JAKARTA - Pemerintah memutuskan tidak memberangkatkan jemaah haji 2020 karena pandemi COVID-19. Lalu sejumlah pihak mempertanyakan penggunaan dana ratusan triliun rupiah yang terkumpul dari 4,5 juta calon haji. 

Bagaimana pemerintah mengelola dana 4,5 juta calon haji yang menunggu giliran berangkat (waiting list), yang sampai saat besarnya kurang lebih Rp135 triliun?

Bagaimana pula pengelolaan Dana Abadi Ummat (DAU) Rp3,5 triliun sebagai hasil efisiensi penyelenggaraan ibadah haji?

Ketua Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) Anggito Abimanyu menegaskan dana haji aman dan dikelola lembaga keuangan publik yang berbentuk korporasi tapi nirlaba, artinya para pengurusnya tidak mendapatkan bonus. Kalau ada surplus, kembalinya ke jemaah haji.

"Intinya uang haji itu dikelola dan dikembalikan untuk manfaatnya bagi jemaah, tidak untuk yang lain," kata Anggito dalam Webinar Perlindungan Konsumen Haji saat Pandemi COVID-19 yang diikuti Gresnews.com, Jumat (5/6/2020).

Anggito menjelaskan BPKH dibidani oleh Kementerian Agama pada 2014. Dasarnya UU 34/2014 tentang Pengelolaan Keuangan Haji (UUPKH). Sejak saat itu pengelolaan dana haji bukan lagi domain Kementerian Agama melainkan BPKH---berada langsung di bawah Presiden dengan tugas menerima, mengelola, dan menginvestasikan dana calon jamaah haji.

"Kalau masalah yang terkait dengan penyelenggaraan pembinaan dan pelayanan itu di Kementerian Agama. Kami adalah yang mengelola keuangan, juru bayar dan kasirnya dari kementerian Agama," ungkapnya.

BPKH perlu lebih aktif untuk menjaga transparansi publik dan perbaikan sosialisasi. Sejak dua tahun lalu BPKH telah memiliki media sosial. Hal ini guna meraih konsumen milenial.

"Hastag yang baru adalah dana haji aman. Karena banyak yang berprasangka bahwa dana haji tidak aman dan diinvestasikan pada investasi yang berisiko. Juga bahkan ada yang menersangkakan kami menginvestasikan pada valas. Itu sama sekali tidak benar," tuturnya.

Agar bermanfaat dan tidak menganggur, BPKH memang diberi kewenangan atas dana titipan tersebut (wadi’ah) tersebut untuk diinvestasikan ke berbagai macam skema investasi berbasis syariah, supaya jamaah haji tunggu mendapatkan nilai tambah (profit) berupa imbal hasil.

Dana haji diatur sangat ketat, hanya diinvestasikan pada skema investasi syariah dan harus aman dari potensi kerugian. Oleh karenanya tidak boleh dipergunakan untuk kepentingan sembarangan. Ia juga meluruskan adanya kabar tentang penggunaan dana haji sebesar US$600 juta untuk stabilitasi rupiah. Itu tidak benar.

Anggito menjelaskan dana haji pertama kali dikelola oleh Kementerian Agama dan 2018 dialihkan ke BPKH. Pada akhir 2018 nilai akumulasi dana Rp113 triliun dan sudah diaudit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan mendapat opini wajar tanpa pengecualian (WTP).

Jumlah uang yang dikelola BPKH pada 2019 masih (unaudited) karena sekarang dalam proses finalisasi audit sekitar Rp125 triliun. Per Mei 2020 posisi sementara dana kelolaan Rp135 triliun (unaudited). Jadi setiap tahun ada tambahan Rp10 triliun lebih, sementara target tahun ini Rp140 triliun.

"Pada waktu kami diserahi aset ini Rp98 triliun dan menghasilkan nilai manfaat Rp5 triliun. Kemudian tahun 2018 kami diamanahkan Rp113 triliun pada akhir tahun. Nilai manfaatnya Rp5,8 triliun. Tahun lalu jumlahnya Rp125 triliun, nilai manfaat Rp7,2 triliun," imbuhnya.

Dari nilai manfaat yang BPKH hasilkan, 95% kembali ke jemaah haji. Sebagai amil, kata Anggito, untuk mengelola dana itu diperbolehkan menggunakan maksimum 5%.

BPKH tidak menggunakan manfaat dana itu kecuali sebesar 3% saja dengan jumlah karyawan sebanyak 120 orang. Selain itu sekitar 85% digunakan untuk jemaah haji yang berangkat dan 15% untuk jemaah haji yang tunggu. "Sedangkan Dana Abadi Ummat sekitar Rp185 miliar digunakan untuk dana sosial," jelasnya.

Sementara itu Ketua Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) RI Ardiansyah Parman meminta pemerintah transparan menjelaskan batalnya pemberangkatan haji dan lari ke mana saja dana haji yang tertunda tersebut. "Perlu langkah-langkah konkret dari otoritas untuk menjaga agar jangan sampai merugikan konsumen," ungkapnya.

Ardian menjelaskan masyarakat banyak yang mengambil haji reguler dan dikategorikan sebagai konsumen.

"Tentang unsur yang terkait yang diatur dalam Pasal 4 huruf C UU 8/1999 tentang Perlindungan Konsumen, konsumen berhak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan, baik itu barang ataupun jasa," jelasnya.

Hal itu jangan sampai menimbulkan kesalahpahaman publik bahwa dana haji digunakan untuk sesuatu yang lain di luar urusan haji.

Hak konsumen berikutnya adalah didengar pendapat dan keluhannya atas jasa yang dikonsumsi. "Juga memiliki hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya," katanya.

Sebelumnya Ketua Komnas Haji dan Umrah Mustolih Sirad mengungkapkan kecurigaan publik soal penggunaan ratusan triliun dana haji untuk kepentingan lain lantaran BPKH sebagai pengelola dana tidak transparan.

Menurutnya BPKH pun sampai sekarang belum menunjukkan kinerja yang maksimal sebagaimana ekspektasi dan harapan publik yang menginginkan pengelolaan dana haji sebagaimana tabungan haji di Malaysia yang memberikan manfaat dan dampak sangat positif signifikan bagi jamaah.

Belum ada terobosan berarti dari BPKH, terutama mengenai kebijakan investasi dana haji yang dapat memperoleh hasil secara signifikan dan memuaskan.

Ia menjelaskan satu-satunya akses informasi terkait kinerja BPKH dan dana haji hanya bisa didapat melalui saluran laman: https://bpkh.go.id/.

Namun laman itu mayoritas hanya berisi kegiatan internal dan seremonial pimpinan BPKH.

Ada laporan tahun 2018 tentang keuangan haji tetapi sudah dimodifikasi sedemikian rupa, bukan menampilkan hasil audit asli dari BPK. "Padahal ada kewajiban BPKH menampilkan ke media secara luas," katanya dikutip dari nu.or.id.

Menurutnya transparansi seharusnya menjadi pilar utama BPKH, karena lembaga ini disebut sebagai Badan Hukum Publik. Apalagi seluruh operasional termasuk gaji pegawai dan pimpinan BPKH diambil dari keuntungan hasil investasi uang jemaah.

Dengan demikian konsekuensinya BPKH berkewajiban untuk melakukan transparansi sejelas-jelasnya kepada publik tentang berbagai hal misalnya capaian dan audit kinerja, rencana kerja dan anggaran (RKA), berapa jumlah jemaah yang mendaftar haji setiap bulan, dengan pihak mana saja bekerja sama/investasi, ke mana saja uang jemaah diinvestasikan.

Bagaimana sistem investasinya, berapa banyak imbal hasil setiap tahun/bulan yang diperoleh, berapa banyak manfaat investasi yang dijadikan ‘subsidi’ untuk penyelenggaraan ibadah haji setiap tahunnya.

Berapa anggaran yang tersedot untuk kepentingan operasional dan gaji pimpinan dan karyawan BPKH, ke mana saja investasi di luar negeri ditempatkan, bagaimana dengan beban pajak, bagaimana implikasi pembatalan pemberangkatan haji tahun 2020 terhadap keuangan haji di BPKH.

Semua informasi tersebut adalah informasi yang berhak diakses oleh publik sebagaimana diatur dalam UU 14/2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UUKIP) karena BPKH berkedudukan sebagai badan hukum publik.

Sayangnya, sampai saat ini BPKH belum memiliki struktur Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID) yang secara khusus dan rutin bertugas menerima dan menyampaikan data/informasi kepada publik.

Karena minim transparansi, wajar saja bila publik berspekulasi ke mana dan bagaimana sesungguhnya dana calon jamaah haji digunakan, dikelola, dan diinvestasikan.

Terlebih lagi pada kondisi sekarang mana kala perusahaan investasi di sektor keuangan di berbagai negara tengah waswas menyalakan alarm kewaspadaan tingkat tinggi karena dibayang-bayangi krisis keuangan dan finansial akibat COVID-19.

BPKH harus menjelaskan kepada publik bagaimana posisi dana jutaan calon jamaah haji yang diinvestasikan di berbagai jenis investasi baik yang di simpan di bank maupun nonbank, di dalam maupun di luar negeri, apakah memang benar-benar aman dan kuat dalam menghadapi krisis COVID-19 ini, tentu harus didukung dengan data-data yang solid dan meyakinkan.

Sebagai catatan, lanjutnya, tidak banyak diketahui publik, hasil investasi dana haji ternyata sebagian besar digunakan untuk menyubsidi penyelenggaraan haji yang digelar setiap tahunnya.

Biaya haji jamaah Indonesia sesungguhnya Rp70 juta per orang, tetapi yang dibayar oleh jamaah pada tahun berjalan sampai pelunasan (yang berangkat ke tanah suci) hanya setengahnya, yakni di kisaran Rp35 juta per orang.

Dengan kata lain, jamaah haji tunggu ternyata menyubsidi biaya jamaah haji yang berangkat. Bukankah model subsidi semacam ini berpotensi melanggar aturan syariah (karena syarat berangkat haji adalah bagi yang mampu, bukan yang disubsidi) dan memunculkan ketidakadilan?

Maka manakala biaya haji jamaah Indonesia dinarasikan sebagai termurah di antara negara-negara lain sebenarnya sangat tidak tepat. Ternyata murah karena ada subsidi.

Karena itu belum terlambat bagi BPKH untuk menata lembaganya agar menjalankan asas transparansi dan profesionalitasnya sehingga mendapat simpati dan kepercayaan publik serta memberikan keadilan bagi jutaan calon jamaah yang menitipkan uangnya.

Tanpa transparansi yang terukur, sangat sulit BPKH menjadi lembaga yang dipercaya publik. (G-2)

BACA JUGA: