JAKARTA, GRESNEWS.COM - Dihadapan Pansus PeLindo II DPR Direktur Utama PT Pelindo II Richard Jost Lino
 kekeuh menyatakan tak ada kesalahan dalam pengelolaan Pelindo II. Keyakinan Lino itu terang membuat sejumlah anggota pansus geram hingga geleng-geleng kepala. Sebelumnya Pansus telah membeberkan sejumlah kesalahan dalam pengelolaan Pelindo. Terutama dalam proses perpanjangan kontrak kerjasama Jakarta International Container Terminal (JICT).  

Sikap Lino yang terkesan seenaknya di hadapan rapat Pansus juga membuat kemarahan anggota Pansus mendidih. Akibatnya muncul pernyataan dan desakan dari anggota Pansus untuk membawa kasus tersebut ke ranah hukum.

Namun bukan Lino namanya, jika dengan ancaman itu kemudian nyalinya menyurut. Atas ancaman tersebut, ia malah menyatakan tak pernah takut menghadapi ancaman pidana. "Yang namanya Lino tak ada takutnya," katanya di ruang Rapat Pansus Pelindo II, Gedung DPR RI, Senayan, Kamis (3/11)

Tak hanya itu, peserta rapat juga dibuat naik turun emosinya tatkala mendengarkan jawaban Lino, saat ia ditanya tentang dasar hukum kebijakan yang diambil dalam memutuskan kontrak JICT. Lino hanya enteng menjawab "Tidak tahu, sebab saya tidak hafal," katanya.

Sebelumnya, Anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Achsanul Qosasih menyatakan menemukan beberapa penyimpangan aturan perundang-undangan ketika Lino memperpanjang kontrak Terminal Peti Kemas Jakarta (JICT) oleh Pelindo II dengan Hutchinson Port Holding (HPH). Salah satu pelanggarannya JICT tidak menjadi badan usaha pelabuhan (BUP).

"Ada pelanggaran lain termasuk di penandatanganan, perizinan Kementerian BUMN, semua ada," kata Achsanul.

Dalam rapat sebelumnya, Anggota Pansus Pelindo II, Massinton Pasaribu sempat menanyakan perihal kebenaran pemberitaan yang menyebut seusai rapat dengan Jonan di  bulan Agustus 2015, Lino menyatakan Jonan sudah sepakat dengan perpanjangan kontrak JICT. Sebab belakangan Jonan menyatakan, bahwa  Lino berbohong jika dirinya telah setuju dengan perpanjangan kontrak JICT dengan HPH.

Pansus Pelindo II menyatakan telah mendapatkan sejumlah kepastian baru terkait proses perpanjangan kontrak JICT, setelah mendapat hasil audit BPK dan pandangan sejumlah pihak. Menurut Ketua Pansus Pelindo II DPR RI, Rieke Diah Pitaloka terdapat empat poin utama yang tengah disoroti pansus, yakni, Menteri Perhubungan, baik yang lama maupun yang baru, tidak pernah menerima dokumen amandemen perjanjian kontrak manajemen antara PT Pelindo II maupun Hutchinson Port Holding (HPH) yang terkait dengan JICT.

Kedua, berdasarkan Undang-Undang 17 Tahun 2008 segala perjanjian harus didahului konsesi antara pihak PT Pelindo II dengan Kementerian Perhubungan. Ketiga, perjanjian konsesi antara Kementerian Perhubungan dan PT Pelindo II  baru terjadi 11 November 2015.

Jadi, semua amandemen perjanjian yang terjadi antara PT Pelindo II dengan JICT maupun HPH merupakan bukti ketidaktaatan dan pelanggaran terhadap Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008. "Konsesi yang terjadi tanggal 11 November 2015 tidak berlaku retroaktif," katanya.

Selanjutnya, dengan tidak ditandatanganinya konsesi oleh PT Pelindo II pada tahun 2011, terjadi kerugian negara akibat negara tidak menerima PNBP sejak 2012. Lalu tentang Circular Resolution of Shareholders, yang terkait kontrak final pengelolaan JICT 7 Juli 2015, pihak Kementerian Perhubungan RI, dalam hal ini ahli hukum, menegaskan saham dari PT. Pelindo II tetap menjadi minoritas yakni 48,9% dan Kopegmar 0,10% sedang HPH tetap mayoritas yakni 51%.

KESALAHAN-KESALAHAN PELINDO II - Sementara pihak Soemadipradja & Taher selaku penilai menegaskan sesuai dengan Perpres Nomor 39/2014, saham pihak asing dalam PMA tidak boleh melebihi dari 49%. Dengan demikian, dengan adanya bukti hukum tersebut, Soemadipradja & Taher justru menyarankan agar ada sanksi dari BKPM kepada PT Pelindo II.

Berdasarkan UU 17 Tahun 2008 dan PP 61 Tahun 2009, konsesi yang diberikan oleh otoritas pelabuhan tidak boleh dipindahtangankan ke pihak ketiga. Artinya, hak pengelolaan tidak boleh dipindahtangankan ke pihak ketiga. Kerja sama dengan pihak lain yang dilakukan pihak kedua dalam konteks business to business pun harus mendapatkan rekomendasi dari otoritas pelabuhan.

Selanjutnya, konsesi sebagaimana di maksud Pasal 92 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran adalah merupakan alas hak bagi Badan Usaha Kepelabuhanan untuk melakukan kegiatan. Jadi perjanjian antara PT. Pelindo II dengan HPH adalah perbuatan tanpa hak atau melawan hak sehingga tidak sah sebagaimana disampaikan oleh Menteri Perhubungan RI.

Lantaran temuan dari BPK dan keterangan berbagai pihak seperti Jonan dan Mantan Menhub, EE Mangindaan sudah mengindikansikan ada ketikberesan yang terjadi di PT Pelindo II. Maka Mantan Menteri Keuangan pada era Orde Baru, Fuad Bawazier pun mengusulkan kasus ini segera dibawa ke ranah hukum. "Kesalahan yang dilakukan PT Pelindo II sudah kelihatan banyak. Indikasi skandalnya kelihatan jelas," ujarnya di Jakarta, Kamis (3/11).

Karenanya ia meminta Panitia Khusus Pelindo II mengusut tuntas kasus ini, termasuk konsesi perjanjian dengan HPH dalam pengelolaan anak perusahaan Pelindo II, PT JICT, di Tanjung Priok. "Kesalahan sudah kelihatan sangat banyak sekali. Misalnya, saham PT Pelindo dikatakan mayoritas, ternyata komposisi saham tidak berubah. Ini kebohongan publik," katanya.

Sikap Lino yang terkesan seenaknya di hadapan rapat Pansus juga membuat kemarahan anggota Pansus mendidih. Akibatnya muncul pernyataan dan desakan dari anggota Pansus untuk membawa kasus tersebut ke ranah hukum.

BACA JUGA: