JAKARTA, GRESNEWS.COM - Pengamat Hukum Internasional Hikmahanto Juwana menyatakan pihak Airasia wajib mematuhi ketentuan ganti rugi berupa asuransi kepada keluarga penumpang karena aturan tersebut telah ditetapkan dalam ketentuan hukum yang berlaku. Guru Besar UI itu menambahkan, beredarnya dugaan penerbangan Airasia QZ8501 pada Minggu (28/12) tanpa izin, tidak perlu membuat keluarga korban resah. Pasalnya seluruh ketentuan ganti rugi telah dijamin oleh aturan hukum.

"Air Asia yang beroperasi di Indonesia melalui PT Indonesia Air Asia tentunya wajib mematuhi ketentuan ini," kata Hikmahanto kepada Gresnews.com, Rabu (7/1).

Menurut Hikmahanto, dalam konteks regulasi penerbangan, ganti rugi wajib langsung diberikan oleh perusahaan penerbangan tanpa perlu dibuktikan kesalahan teknis atau oknum terkait dibalik suatu insiden penerbangan. "Mekanisme ini dikenal sebagai tanggung jawab mutlak (strict liability)," ujarnya.

Hikmahanto juga menggarisbawahi, berdasarkan Pasal 141 Ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan, pengangkut dalam hal ini Airasia tetap akan dibebankan tanggung jawab atas kerugian penumpang yang meninggal dunia, cacat tetap, atau luka-luka. Dia menambahkan, besaran tanggungan per penumpang sesuai kerugian yang dialami.

Misalnya untuk korban meninggal, pihak maskapai wajib memberikan asuransi senilai Rp1,25 miliar sebagaimana diatur dalam Pasal 3 huruf (a) Peraturan Menteri Perhubungan (Permen) Nomor 77 Tahun 2011.
Hikmahanto menjelaskan bahwa status penerbangan Airasia QZ8501 tersebut masuk dalam kategori penerbangan internasional sehingga mekanisme hukum internasional perlu dilibatkan.
 
"Perjanjian terkait tanggung jawab pengangkut udara internasional diatur dalam Konvensi Warsawa 1929 dimana Indonesia turut meratifikasi dan menjadi peserta dalam kesepakatan tersebut," kata Hikmahanto.
 
Berdasarkan Pasal 22 Konvensi tersebut, lanjut Hikmahanto, jumlah ganti rugi dibatasi hingga 125,000 francs (mata uang Perancis). Sementara berdasarkan perjanjian internasional lainnya yaitu Konvensi Montreal 1999 disebutkan ganti rugi maksimal adalah 100,000 Special Drawing Rights (SDR). Jika dikonversi ke dalam mata uang rupiah maka angka tersebut setara dengan Rp1,8 miliar.
 
Perlu diketahui, perusahaan asuransi menjadi satu kesatuan yang tidak terpisahkan dari suatu aktivitas penerbangan mengingat terdapat risiko kecelakaan. Dalam upaya mengantisipasi jumlah kerugian yang besar, sebuah industri penerbangan merasa penting untuk menggandeng perusahaan asuransi.

Menurut Hikmahanto, di Indonesia  hal ini merupakan suatu kewajiban berdasarkan UU Penerbangan Pasal 118 Ayat (1) tentang kewajiban pemegang izin usaha angkutan udara niaga untuk menutup asuransi tanggung jawab pengangkut dengan nilai tanggungan berupa santunan kepada penumpang.

Sebelumnya, Kepala Eksekutif Pengawas Industri Non Bank OJK Firdaus Djaelani mengatakan, OJK menjamin pembayaran klaim asuransi kepada para ahli waris korban akan tetap diberikan. Dia menjelaskan dalam polis asuransi syarat dibayarkannya klaim asuransi kepada para penumpang yang mengalami kecelakaan diantaranya adalah karena kerusakan mesin dan faktor cuaca.

Menurutnya dalam polis asuransi tidak ada tertera pelanggaran izin rute penerbangan menjadi kendala dalam pembayaran claim asuransi. "Dalam kasus ini penumpang tidak salah, ini tanggung jawab perusahaan penerbangan. Jadi whatever pilot tidak memperhatikan cuaca dan tidak dapat izin. Penumpang kan tidak salah," kata Firdaus di Kantor OJK, Jakarta, Selasa (6/1).

Firdaus mengatakan kedua perusahaan yang menanggung claim asuransi untuk penumpang yaitu PT Jasindo (Persero) dan PT Asuransi Sinar Mas. Kedua perusahaan tersebut akan menanggung Rp1,25 miliar per penumpang. Selain menanggung klaim asuransi penumpang, kedua perusahaan tersebut juga akan menanggung kerusakan pesawat akibat kecelakaan.

BACA JUGA: