YOGYAKARTA - Sejarawan UGM, Suhartono, mengatakan munculnya perilaku korupsi yang dilakukan birokrat lebih disebabkan masih kokohnya birokrasi feodal yang pernah berlaku di era kerajaan hingga masa kolonial. Warisan feodal yang berupa pola pikir dan mentalitas yang lebih menguntungkan diri sendiri, keluarga dan kelompoknya sudah merasuk pada para pejabat dan penguasa. Bahkan unsur budaya kolonial yang mengedepankan status atau kedudukan tercermin pada perilaku dan tindakan dalam struktur sosial masyarakat.

"Gejala ini menjiwa dalam kepribadian penguasa, sehingga gaya hidup yang melingkupinya menempatkan materi sebagai piranti simbol dan kekuasaan," kata Suhartono usai diskusi memperingati peringatan Pangeran Diponegoro di Pusat Studi Kebudayaan Koesnadi Hardjasoemantri (PKKH) UGM, Senin (8/1), seperti dilansir ugm.ac.id

Dia menambahkan, sistem sosial feodal yang berlaku dan berakar dalam masyarakat yang dulunya dibina oleh kerajaan-kerajaan, khususnya kerajaan agraris feodal, telah memberi dasar pemerintahan kerajaan yang berlaku di seluruh nusantara. Bahkan kronologis korupsi yang terjadi saat ini berhubungan dengan struktur masyarakat dan keberlangsungan secara sosio-kultural hampir tidak mengalami perubahan secara signifikan sehingga korupsi dapat berlangsung terus.

Lebih lanjut ia mengatakan sejak masa pemerintahan kolonial sampai menjelang akhir periode tersebut, koruptor sejati adalah pemerintah lewat birokrat-birokrat yang menyelewengkan pajak yang dibebankan kepada rakyat. Besarnya beban pajak yang harus ditanggung serta maraknya praktek penyelewengan pajak menjadikan rakyat melakukan perlawanan.

Pangeran Diponegoro di masa pemerintahan kolonial, menurutnya, merupakan sosok pejuang yang tidak hanya mendambakan kemerdekaan namun juga mendobrak tata pemerintahan korup pemerintah kolonial yang mengeksploitasi rakyat lewat pajak yang diselewengkan oleh para birokrat.

Dianggap sebagai simbol kesatria yang tulus dan jujur, menguasai seni berperang, dan memiliki jiwa kepemimpinan yang lebih baik, Diponegoro mampu menggerakkan masyarakat melakukan perlawanan pada pemerintah Belanda. Perlawanan yang dilakukan sang pangeran bahkan diikuti masyarakat tidak hanya di Yogyakarta, namun juga di Jawa Tengah dan Jawa Timur. "Perang itu meluas hingga ke Jawa Timur. Ini saya sebut sebagai perang jawa religius," katanya.

Di luar kepahlawanan, sosok Pangeran Diponegoro menurut Suhartono seharusnya menjadi panutan bagi pemimpin dan penguasa untuk mengedepankan kejujuran dan sikap nasionalisme yang lebih besar.

BACA JUGA: