JAKARTA, GRESNEWS.COM - Kasus korupsi penjualan hak tagih (cessie) Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) yang diduga melibatkan perusahaan asing Victoria Securities International Corporation (VSIC) meluas. Kejaksaan yang sebelumnya melakukan penggeledahan terhadap kantor PT Victoria Securities Indonesia (PT VSI) di  Panin Tower lantai 8, Jalan Asia Afrika, Jakarta, dituding telah salah geledah.

Pihak PT Victoria Securities Indonesia mengklaim berbeda dengan Victoria Securities International Corporation (VSIC) sebagai pihak yang tengah diusut Kejaksaan Agung. Direktur PT Victoria Securities Indonesia (PT VSI) Yangky Halim mengaku perusahaannya baru berdiri pada 2011 dan tak pernah melakukan akad jual-beli hak tagih atau cessie dengan BPPN. Mereka pun mengaku protes dan mengadukan masalah tersebut ke Komisi III DPR.

Perkara ini berawal saat PT Adistra Utama (AU) meminjam kredit kepada Bank BTN untuk membangun perumahan senilai Rp469 miliar. Mereka  menjaminkan tanah seluas 1.200 hektare di kawasan Karawang Jawa Barat. Bank BTN pun mengucurkan kreditnya akhir tahun 1990 yang kemudian digunakan untuk pembangunan perumahan di atas tanah jaminan tersebut.

Namun kemudian terjadi krisis moneter (krismon) pada tahun 1998, sehingga  Bank BTN masuk dalam program Penyehatan perbankan (BPPN) dan diberikan suntikan dana oleh BPPN. Dengan begitu, aset-aset milik Bank BTN diambil alih oleh BPPN dan dilakukan pelelangan aset termasuk utang PT AU.

Namun aset tersebut ternyata hanya laku dijual sekitar Rp 26 miliar dan dibeli oleh PT Victoria Securities. Pada saat pemilik  PT AU,  Johnny Widjaya ingin melunasi utangnya dengan membeli kembali surat utangnya seharga Rp 300 miliar, PT Victoria menolak dan ingin menjualnya dengan harga Rp 2,1 triliun.

Karena itu PT AU kemudian melaporkan kasus tersebut ke Kejaksaan Tinggi  Jakarta dengan dugaan ada permainan dalam penjualan aset tersebut. Kejaksaan Tinggi mulai melakukan penyelidikan, belakangan kasusnya diambil alih oleh Kejaksaan Agung.

Pihak Kejaksaan Agung menyatakan berupaya mengungkap motif kenapa aset PT Adistra itu dijual murah oleh BPPN kepada Victoria Sekuritas. Sementara Victoria malah menjual kembali dengan harga bombastis kepada Adistra sehingga perusahaan itu keberatan.

PENJUALAN TIDAK WAJAR - Pengamat ekonomi Universitas Al-Azhar Rahmat Bagja menyatakan sangat tidak mungkin nilai aset PT AU dalam perjanjian dengan BTN hanya senilai Rp26 miliar. Sebab jumlah pinjaman yang diajukan besarnya mencapai Rp469 miliar. "Ini angka yang tidak mungkin, mana mau bank rugi dengan menerima jaminan yang lebih kecil dari pinjaman," ujarnya kepada gresnews.com, Rabu (19/8).

Dalam UU Perbankan No. 7 tahun 1992 tanggal 25 Maret 1992 Pasal 12A disebutkan bank dapat membeli sebagian atau seluruh agunan, baik melalui pelelangan maupun di luar pelelangan berdasarkan penyerahan secara sukarela oleh pemilik agunan atau berdasarkan kuasa untuk menjual di luar lelang dari pemilik agunan, dalam hal debitur tidak memenuhi kewajibannya kepada Bank, dengan ketentuan agunan yang dibeli tersebut wajib dicairkan secepatnya.

Ketika BPPN menjual, nilai yang didapatkan tak sesuai dengan nilai kredit yang diberikan BTN tentu hal ini telah merugikan negara. Sebab kredit macet tersebut akan dibiayai oleh negara.

"Pertimbangan bank mau memberi kredit nilai asetnya, jenis usaha usaha berkembang atau turun," katanya.

Ia berpendapat tak mungkin harga aset di perjanjian awal hanya berkisar Rp 26 miliar. Nilai ini terlalu kecil jika dibandingkan overhead seperti belanja pegawai dan operasional perusahaan yang terlalu besar. "Harusnya kita bisa melihat berapa jaminan garansi yang mereka adakan saat perjanjian kredit. Saya rasa garansinya tak sekecil itu," ujarnya.

Nilai kredit yang diberikan haruslah sesuai dengan nilai jaminan, atau paling tidak setengahnya. Atau terkecuali memang ada main dalam kasus ini. "BPPN memang begini, menjual tapi nilai kredit yang ditanggung negara tak sebanding," ujarnya.

Bahkan kasus penipuan nilai aset ini dianggap sebagai masalah BPPN yang belum terselesaikan hingga saat ini. Walaupun lembaga ini telah dibubarkan pada 27 Februari 2004 dan digantikan oleh Perusahaan Pengelola Aset (PPA).

"Jangan-jangan memang ada kerjasama, ketika mereka tahu asetnya kecil dan kredit tak bisa terbayar maka negara yang tanggung," katanya.

Namun, ia menilai, jika terdapat pembelian aset kembali oleh perusahaan peminjam kredit maka wajar saja harga aset naik dari harga penjualan awal. Hal ini lantaran jual beli aset tak dinilai dalam bentuk rupiah melainkan dolar. Dan nilai dolar diketahui memang selalu naik dari waktu ke waktu. "Jadi wajar saja saat nilainya naik, tapi harus dihitung, kenaikannya ini wajar tidak," katanya.

DITUDING SALAH GELEDAH - Namun upaya penggeledahan yang dilakukan Kejaksaan Agung (Kejagung) ditolak oleh PT Victoria Investama Tbk dan Victoria Sekuritas. PT Victoria Securities mengklaim Kejaksaan telah salah geledah.

Victoria Securities Indonesia yang merupakan grup Victoria Investama, mengaku dirinya bukanlah bagian dari Victoria Securities International Corporation (VSIC) yang melakukan akad jual beli dengan BPPN pada 2003 silam. Bahkan, mereka mengklaim baru berdiri pada tahun 2011 lalu.

Akibat salah geledah ini, mereka pun mengadu ke Komisi III DPR RI. Anggota Komisi III Arsul Sani menyatakan akan menanggapi pengaduan ini dengan meneliti terlebih dulu kasus pokoknya. "Kami tangani masalah salah geledah, prosedur normalnya mereka akan diundang dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU)," katanya kepada gresnews.com, Rabu (19/8).

Setelah RDPU dengan pihak VSI maka Komisi III akan melakukan pendalaman lagi untuk mengangkat kembali kasus tersebut dalam RDPU dengan instansi yang bersangkutan. "Dalam hal ini Kejagung, dalam hal-hal mendesak kami bisa lakukan kunjungan spesifik," katanya.

KEJAKSAAN BANTAH SALAH GELEDAH - Menanggapi protes VSI, Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejaksaan Agung  Tony T Spontana menyatakan upaya yang dilakukan pihaknya  itu sudah sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

"Tim Satgassus yang melakukan penggeledahan di kantor Victoria Securities International Corporation dan di kantor PT Victoria Securities beberapa hari lalu adalah tindakan hukum yang sah, berdasarkan Surat Perintah Penggeledahan dan izin Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, sehingga tidak benar jika dikatakan kami melakukan perbuatan yang melanggar hukum," kata Tony T Spontana, Rabu (19/8).

Menurutnya jaksa tidak mungkin ceroboh melakukan penggeledahan tanpa surat perintah. "Saya sudah memperoleh copy Sprint Penggeledahan dan izin dari PN Jakpus," katanya.

Sehingga, kata dia, jika ada yang keberatan dengan penggeledahan tersebut, dipersilahkan menempuh jalur hukum yang tersedia.  "Kami akan hadapi dan kami berikan argumentasi hukum, karena ini adalah proses hukum yang diatur oleh UU," jelasnya.

Sanggahan juga disampaikan Kepala Subdirektorat Penyidikan Kejaksaan Agung Sarjono Turin. Menurutnya, penyidik punya dasar kuat menggeledah dua kantor tersebut. Sebab VSI terafiliasi dengan Victoria Securities Internasional Corporation (VSIC) terkait penyidikan perkara cessie Bank BTN.

Terafiliasi yang dimaksud Turin, karena  pemilik VSIC adalah juga pemilik PT VI dan PT VSI, yakni berinisial AI. Jadi tidaklah benar, jika dikatakan Tim Satgassus P3TPK keliru menggeledah. "Atas dasar itu pula, Selasa (18/8) malam tim kembali menggeledah sampai tengah malam dan memasang stiker segel pada kedua kantor tersebut," kata Turin kepada Ainur Rahman dari gresnews.com, di Kejaksaan Agung.

Turin menambahkan, penggeledahan yang dilakukan Tim Satgasus P3TPK juga kepada surat izin penggeledahan, yang dikeluarkan Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan.

Turin juga menganjurkan, mereka yang menganggap langkah penggeledahan Tim Satgasus P3TPK keliru, dipersilahkan menggunakan mekanisme hukum yang diatur dalam perundangan, yakni praperadilan dan bukan membawanya ke ranah politik. "Kita bekerja di ranah hukum dan bukan politik. Silahkan buktikan di pengadilan, jika kami keliru.  Kami siap hadapi," tandas mantan Jaksa KPK ini.

KASUS DI BELAKANG BPPN - Total aset yang dikelola BPPN dari pengambil alihan bank-bank yang gagal bayar Bantuan Likuiditas Bank Indonesia mencapai Rp650 triliun. Akan tetapi, mereka hanya berhasil mengembalikan sekitar 28 persen, atau sekitar Rp18,2 triliun. Padahal, target penjualan aset yang ditentukan Propenas mencapai 70 persen dari total nilai aset.

Di sisi lain, aset-aset sisa yang kemudian diserahkan ke PPA nilainya hanya berkisar Rp10,18 triliun. Rendahnya pengembalian dari penjualan aset disinyalir lantaran BPPN menjual aset-aset dengan harga murah dibandingkan dengan harga yang harus ditanggung negara dari para pengutang (obligor).

Sebagai misal pengembalian aset Chandra Asri yang didapat BPPN hanya sejumlah empat persen, dengan merujuk ke kewajiban sebesar AS$767,7 juta. Jumlah ini tentu jauh di bawah target. Namun dalam hal ini, pihak BPPN berdalih telah terjadi penggelembungan nilai saat pemberian kredit ke proyek Chandra Asri.

Tak hanya itu, aset-aset properti yang dikuasai BPPN banyak dijual tanpa adanya proses lelang yang memadai. Bahkan aset-aset properti di beberapa daerah strategis sudah dikapling oleh orang-orang dalam BPPN. Tujuh hari sebelum ditutup, BPPN pun mengobral delapan Surat Keterangan Lunas (SKL) bagi para obligor bermasalah.

TIDAK KOOPERATIF - Sebelumnya Tim Jaksa pada Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (Jampidsus) Kejaksaan Agung dibantu sejumlah penyidik dari jajaran Direktorat Kriminal Khusus Polda Metro Jaya pada Rabu 14 Agustus lalu melakukan penggeledahan kantor PT Victoria Securities Indonesia di Gedung Panin Power lantai 8, Jakarta.

Penggeledahan itu lanjutan penggeledahan sebelumnya pada Rabu (12/8). Penggeledahan dilakukan untuk mencari dugaan patgulipat penjualan hak tagih (cessie) Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) yang merugikan negara mencapai Rp425 miliar.

Kejaksaan ternyata juga tak hanya menggeledah mereka juga meminta keterangan sejumlah pejabat PT Victoria Securities. Kejaksaan beralasan mereka terpaksa memeriksa sejumlah pejabat yang terdiri dari direksi dan komisaris Victoria di kantor mereka, lantaran telah beberapa kali dilakukan pemanggilan  mereka tidak mengindahkan.  

Menurut Kepala Subdirekrotat Penyidikan Jampidsus Sarjono Turin, penggeledahan dan pemeriksaan kantor PT Victoria sebagai upaya menemukan bukti pelanggaran pidana. "Ini rangkaian penyidikan yang dilakukan penyidik untuk menemukan siapa yang bertanggung jawab karena telah merugikan negara," katanya.

Turin mengaku telah memeriksa terhadap dua petinggi Victoria yaitu Komisaris bernama Aldo dan seorang Direktur bernama Suzanna. "Dua itu sementara yang diperiksa di lokasi," terang Turin di Kejaksaan Agung Jumat (14/8).

Hanya saja,  meski kejaksaan telah meningkatkan status penyelidikan kasus tersebut sejak April lalu. Namun hingga saat ini Kejaksaan belum menetapkan satu orang pun sebagai tersangka. (dtc)

BACA JUGA: