JAKARTA, GRESNEWS.COM - Setelah sukses memotong taji Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan membawa para pimpinannya menjadi tersangka, pemerintahan Joko Widodo kini melontarkan kembali wacana pelemahan pemberantasan korupsi. Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkum dan Ham) Yasonna Hamonangan Laoly melontarkan pernyataan bahwa pembebasan bersyarat (pb), remisi dan juga asimilasi tetap akan diberikan kepada terpidana kasus korupsi.

Bahkan wakil presiden Jusuf Kalla juga mengeluarkan pernyataan yang mendukung Yasonna. Tentu saja pernyataan petinggi pemerintahan ini menuai kecaman. Pemberian remisi, pb dan asimilasi kepada para koruptor dapat bemakna sebagai upaya menentang pemberantasan tindak pidana korupsi.

Pakar hukum pidana Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar meminta agar Yasonna tidak sembarangan membuat pernyataan. Sebagai Menteri, seharusnya Yasonna memahami mengapa bentuk pengurangan hukuman kepada koruptor itu harus dibatasi.

"Yasonna harus lihat, jangan seenak-enaknya, lihat dulu peraturannya," kata Fickar kepada Gresnews.com, Minggu (15/3).

Peraturan yang dimaksud Fickar yaitu tentang Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 tentang Warga Binaan (terpidana). Dalam peraturan tersebut, tindak pidana korupsi bersama terorisme dan narkotika dikategorikan dalam kejahatan luar biasa karena mengakibatkan kerugian besar bagi masyarakat.

Selain itu, kejahatan tersebut juga menimbulkan kepanikan, kecemasan atau ketakutan luar biasa bagi masyarakat. Oleh karena itu, pemberian remis, pb dan asimilasi kepada terpidana dalam tiga kategori tersebut harus dibatasi dan juga diperketat.

"Pelaku korupsi harus diperlakukan luar biasa karena menyengsarakan rakyat, itu sebabnya keluarlah PP itu," ujar pakar yang juga menjadi pengacara mantan pimpinan KPK, Bambang Widjojanto itu.

Menurut Fickar, sebagai menteri, Yasonna harus memahami bahwa dirinya mempunya hal yang melekat terhadapnya. Pertama yaitu asas legalitas. Dalam asas tersebut, Yasonna memang mempunyai kewenangan membuat berbagai kebijakan di Kementerian yang dipimpinnya.

"Kedua asas yuridiktas, artinya dia tidak boleh melanggar peraturan yang ada. Kalau aturan itu dianggap diskriminatif, ya harus diubah. Tapi kan juga harus memperhatikan dampaknya bagi masyarakat," ucap Fickar.

Sebelumnya Yasonna mengatakan bahwa remisi dan pembebasan bersyarat merupakan hak semua narapidana. Tidak terkecuali narapidana kasus korupsi yang telah merampok uang rakyat.

Menurutnya, PP Nomor 99 Tahun 2012 terlihat diskriminatif. Oleh karena itu ia berencana merevisi peraturan yang dibuat pada rezim Amir Syamsudin menjadi Menkum dan Ham itu. "Semua orang tidak bisa didiskriminasi. Undang-Undangnya, pasal, Undang-Undang nomor 12 nanti kita susun kriteria yang lebih baik, boleh. Jadi harus dibedakan remisi itu adalah hak, hak siapapun dia narapidana," jelas Yasonna, Kamis (12/3).

Yasonna juga menyampaikan ketidaksetujuannya bila remisi hanya diberikan kepada whistle blower.
"Kalau misalnya seorang namanya Badu, dia melakukan tindak pidana korupsi, oh dia bukan whistleblower hakim akan memberi pemberatan hukuman padanya. Di sini bukan di ujung sini, tidak membuat orang tidak punya harapan hidup. Dia kan manusia juga," urai dia.

Menurutnya, para koruptor masih mempunyai hak mendapat pengurangan hukuman asalkan uang negara yang dirampoknya telah dikembalikan. "Yang penting dia menerima hukuman tapi uang negara diambil dikembalikan. Bahkan bukan hanya dikembalikan, diambil Rp 2.000 miliar dikasih apa namanya denda, tapi dia juga dihukum," tambah dia.

BACA JUGA: