JAKARTA, GRESNEWS.COM - Isu kebangkitan kembali Partai Komunis Indonesia (PKI) yang ditandai makin banyaknya anak muda yang memakai simbol palu arit yang identik dengan lambang negara-negara penganut paham komunis, dinilai telah terlalu meresahkan publik. Aparat keamanan menduga, isu tersebut adalah sebuah propaganda yang diciptakan untuk meresahkan masyarakat.

Atas dasar itulah, pemerintah saat ini, berupaya untuk mengusut pihak yang sengaja memulai pengguliran isu-isu kebangkitan PKI tersebut. Anggota Komisi I DPR Evita Nursanty mengatakan, isu kebangkitan kembali PKI di Indonesia bukan sebuah gerakan melainkan hanya ulah beberapa kelompok orang yang menggunakan isu tersebut untuk melakukan propaganda dengan tujuan membuat masyarakat menjadi resah.

"Setelah saya telisik, beberapa kabar hanya untuk menambah keruh saja," ungkap Evita kepada gresnews.com, Minggu (15/5).

Dia mengatakan, isu tersebut sengaja disebar via media sosial seperti Facebook dan Twitter. Meski hanya berupa isu sumir di media sosial, Evita menilai, isu ini tidak bisa dianggap enteng. "Kita tetap harus waspada dinamika yang terjadi di masyarakat. Apabila sudah sangat meresahkan masyarakat harus segera dihentikan, jadi wajar presiden memberi instruksi seperti itu," ujar Evita.

Setelah reses, kata dia, DPR berencana memanggil Panglima TNI untuk mendengarkan laporan terkait isu kebangkitan PKI dan maraknya penyitaan barang yang dianggap berbau Komunis. "Ini akan menjadi prioritas setelah reses, saya juga sudah mengkonfirmasi hal ini ke beberapa pangdam di daerah," tutup Evita.

Sebelumnya Presiden Joko Widodo mengatakan, ia mendapat laporan dari beberapa tokoh agama dan tokoh masyarakat yang meyakini bahwa PKI akan bangkit kembali. Presiden pun memerintahkan pimpinan aparat penegak hukum, mulai dari TNI, Polri, Kejaksaan, hingga Badan Intelijen Negara (BIN) untuk menindaklanjuti informasi itu. Setelah dilakukan pengerahan personel, simbol-simbol komunis memang ada ditemukan di beberapa daerah dan sudah disita oleh aparat keamanan.

Wakil Ketua Komisi I DPR Meutya Hafid mengatakan, dia mendukung langkah presiden agar aparat menindak tegas jika terjadi penyebaran paham yang bersifat komunisme. Akan tetapi dalam menindak laporan tersebut diharapkan aparat dapat melihat terlebih dahulu kontennya.

Meutya mangatakan, jangan sampai terjadi kasus penyitaan buku-buku yang dianggap mengandung faham komunisme secara serampangan. Dia mengaku setuju jika buku-buku yang disita tersebut benar-benar mempropagandakan paham komunis, harus segar disita. Akan tetapi jangan sampai penyitaan menjadi membabi buta ke buku yang hanya menyinggung tentang komunisme untuk tujuan akademik.

"Buku kampus jurusan FISIP (ilmu sosial-politik) kan memberikan pemahaman ilmu akan ajaran komunisme, jangan ikut ditindak. Harus dibedakan," kata Meutya kepada gresnews.com, Minggu (15/5).

Dia mengatakan, pemerintah harus menelaah kembali penyitaan tersebut, apakah benar isi dari buku itu meresahkan, jangan sampai beberapa buku terkait pengayaan ilmu ikut disita. Jika itu terjadi, maka akan menjadi pembatas kreativitas dan hambatan bagi penulis dan perkembangan ilmu.

Meutya menambahkan, gejala yang bermula dari maraknya kaos berlambang palu arit ini perlu diinvestigasi lebih dalam lagi. Investigasi agar jelas apakah betul ada gerakan baru yang menyebarkan paham konunisme atau hanya segelintir orang menggunakan isu untuk kepentingan lain.

Setelah itu pemerintah dapat melakukan tindakan dengan tolak ukur yang jelas. Jika ada temuan harus segera di-share ke publik agar masyarakat jelas dan tidak risau. "Intinya harus ditelusuri dulu lebih dalam," ungkapnya

ANCAMAN KEBEBASAN BEREKSPRESI - Direktur Yayasan Satu Dunia Firdaus Cahyadi mengungkapkan, pemerintah lewat aksi sweeping terhadap segala hal berbau komunisme ini, dinilai telah memulai ancaman terhadap kebebasan berekspresi warganya dengan mengatasnamakan larangan penyebaran paham komunisme. "Di Maluku Utara, bahkan seorang aktivis lingkungan hidup ditangkap gara-gara mengenakan kaos Pecinta Kopi Indonesia (PKI)," ujar Firdaus melalui pesan yang diterima gresnews.com, Minggu (15/5).

Di Jakarta, sebuah toko yang menjual kaos grup band Kreator dirazia karena di dalam kaos tersebut ada gambar palu dan arit, gambar yang selama ini diidentikkan dengan Partai Komunis Indonesia. Selain itu, film dokumenter yang menggambarkan perlawanan warga yang akan menjadi korban pabrik semen dan juga nelayan yang akan jadi korban reklamasi Teluk Jakarta pun mulai diberikan label penyebar komunisme. "Pemerintahan Joko Widodo mulai menapaki model-model Orde Baru," tegasnya.

Firdaus menyayangkan tindakan pemerintah yang terkesan asal gebyah uyah itu. Padahal menurutnya sebagian besar warga dulu memilih Jokowi sebagai Presiden Indonesia karena ia dinilai bebas dari beban Orde Baru. Namun, entah mengapa Presiden Jokowi seperti tidak berdaya untuk mencari alternatif model pembangunan di luar Orde Baru.

Publik pun harus mulai mengingatkan Presiden Jokowi, bahwa fitnah komunis yang selama ini dihembuskan telah menjadi pintu masuk bagi upaya memutar jarum jam ke belakang, kembali ke era otoritarian Orde Baru. Pemerintah Joko Widodo, menurut Firdaus Cahyadi, harus kembali pada konstitusi yang melindungi kebebasan warga untuk berekspresi, berserikat dan berbagi informasi. "Jangan sampai fitnah komunis justru menyebabkan presiden memunggungi konstitusi," tegasnya.

Sikap pemerintah sendiri sepertinya memang sulit berubah terkait isu ini. Sebelumnya, Menteri Pertahanan Ryamizard Ryaccudu menegaskan, pihaknya tidak mentolerir penggunaan atau pemanfaatan apapun yang berbau komunis di Indonesia. Ryamizard melandaskan hal ini berdasarkan Tap MPR dan UU Nomor 27 tahun 1999 tentang Keamanan Negara. "Jadi apapun yang berbau komunis ada hukumnya. Dilarang," kata Ryamizard di kantor Kemenhan, Jl Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Jumat (13/5).

Seluruh buku yang berbau komunis, barang-barang yang berbau komunis hingga informasi komunisme di internet, seluruhnya dilarang. Ryamizard menegaskan akan bersikap tegas kepada siapapun atas penggunaan atribut terlarang di Indonesia itu. "Jadi semua yang dilakukan berdasarkan undang-undang, nggak ngarang-ngarang," katanya.

Sementara terkait arahan Presiden Joko Widodo yang meminta agar aparat tidak berlebihan menyikapi komunisme, Ryamizard menilai hal itu merupakan arahan umum. Baginya, Presiden Jokowi tidak melarang penindakan terhadap penggunaan atribut komunisme. "Artinya perintah dari sana disampaikan pada seluruhnya. Baik pada aparat, kepada rakyat. Presiden Jokowi tidak bilang detil begitu," katanya.

Menurut Ryamizard, arahan Presiden bukan berarti melarang penindakan tegas atas penggunaan atribut komunisme. Justru arahan tersebut dinilainya mempertegas posisi rakyat dan aparat dalam memerangi komunisme. "Ini sudah jelas. Kalau sudah jelas, Presiden nggak usah diulang-ulang. Aparat sudah tahu yang harus dilakukan, rakyat juga harus tahu dilakukan. Jangan macam-macam begitu," tuturnya.

Ryamizard juga menegaskan, aksi sekecil apapun terkait komunisme dapat memicu kerusuhan. Dia tak ingin hal itu terjadi di Indonesia. "Saya sebagai Menhan enggak ingin di republik ini ribut-ribut. Maunya saya aman enggak ada apa-apa, apalagi perkelahian pertumpahan darah. Ini enggak boleh terjadi," katanya.

Dikatakan Ryamizard, dirinya selalu mengingatkan agar tidak ada lagi pihak-pihak yang menggunakan atribut atau menyebarkan informasi apapun tentang komunisme. Menurutnya hal itu hanya membuka luka lama. "Yang dulu sudahlah. Sudah damai kenapa diungkit lagi. Kalau dipancing-pancing pasti ada kejadiannnya itu," katanya.

Dia mengakui, mungkin masih ada warga yang tidak memahami larangan tersebut. Oleh karena itu, informasi tentang larangan penggunaan atribut komunisme harus disosialisasikan lagi. Melawan komunisme, kata Ryamizard, sama dengan melawan terorisme. "Seperti kita benci radikal agama. Sama juga ini ke kanan, ini ke kiri. Pancasila di tengah. Enggak kiri ke kanan. Kita kembali ke situ," ucapnya.

PROSEDUR PENINDAKAN - Terkait masalah ini, Kapolri Jenderal Badrodin Haiti telah mengeluarkan perintah tentang penindakan paham komunisme. Dalam surat perintah nomor 337/V/2016 diperintahkan agar petugas polisi tidak boleh melakukan razia serampangan.

Seperti dalam surat yang beredar, Jumat (13/5) disebutkan penindakan hukum harus merujuk pada Tap MPRS No XXV/1999 dan UU No 27/1999. Petugas kepolisian diperintahkan melakukan penyelidikan terhadap penyebaran komunisme, marxisme dan Leninisme.

Tak hanya itu saja, penindakan hukum juga dilakukan pada mereka yang memakai atribut komunisme, memposting foto palu arit, pemutaran film yang memuat paham komunisme, termasuk memproduksi dan melakukan penyitaan barang bukti.

Namun dalam penindakan hukum itu mesti bersandarkan pada aturan sebagai berikut:

- Melibatkan ahli terkait dalam hal menentukan unsur menyebarkan atau mengembangkan ajaran komunisme.
- Tidak mengedepankan cara razia tetapi lebih mengedepankan cara deteksi atau penyelidikan.
- Tidak melakukan penyitaan buku-buku yang ada di kampus, toko dan percetakan.
- Untuk kegiatan pemutaran film agar diteliti konten ajaran komunismenya lebih dahulu.
- Melaksanakan koordinasi dengan unsur jaksa untuk menyamakan persepsi dan kelancaran penyidikan.
- Khusus untuk buku-buku yang diduga menyebarkan paham komunisme, Marxisme dan Leninisme cukup diambil sampel dan diserahkan ke pihak kejaksaan untuk diteliti isinya.
- Melarang dan tidak menolerir ormas atau kelompok masyarakat yang main hakim sendiri seperti razia, penangkapan, penyitaan, pengusiran, penghentian kegiatan dan tindakan ilegal lainnya

Soal penindakan, Badrodin menegaskan, aparat keamanan memiliki batasan tertentu seperti yang diatur undang-undang. "Kita ada batasannya, kita tidak razia tetapi gunakan penyelidikan. Kalau ditemukan di jalan itu kan terbuka pasti kita minta keterangannya. Sweeping saya pikir enggak ada, sudah kami tekankan kalau ada buku tentu kan tidak boleh disita dari toko buku, kampus, percetakan," terang Badrodin di Istana Negara, Jl Veteran, Jakarta Pusat, Jumat (13/5).

Meski tak akan menyita buku-buku, tetapi polisi akan meminta sampel. Setelah itu diserahkan ke kejaksaan untuk diteliti. "Kalau film, kontennya harus kita pelajari apa yang ada di dalam film itu," sebut Badrodin.

Untuk menafsirkan apakah suatu produk seperti buku, film, dan lainnya berbau komunis atau tidak, Badrodin menegaskan, penyidik Polri tidak akan menggunakan selera pribadi. "Apakah itu masuk komunisme itu kita gunakan ahli, bukan penafsiran pribadi penyidik termasuk kategori komunisme," ujarnya.

Selain prosedur penindakan, Kapolri juga meminta masyarakat tak main hakim sendiri terkait penanganan isu komunisme. "Masyarakat juga diimbau untuk tidak main hakim sendiri. Jika menemukan hal-hal yang berkaitan dengan paham komunis laporkan pada petugas. Petugas kepolisian akan melakukan langkah hukum secara proporsional," kata Kadiv Humas Mabes Polri Brigjen Boy Rafli Amar, Jumat (13/5).

Aturan Kapolri itu dikeluarkan hari ini berisi bagaimana melalukan penanganan terkait temuan buku atau apabila ada pemutaran film. "Petugas tidak selalu harus menindak tapi juga upaya preemtif, kerjasama dengan berbagai elemen masyarakat agar memiliki ketahanan yang baik agar tidak terpengaruh ajakan paham komunisme," tutup Boy. (dtc)

BACA JUGA: