JAKARTA - Kebijakan pemerintah membatalkan ibadah haji tahun ini dikritik Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU). Ketua Umum PBNU Said Aqil Siradj menilai pemerintah terburu-buru mengambil kebijakan sebab pemerintah Arab Saudi sendiri belum memutuskan apa pun. Seharusnya pemerintah menunggu pernyataan resmi Arab Saudi mengenai penyelenggaraan ibadah haji.

"Kenapa mendahului keputusan pemerintah Arab Saudi? Menurut saya, sebenarnya tunggu dulu keputusan Arab Saudi. Kalau memang pemerintah Arab Saudi menutup ibadah haji, baru kita putuskan tidak ada haji," ujar Said Aqil dalam keterangan yang diterima Gresnews.com, Sabtu (6/6/2020).

Ia menyayangkan pemerintah pusat yang memutuskan secara sepihak pembatalan keberangkatan jemaah haji 2020 tanpa berkonsultasi dengan DPR. Menurutnya Indonesia telah menyelenggarakan ibadah haji sejak 1945 dan seharusnya pemerintah sudah menyiapkan langkah-langkah antisipasi apabila terjadi kendala dalam keberangkatan jemaah haji 2020.

"Selayaknya harus makin cerdas, semakin pintar, semakin sempurna, semakin ada antisipasi-antisipasi. Tidak hanya sekadar alasan persiapan belum, tidak sempurna, tidak siap," jelas dia.

Sebelumnya, Menteri Agama Fachrul Razi mengumumkan pembatalan pemberangkatan jemaah haji Indonesia ke Arab Saudi dengan alasan Arab Saudi belum membuka akses layanan haji 1441 H/2020 M hingga sekarang.

"Akibatnya pemerintah tidak mungkin lagi memiliki cukup waktu untuk melakukan persiapan utamanya dalam pelayanan dan perlindungan jemaah," katanya dalam jumpa pers, Selasa (2/6/2020).

Sementara itu Sekretaris Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah Kementerian Agama Ramadhan Harisman mengatakan dari sisi regulasi pembatalan itu bisa dibenarkan lewat UU 8/2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah.

"Alasan resmi ini adalah karena kondisi. Alasan utama pembatalan haji ini adalah untuk keselamatan jemaah," kata Ramadhan dalam Webinar Perlindungan Konsumen Haji Saat Pandemi COVID-19 kepada Gresnews.com, Jumat (5/6/2020).

Ramadhan menjelaskan, bisa dibayangkan kalau protokol COVID-19 diterapkan saat ibadah haji. Bagaimana dengan penerapan physical distancing ketika jemaah haji akan melakukan tawaf. Sangat sulit menjaga jarak 1 meter per orang. Belum lagi ketika di Mina dengan kondisi kuota normal 1 orang jemaah dapat jarak 0,8 meter persegi.

"Kalau rata-rata orang Indonesia tingginya 160 cm, kemudian di atas kepala biar nggak mentok kepala orang lain 20 cm, di bawah kaki 20 cm 2 meter. Itu berarti space untuk 1 orang itu hanya 40 cm," tuturnya.

Kalau kuota dikurangi 50% saja berarti jarak yang ada itu hanya 80 cm. Masih di bawah syarat protokol COVID-19 yang harus 1 meter. Ini ada potensi terpapar sangat luar biasa. "Apalagi di sana itu kan berkumpul 3 juta orang dalam kondisi normal. Kalau kondisi 50% 1,5 juta ini hampir sangat-sangat sulit," terangnya.

Kemudian, kata Ramadhan, ketika selesai Arafah, jemaah berangkat ke Muzdalifah, mereka menunggu dari sore dan mulai diberangkatkan hingga tengah malam. Mereka semua berkumpul, ruangnya sangat sempit.

"Jadi ini semua kami lakukan, kami analisis, kami diskusi. Ini semata-mata untuk keselamatan warga negara kita. Dan ini lebih mengutamakan keselamatan jiwa dan raga menjadi prioritas dibandingkan pelaksanaan ibadah," imbuhnya.

Itu semua bisa menjadi potensi penyebaran virus. Ketika jemaah sampai di Arab Saudi, mungkin mereka terpapar. Atau ketika mereka pulang ke tanah air bisa menjadi Orang Tanpa Gejala (OTG) yang dapat menularkan virus. Ini tentu akan menjadi masalah tersendiri.

"Apalagi dengan penerapan protokol kesehatan COVID-19 ini kalau diperlukan karantina 14 hari sebelum keberangkatan. 14 hari ketika tiba di Arab Saudi. 14 hari setelah pulang tiba di tanah air. Berarti ada tambahan 42 hari. Jadi total jemaah haji itu waktunya adalah 82 hari. Akan sangat lama sekali," tekannya.

Dia mengatakan kondisi di Arafah, Muzdalifah dan Mina berpotensi menjadi pusat penularan pada saat puncak haji. Ditambah ritual melontar jamrah sangat melelahkan dan menurunkan imunitas tubuh.

"Inilah yang menjadi pertimbangan utama dari pemerintah. Jadi walaupun belum ada pengumuman dari Arab Saudi, keselamatan jiwa, hifdzun nafs adalah hal yang utama," katanya. (G-2)

 

 

BACA JUGA: