Oleh: Eka Martiana Wulansari *)

Partai Golongan Karya (Partai Golkar) merupakan salah satu partai politik terbesar di Indonesia. Eksistensi Partai Golkar dimulai pada masa-masa akhir pemerintahan Presiden Soekarno yaitu pada tahun 1964. Dalam Pemilu 1971 (Pemilu pertama dalam pemerintahan Orde Baru Presiden Soeharto), salah satu pesertanya adalah Golongan Karya dan mereka tampil sebagai pemenang. Kemenangan itu diulangi pada pemilu-pemilu pemerintahan Orde Baru, yaitu Pemilu 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997.

Kejadian itu dapat dimungkinkan karena pemerintahan Soeharto membuat kebijakan-kebijakan yang sangat mendukung kemenangan Golkar, seperti peraturan monoloyalitas PNS.

Setelah pemerintahan Soeharto selesai dan reformasi bergulir, Partai Golkar berubah wujud menjadi Partai Golkar, dan untuk pertama kalinya mengikuti pemilu tanpa ada "bantuan" kebijakan-kebijakan yang berarti seperti sebelumnya pada masa pemerintahan Soeharto. Pada Pemilu 1999 yang diselenggarakan Presiden Habibie, perolehan suara Partai Golkar turun menjadi peringkat kedua setelah PDIP.

Ketidakpuasan terhadap pemerintahan Megawati Soekarnoputri menjadi salah satu sebab para pemilih di Pemilu Legislatif 2004 untuk kembali memilih Partai Golkar, dan Partai Golkar menjadi pemenang Pemilihan Umum (Pemilu) Legislatif 2004.

Dualisme Pengurus
Pada awal 2015 terjadi dualisme kepengurusan dalam tubuh Partai Golkar, yang dipimpin oleh Aburizal Bakrie hasil Munas Bali dan Agung Laksono hasil Munas Jakarta. Pada awal Maret 2015, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia (Kementrian Hukum dan HAM RI) mengeluarkan Surat Keputusan yang mengesahkan Partai Golkar yang dipimpin oleh Agung Laksono. Pada April 2015, Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta mengeluarkan Putusan Sela menunda pelaksanaan surat keputusan yang dikeluarkan oleh Menteri Hukum dan HAM (Yasonna Laoly) yang mengesahkan kepengurusan Partai Golkar kubu Agung Laksono. Dengan dibacakannya putusan PTUN itu, kepengurusan Partai Golkar yang sah saat ini adalah hasil Munas Riau 2009 yang dipimpin oleh Aburizal Bakrie sebagai Ketua Umum dan Idrus Marham sebagai Sekjen.

Konflik yang terjadi di Partai Golkar terjadi tidak hanya pada 2015 saja tetapi konflik tersebut juga terjadi hampir di setiap pergantian pengurus dari Partai Golkar. Konflik tersebut terjadi antara lain pada saat dipimpin oleh Akbar Tanjung dengan pergantian pengurus Wiranto yang kemudian diselesaikan dengan mekanisme voting yang dimenangkan oleh Akbar Tanjung, kemudian Wiranto mendirikan partai baru yaitu Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura). Hal tersebut juga terulang kembali pada masa pergantian pengurus di tubuh Partai Golkar yaitu Aburizal Bakrie dengan Surya Paloh yang diselesaikan dengan mekanisme voting juga dan dimenangkan oleh Aburizal Bakrie, kemudian Surya Paloh mendirikan partai baru yaitu Partai Nasional Demokrat (Nasdem).

Pada 2015, Partai Golkar yang berlambang beringin tidak menginginkan peristiwa-peristiwa pembentukan partai baru dari eks anggota Partai Golkar terjadi lagi dan ingin mengembalikan Partai Golkar menjadi partai yang utuh menjadi satu kesatuan atas nama Partai Golkar. Visi dan misi Partai Golkar tersebut tidak berjalan mulus karena terjadi dualisme kepengurusan dalam tubuh Partai Golkar, yang dipimpin oleh Aburizal Bakrie dan Agung Laksono.

Karena menghindari penyelesaian dengan mekanisme voting maka terjadi dua Munas yaitu Munas Bali dan Munas Ancol yang kemudian diserahkan ke Mahkamah Partai Golkar untuk menyesaikan konflik tersebut. Tetapi dalam kenyataannya Mahkamah Partai Golkar tidak memberikan keputusan tentang siapa yang menjadi pengurus yang sah dari dualisme kepengurusan dalam tubuh Partai Golkar, yang dipimpin oleh Aburizal Bakrie dan Agung Laksono. Isi surat yang dikeluarkan oleh Mahkamah Partai Golkar tersebut menimbulkan interpretasi yang berbeda-beda/ambigu sehingga Kementerian Hukum dan HAM RI mengambil keputusan yang terlihat sepihak dengan mengeluarkan Surat Keputusan yang mengesahkan Partai Golkar yang dipimpin oleh Agung Laksono.

Konfik yang terjadi di Partai Golkar seharusnya dapat diselesaikan di dalam internal Partai Golkar yaitu melalui Mahkamah Partai Golkar yang secara intern menyelesaikan konflik dalam tubuh Partai Golkar secara musyawarah mufakat setelah itu baru didaftarkan ke Kementerian Hukum dan HAM RI, sehingga tidak perlu adanya gugatan terhadap pihak ketiga yaitu Menteri Hukum dan HAM RI (Yasonna Laoly) ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta, karena proses tersebut akan menimbulkan akibat penyelesaian konflik Partai Golkar yang berlarut-larut. Apabila Putusan PTUN Jakarta tidak sesuai dengan keinginan dari salah satu pihak dari Partai Golkar yang sedang berkonfik, maka akan mengajukan upaya hukum banding, kasasi sampai ke peninjauan kembali.

Proses hukum tersebut tentu memerlukan waktu yang panjang. Pada saat ini Partai Golkar dihadapkan pada Pemilu Kepala Daerah (Pilkada) serentak, apabila Partai Golkar belum bisa menyelesaikan konfiknya dalam waktu yang cepat, maka akan menimbulkan akibat tidak dapat mengikuti Pilkada serentak yang tentunya berdampak buruk bagi Partai Golkar. Selain itu dualisme kepengurusan dalam tubuh Partai Golkar mempengaruhi kinerja anggota DPR dan DPRD Partai Golkar menjadi tidak optimal dalam menjalankan fungsi dan tugasnya sebagai anggota dewan yaitu melaksanakan pengawasan, anggaran dan legislasi.

Islah yang ditawarkan oleh kedua kubu Partai Golkar tidak boleh dilakukan atas dasar kekuasaan belaka yaitu dalam menghadapi pilkada serentak saja. Seharusnya islah tersebut bertujuan untuk mempersatukan Partai Golkar ke depan untuk jangka waktu yang panjang tanpa adanya sengketa di pengadilan.

Pilkada Serentak
Terkait dengan pilkada serentak, Komisi Pemilihan Umum (KPU) tidak boleh mengabulkan anggota partai yang mengajukan calonnya untuk mengikuti pilkada serentak pada saat partai tersebut mengalami konfik dan/atau belum mendapat putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap atas sengketa partai yang dihadapi partai tersebut.

Sengketa internal dalam partai politik harus diselesaikan secara internal dari partai politik tersebut sehingga terdapat kepastian hukum bagi calon pilkada serentak yang akan diajukan. Apabila KPU mengabulkan calon pilkada serentak dari partai yang berkonfik/bersengketa maka KPU tersebut telah memberikan jalan kepada calon-calon pemenang pilkada serentak yang dapat digugat oleh masyarakat terutama dari anggota partainya sendiri yang mengalami konflik yang beranggapan bahwa calon pilkada yang menang dari pilkada serentak bukan calon resmi dari partai yang sah.

Jika hal itu terjadi maka akan menimbulkan kekacauan politik dan merugikan keuangan negara atas penyenggaraan pilkada serentak yang jujur dan adil tapi menghasilkan seorang pemimpin daerah yang dianggap tidak sah oleh partainya sediri yang sedang bersengketa.

Sepuluh Peraturan KPU tentang pilkada serentak yang dikeluarkan oleh KPU, tidak pelu dilakukan revisi terkait dengan adanya konflik internal partai yang akan mencalonkan anggotanya dalam pilkada serentak, karena hal itu dapat menimbulkan konflik kepentingan dari setiap partai yang akan mengikuti pilkada serentak dan bertentangan dengan asas equality before the law.

Dalam menghadapi pilkada serentak KPU harus jeli sebagai penyelenggara pilkada serentak yang sah agar setelah pilkada serentak dilaksanakan, tidak akan menimbulkan sengketa politik akibat dari perselisihan suara dan sah atau tidaknya calon dari yang diajukan oleh partai politik yang bersengketa.
Tertib administrasi pada awal penyelenggaraan pilkada serentak merupakan tahap awal yang dapat mendukung keberhasilan dari penyelenggaran pilkada serentak. Sehingga pilkada tersebut berhasil tidak hanya dalam menghemat anggaran politik dalam menyelenggarakan pilkada tetapi juga berhasil memilih kepala daerah yang sah, jujur dan adil yang dapat mengemban tugas sebagai kepala daerah yang sesuai dengan kehendak rakyat bukan atas kehendak kekuasaan yang memilihnya.

*) Penulis adalah perancang peraturan perundang-undangan di Sekretariat Jenderal DPR-RI

BACA JUGA: