JAKARTA, GRESNEWS.COM - Pembahasan hukum mengenai objek praperadilan mengemuka paska putusan praperadilan membatalkan penetapan tersangka dugaan korupsi Budi Gunawan. Misalnya melalui uji materi di Mahkamah Konstitusi (MK) maupun pembahasan Rancangan Undang-Undang KUHAP di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

Di satu sisi objek praperadilan dinilai perlu diperluas lantaran upaya hukum terhadap penetapan tersangka seseorang bisa jadi tidak hanya penangkapan dan penahanan tapi juga upaya paksa lainnya. Di sisi lain muncul wacana bukan hanya memperluas objek praperadilan tapi juga menambah perlindungan hukum bagi seseorang yang ditersangkakan tapi belum mendapatkan upaya paksa.

Terkait hal ini, anggota Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Arsul Sani mengatakan pengajuan uji materi ke MK oleh warga negara harus dihormati termasuk permintaan perluasan penafsiran atas Pasal 77 KUHAP soal praperadilan. Ia menambahkan jika yang diajukan adalah agar objek praperadilan juga termasuk upaya paksa lainnya di luar penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan seperti pemblokiran rekening maka sebenarnya sudah masuk ke dalam pengertian penyitaan. Hakekat penyitaan adalah membuat suatu aset atau benda tidak dapat diubah atau agar tetap dalam keadaaan semula.

"Tidak apa-apa kalau mau ditafsir seperti itu. Ada bagusnya nanti kita akan melihat apa pendapat MK. Nanti bisa menjadi masukan ketika RUU KUHAP dibahas," ujar Arsul saat dihubungi Gresnews.com, Minggu (12/4).

Menurutnya, perlindungan terhadap seseorang yang dikenai suatu tindakan hukum tidak hanya terbatas setelah adanya upaya paksa. Praperadilan bisa dilakukan ketika ada upaya paksa terhadap penangkapan dan penahanan. Sementara untuk kasus sebelum adanya upaya paksa diperlukan suatu bentuk perlindungan hukum lainnya. Ia mencontohkan kasus yang menimpa Budi Gunawan, Hadi Purnomo dan Suryadharma Ali. Mereka sudah ditetapkan sebagai tersangka tapi belum mendapatkan upaya paksa berupa penahanan atau penangkapan.

Ia melanjutkan dalam pembahasan RUU KUHAP terdapat wacana agar ada lembaga hakim pemeriksa pendahuluan. Tugas lembaga hakim ini memeriksa ketika ada penegak hukum seperti kejaksaan atau kepolisian yang menetapkan seseorang sebelum melakukan upaya paksa. Orang yang bersangkutan bisa mengajukan keberatan atau mempersoalkannya pada pengadilan. Jika tindakan aparat penegak hukum tidak berdasar maka hakim pemeriksa bisa membatalkannya. Sehingga upaya hukum terhadap suatu tindakan penegak hukum, tidak dibatasi hanya melalui praperadilan tapi melalui hakim pemeriksa.

Menurutnya, putusan praperadilan Hakim Sarpin Rizaldi saat ini dipermasalahkan atau menjadi isu hukum lantaran belum menjadi hukum positif atau hukum yang berlaku. Dalam revisi RUU KUHAP, contoh yang dilakukan Sarpin dalam putusan praperadilannya direncanakan menjadi hukum yang akan datang dengan adanya lembaga hakim pemeriksa pendahuluan ini.  

Menanggapi hal ini, Ketua Umum Forum Kajian Hukum dan Konstitusi (FKHK) Victor Santoso Tandiasa menyatakan dukungannya terhadap langkah uji materi perluasan objek praperadilan. Sebab KUHAP belum direvisi dan disesuaikan dengan konteks saat ini sejak 1971. Menurutnya, dalam menangani perkara, aparat penegak hukum dituding cenderung suka mempolitisir kasus terkait penetapan tersangka.

"Pada saat kasus Budi Gunawan terkait penetapan tersangkanya harusnya dilakukan uji materi lebih dulu untuk objek praperadilan. Sehingga Budi baru bisa dinyatakan melakukan upaya yang konstitusional jika memang nantinya objek praperadilan diperluas MK," ujar Victor pada kesempatan terpisah.

Permasalahannya, Budi malah mengajukan praperadilan terhadap penetapan tersangkanya. Lalu hakim praperadilan Sarpin membatalkan penetapan tersangkanya yang dianggap sebagai terobosan hukum. Padahal menurutnya pembatalan penetapan tersangka tersebut justru penyimpangan hukum karena sudah keluar dari objek praperadilan.

Saat ditanya wacana lembaga hakim pemeriksa pendahuluan, ia menilai hal tersebut tidak tepat. Sebab menurutnya cukup dilakukan dengan menambahkan objek praperadilannya. Sebab ketika ada konsep lainnya ia khawatir justru akan memperumit proses peradilan.

Sebelumnya, seorang advokat sebagai pemohon Muhammad Zainal Arifin mengajukan gugatan atas Pasal 1 angka 10, Pasal 77, Pasal 78, Pasal 82, Pasal 95, dan Pasal 96 KUHAP. Pasal-pasal tersebut mengatur soal objek praperadilan yang hanya mencakup sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan dan sah atau tidaknya penghentian penuntutan.

Kuasa hukum pemohon Heru Setiawan menilai pasal-pasal tersebut membatasi objek praperadilan. Adanya upaya paksa penggeledahan, penyitaan, pencegahan ke luar negeri, dan pemblokiran rekening dilakukan sewenang-wenang dan tidak bisa dipraperadilankan.

BACA JUGA: