JAKARTA, GRESNEWS.COM - Sidang Asril Bunyamin dan Mohamad Aris, dua orang kader Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dari kubu Djan Faridz sebagai Ketua Muktamar Jakarta yang menggugat Surat Keputusan (SK) Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia yang mengesahkan Personalia Kepengurusan PPP yang diketuai Romahurmuziy Muktamar Pondok Gede, Jakarta Timur berjalan alot. Dalam persidangan di Pengadilan Tata Usaha Negara, Rabu (21/9) terkuak bahwa syarat yang diajukan pihak penggugat tak lengkap sebagaimana ketentuan Peraturan Menteri Nomor 37 tahun 2015. Sesuai pasal tersebut, meminta surat bahwa partai yang mendaftarkan tidak dalam sengketa yang dikeluarkan mahkamah partai yang masih diakui oleh Menkum HAM dan itu tidak dipenuhi penggugat.

Sidang Rabu, (20/9) pihak penggugat menghadirkan saksi fakta untuk diminta keterangan terkait Muktamar PPP Jakarta dan proses akte yang diajukan ke Kemenkum HAM. Ada dua saksi yang dihadirkan penggugat yakni Teddy Anwar dan Abraham Lunggana.

Teddy dalam penjelasannya menyatakan, pernah mengajukan persyaratan pengesahan kepengurusan PPP ke Kemenkum HAM. Namun permohonan tersebut ditolak Menkum HAM dengan alasan menunggu putusan yang sedang berjalan di pengadilan. "Hasil Muktamar Jakarta dibuatkan akte lalu didaftarkan. Tapi ditolak dengan dengan alasan menunggu putusan di pengadilan," aku Teddy.

Ia juga mengaku telah memenuhi persyaratan yang untuk mendaftarkan pengesahan kepengurusan PPP Muktamar Jakarta. Diantara syarat yang dilampirkan adalah Anggaran Dasar, Anggaran Rumah Tangga, akte notaris, NPWP.

Namun kuasa hukum tergugat Backy Krinayuda sempat menanyakan apakah juga melampirkan surat dari mahkamah partai yang diakui Kemenkum HAM. "Itu tidak perlu karena sebelumnya tidak ada sehingga tidak dilampirkan," jawab Teddy.

Sebelumnya Asril Bunyamin dan Muhamad Aris menggugat Surat Keputusan (SK) Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Surat Keputusan SK Nomor M.HH-06.AH.11.01 tahun 2016 yang mengesahkan kubu Romahurmuziy sebagai ketua Umum PPP dan Sekretaris Jenderal Arsul Sani. SK yang terbitkan oleh Menkum HAM tidak mematuhi putusan Mahkamah Agung yang memutuskan pengurus yang sah adalah kubu Djan Faridz.

SK tersebut digugat lantaran tidak mempertimbangkan putusan kasasi MA pada 2 November 2015. Dalam putusan itu mengakui bahwa kepengurusan PPP yang sah adalah hasil Muktamar Jakarta dengan Ketua Umum Djan Faridz dan dan Sekretaris Umum Dimyati Natakusumah.

Putusan amar putusan Kasasi itu berbunyi, "Menyatakan susunan kepengurusan PPP hasil Muktamar VIII PPP pada tanggal 30 Oktober sampai 2 November 2014 di Jakarta sebagaimana ternyata dalam Akta Pernyataan Ketetapan Muktamar VIII Partai Persatuan Pembangunan pada 30 Oktober sampai 2 November 2014 di Jakarta mengenai susunan personalia Pengurus Dewan Pimpinan Pusat Partai Persatuan Pembangunan masa bhakti periode 2014 sampai 2019 Nomor 17 tanggal 7 November 2014 yang dibuat dihadapan H.Teddy Anwar, S.H., SpN. Notaris di Jakarta merupakan susunan kepengurusan PPP yang sah,".

Selain itu, Teddy mengatakan bahwa Muktamar Jakarta merupakan hasil muktamar yang sah karena telah dibenarkan melalui Mahkamah Agung. Sedangkan Muktamar Pondok Gede tak dapat diakui lantaran pelaksanaan muktamar yang berdasarkan muktamar Bandung tidak sah karena telah dibatalkan.

"Muktamar Jakarta sah, kalau Muktamar Pondok Gede itu sudah almarhum karena dilandaskan pada muktamar Bandung," terang Teddy.

Dalam AD-ART partai PPP, tidak mengenal muktamar islah tapi hanya ada muktamar yang dilaksanakan dalam waktu lima tahun sekali dan muktamar luar biasa.

PERSOALKAN MUKTAMAR PONDOK GEDE - Abraham Lunggana yang juga menjadi saksi fakta dalam perkara tersebut menyatakan bahwa langkah Kemenkum HAM mengabaikan putusan MA Nomor 601 yang mengesahkan PPP kubu Djan Faridz. Seharusnya Menkum HAM menindaklanjuti dengan mengesahkan Muktamar Jakarta pimpinan Djan Faridz.

"Memang Menkum HAM menghidupkan kembali Muktamar Bandung. Padahal ada putusan 601," ungkap wakil ketua DPRD DKI Jakarta.

Selain itu, Lulung juga menyangsikan muktamar islah yang dilakukan di Pondok Gede. Menurut Lulung, tak pernah ada muktamar islah karena muktamar islah juga tidak dikenal dalam partai PPP. Lulung mangaku pernah dilakukan islah antara pihak yang berkonflik tetapi proses islah itu tidak mendapatkan kesepakatan kedua belah pihak.

"Masa ada muktamar islah tapi hasilnya aklamasi. Kan disitu ada pihak yang berkonflik," kata Lulung. Bahkan dia mengaku sebagai pihak yang berkepentingan di PPP malah tidak diajak dalam pelaksanaan muktamar.

Lulung juga mengaku kecewa jalan penyelesaian yang dimediasi oleh pemerintah. Penyelesaian dengan mengesahkan kubu Romi, sambung Lulung, membawa dampak bagi dirinya untuk memperoleh keadilan hukum.

Salah satu dampaknya terkait dengan pendaftaran calon dalam kontestasi pemilukada. Dalam peraturan KPU, dinyatakan bahwa partai yang bisa menyatakan mendaftar adalah partai yang mendapat pengesahan dari Kemenkum HAM. Padahal ada keputusan pengadilan yang lebih tinggi.

"Bagaimana PKPU menafikan keputusan pengadilan. Sangat banyak merugikan kami," katanya.

Sementara itu, terkait surat tidak adanya sengketa partai yang menjadi persyaratan administratif dipersoalkan. Menurut kuasa hukum tergugat Backy Krinayuda menyatakan syarat surat itu mesti dikeluarkan oleh mahkamah partai yang masih terdaftar di Kemenkum HAM. Namun surat tersebut dikeluarkan oleh mahkamah partai kubu Djan Faridz seharusnya dari mahkamah partai hasil muktamar Bandung.

"Kan muktamar Jakarta dan Surabaya sengketa jadi harus kembali ke muktamar Bandung. Memang ada beberapa syarat administratif yang tak dilengkapi," pungkas Backy.

BACA JUGA: