegiatan masyarakat seperti diskusi, pemutaran film dan beberapa acara ilmiah lainya. Terkait hal itu, Direktur Eksekutif LBH Pers Nawawi Baharudin menyatakan, pihaknya menyayangkan tindakan kekerasan oleh aparat TNI itu.

"Tindakan tersebut adalah tindak pidana penganiyaan seperti dalam KUHP dan juga pelanggaran terhadap Pasal 18 UU Pers No 40 Tahun 1999 yang menyebutkan, pidana bagi orang yang sengaja melakukan tindakan yang menghambat atau menghalangi kerja jurnalistik, dengan ancaman pidana 2 tahun penjara dan denda Rp500 juta," kata Nawawi.

Nawawi juga mengingatkan, tindakan represif aparat TNI terhadap sipil termasuk wartawan bertentangan dengan Sapta Marga/Sumpah Prajurit. Dalam butir kedua disebutkan, TNI akan tunduk kepada hukum dan memegang teguh disiplin keprajuritan.

"Oleh karena itu, Panglima TNI bersama kepolisian harus mengusut tuntas peristiwa tersebut dengan mengadakan menyelidikan bersama terkait dugaan tindak pidana penganiayaan seperti dalam KUHP dan juga UU Pers. Hal ini mendesak, karena kami tidak ingin TNI menjadi lembaga yang ikut melanggengkan impunitas terhadap pelaku kekerasan," kata Nawawi.

Atas nama LBH Pers, Nawawi juga menyatakan bahwa tindakan pembubaran paksa terhadap acara-acara diskusi, pemutaran film dan lain-lain bukanlah tugas TNI. "Kami meminta kepada Panglima TNI untuk segera mengevaluasi kerja-kerja intitusi TNI yang berhubungan dengan jurnalis/media dan memberikan peringatan keras kepada para anggota TNI untuk menjaga hubungan baik kepada media dan masyarakat," papar Nawawi.

"Karena media adalah salah satu corong demokrasi yang semestinya digunakan TNI sebagai alat pendekatan kepada masyarakat secara luas," sambungnya.

APRESIASI DAN KRITIK — Dalam momentum HUT TNI ke-71, pengamat militer Khairul Fahmi memberi apresiasi sekaligus kritik terhadap TNI. "Yang patut diapresiasi adalah upaya pembinaan kekuatan TNI untuk mencapai Minimum Essential Forces (MEF) di tengah keterbatasan anggaran. Modernisasi teknologi persenjataan dan peralatan tempur utama (alutsista) dengan menitikberatkan pada kemandirian negara adalah langkah yang bijak dan strategis," kata Fahmi kepada gresnews.com (6/10).

Namun demikian, Fahmi juga menilai, upaya-upaya itu sebetulnya masih menyisakan sejumlah persoalan hingga saat ini. "Persoalan prioritas, spesifikasi, standardisasi dan sinkronisasi dapat berdampak pada efektivitas, malfungsi atau tidak optimalnya pemanfaatan alutsista," kata Fahmi.

"Sedang kelemahan-kelemahan dalam hal pemeliharaan dan perawatan alutsista dapat berdampak pada terjadinya kecelakaan, pemborosan dan kebocoran anggaran," sambungnya.

Politisi Partai Amanat Nasional (PAN) ini juga menyampaikan sejumlah kritik bagi pemerintahan Jokowi dan pimpinan TNI. Menurutnya, visi pertahanan pemerintahan saat ini masih didominasi persepsi pimpinan TNI. Fahmi pun mengingatkan agar presiden mampu mengendalikan kekuatan militer, bukan sebaliknya.

"Alih-alih menunjukkan visi dan kemampuannya mengendalikan kekuatan militer, pemerintahan Jokowi yang merupakan hasil pemilihan umum yang demokratis justru tampak menggunakan kekuatan TNI sebagai ujung tombak dalam pelaksanaan agenda-agenda politik dan pembangunan," papar Fahmi.

Menurutnya, komunikasi Jokowi dengan pihak militer yang selama ini dilakukan dengan mengandalkan pengaruh sejumlah purnawirawan TNI harus dibawa ke level yang minimal. "Presiden Joko Widodo tidak boleh beralasan tak memiliki pengalaman yang cukup terkait interaksinya dengan militer—untuk kemudian memilih bermain aman," katanya.

Selain itu, Fahmi melihat, persepsi ancaman terhadap kedaulatan dan keamanan nasional serta unjuk kekuatan dan kemampuan pertahanan masih didominasi oleh cara pandang TNI dalam membangun citranya. "Pengembangan doktrin Sistem Pertahanan Semesta (Sishanta) dan implementasi kebijakan poros maritim belum betul-betul tercermin dalam postur pertahanan yang dibangun saat ini. Di sisi lain, Operasi Militer Selain Perang (OMSP) yang digelar dalam rangka mendukung berbagai agenda pembangunan nasional, faktanya justru cenderung berlebihan dan tanpa aturan main yang jelas," kata Fahmi.

Fahmi lantas menyoroti pembangunan sektor pertahanan yang lebih menitikberatkan pada aspek pembinaan kekuatan berpotensi menyebabkan kerapuhan. "Memelihara kekuatan yang besar tanpa didukung peningkatan kemampuan dan pembangunan karakter secara memadai, akan berbahaya," kata Fahmi.

"Terlebih jika kemudian keuntungan perdamaian berdampak pada minimnya penggunaan kekuatan militer, hal itu dapat menyebabkan meningkatnya angka pengangguran di tubuh militer," sambungnya.

Disinggung soal kesederhanaan perayaan HUT TNI, Fahmi menyatakan, perayaan sederhana HUT TNI justru seperti upaya politisasi. "Kalau bahasa gaul, ini semacam lebay dan baper," katanya.

"Negara ini tak pernah benar-benar jauh dari krisis. Kalau itu menjadi alasan, saya justru bertanya kenapa kesederhanaan itu baru dilakukan sekarang? Apa pesan yang ingin disampaikan? Menunjukkan rezim sipil ini gagal? Ada aroma kurang sedap dalam unjuk kesederhanaan itu," sambung Fahmi.

Fahmi juga mengkritisi hajat sederhana TNI yang dikaitkan dengan tidak adanya alutsista terbaru yang hendak dipamerkan kepada masyarakat. "Saya juga heran dengan pernyataan ini. Kemana perginya kreativitas? Setahu saya, unjuk kebolehan dan kekuatan tak selalu berkait dengan adanya alutsista baru. Lha nyatanya, beberapa tahun lalu, kapal hibah eks Pelni yang direkondisi saja dipamerkan. Begitu juga dengan kendaraan-kendaraan amfibi tua eks Uni Soviet yang masih bisa dipamerkan hingga menimbulkan rasa bangga dan rasa hebat lantaran kita dapat merawat dan menjaganya hingga tetap dapat digunakan, ada hidden agenda nih aromanya," pungkasnya.

SEDERHANA - Peringatan HUT TNI ke-71 pada Rabu (5/10) memang diselenggarakan dalam suasana yang lebih senyap dari biasanya. Selain tak dihadiri Panglima Tertinggi TNI Presiden Joko Widodo (Jokowi), HUT TNI juga tak dimeriahkan parade defile, serta minus pertunjukan alat utama sistem persenjataan (alutsista) paling mutakhir.

Padahal, tiap kali HUT TNI dirayakan, hal yang paling ditunggu sebagian besar masyarakat adalah pertunjukan alutsista dan parade defile. Dua hal tersebut pula yang kerap menimbulkan rasa kagum dan rasa bangga masyarakat terhadap TNI.

Absennya Jokowi di Cilangkap disebabkan kedatangan Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Harry Azhar Aziz ke Istana Merdeka. Harry datang untuk menyampaikan Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) I 2016. Sekretaris Kabinet Pramono Anung mengatakan, ketidakhadiran Jokowi di Cilangkap sudah dikomunikasikan terlebih dulu kepada Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo.

"Sesuai dengan pembicaraan itu, Presiden akan hadir dalam rangkaian HUT TNI yang di luar Jakarta," ujar Pramono di Kantor Presiden (5/10).

Jokowi pun selanjutnya terbang ke Natuna, Kepulauan Riau, menyaksikan Operasi Angkasa Yudha 2016. Peringatan HUT TNI kali ini memang tidak dilaksanakan secara terpusat, sebagaimana halnya peringatan tahun-tahun sebelumnya. Tahun ini, HUT TNI diperingati di tiap daerah dengan berbagai kegiatan seni, budaya, maupun sosial.

Adapun mengenai absennya parade defile, Gatot menyebut kondisi ekonomi nasional sebagai alasannya. "Kita sama-sama tahu, pemerintah dan rakyat Indonesia dalam kondisi ekonomi yang sedang berusaha bersama-sama bangkit, sehingga tidak sepantasnya TNI melakukan upacara besar-besaran" kata Gatot sehabis upacara peringatan HUT TNI ke-71.

Gatot juga mengatakan, tidak adanya pertunjukkan alutsista lantaran pada tahun ini tidak ada kebaruan alutsista di TNI. "Pada 2015 kami sudah tunjukkan semua alusista yang ada, yang terbaru. Sekarang belum ada yang baru, belum datang lagi. Tahun 2017 yang baru akan datang," ujar Gatot.

Gatot lantas menyampaikan bahwa hakikat parade defile dan pertunjukan atraktif alutsista adalah laporan TNI kepada rakyat. "Jadi kalau sama dengan yang tahun lalu, buat apa?" katanya.

Selanjutnya, Gatot menyatakan, gagasan merayakan HUT TNI kali ini dengan cara-cara sederhana justru timbul dari internal TNI sendiri. Presiden Jokowi yang diberitahu akan hal itu juga merespons-nya dengan positif. Meski diselenggarakan dengan sederhana, Gatot yakin bahwa peringatan HUT TNI kali ini tetap berjalan penuh khidmat.

Sebagai catatan, HUT TNI ke-70 tahun 2015 lalu diselenggarakan di Pantai Indah Kiat, Cilegon, Banten, dengan sangat meriah. Seluruh alutsista terbaik dipertunjukkan ke masyarakat. Sejumlah demonstrasi pun tak luput dipertontonkan. TNI Angkatan Udara menggelar berbagai demonstrasi operasi udara—flypass, aerobatik, SAR tempur, dan penarikan banner.

Enam pesawat F-16 Fighting Falcon, enam Sukhoi Su-27 dan Su-30, serta empat pesawat T-50i Golden Eagle ditampilkan demi mendemonstrasikan serangan udara strategis. (Gresnews.com/Zulkifli Songyanan)

BACA JUGA: