JAKARTA, GRESNEWS.COM – Syarat limitasi yang membatasi pengajuan upaya Peninjauan Kebali (PK) kembali menjadi perdebatan hangat. Tidak hanya oleh kalangan Mahkamah Konstitusi (MK) dan Mahkamah Agung (MA). Polemik tersebut juga belakangan merembet ke lembaga eksekutif, Menteri Koordinator Politik dan Keamanan Laksamana (Purn) Tedjo Edhy Purdijatno berniat mempertemukan dua lembaga tersebut bersama Kementerian Hukum dan HAM untuk membicarakan solusi soal limitasi syarat pengajuan PK.   
 
Berawal dari putusan MK tertanggal 6 Maret 2014 yang membatalkan Pasal 268 ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Dimana dinyatakan pasal tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 (UUD 1945), sehingga Tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Dengan putusan itu, PK yang awalnya hanya dapat dilakukan satu kali, menjadi dapat dilakukan lebih dari satu kali.
 
Sementara MA berpedapat, putusan MK itu tidak serta merta menghapus norma hukum yang mengatur permohonan PK yang diatur dalam Pasal 24 ayat (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (UU Kehakiman) dan Pasal 66 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung (UU MA). Sehingga permohonan PK dalam perkara pidana dibatasi hanya satu kali.
 
"UU Kehakiman dan UU MA mestinya menyesuaikan dengan putusan MK,"  kata Ketua Komite Pertimbangan Organisasi Indonesian Human Rights Committee for Social Justice (IHCS), Gunawan kepada Gresnews.com, Minggu (4/2).
 
Gunawan menegaskan, dalam putusan MK yang membatalkan Pasal 268 ayat (3) KUHAP yang menyebabkan PK boleh berkali-kali, juga menyinggung norma hukum yang diatur dalam UU Kehakiman dan UU MA melalui kesimpulan dan pendapat hakim konstitusi.
 
"Perubahan kedua undang-undang tersebut tidak hanya pada kesimpulan, tetapi juga pada pendapat-pendapat MK dalam putusan tersebut," tegasnya.
 
Putusan MK No.34/PUU-XI/2013 menguji norma materiil Pasal 268 ayat (3) KUHAP terhadap norma pasal 1 ayat (3), Pasal 24 ayat (1), Pasal 28A, Pasal 28C ayat (1), dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Dalam kutipan keputusan MK Nomor:34/PUU-XI/2013, dinyatakan "Mengabulkan permohonan pemohon untuk seluruhnya. Pasal 268 ayat (3) KUHAP bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat".
 
Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa upaya hukum luar biasa PK secara historis dan filosofis merupakan upaya hukum yang lahir demi melindungi kepentingan terpidana. Hal itu berbeda dengan upaya hukum biasa yang berupa banding atau kasasi yang harus dikaitkan dengan prinsip kepastian hukum.
 
Alasan lainnya, upaya hukum luar biasa bertujuan untuk menemukan keadilan dan kebenaran materil. Keadilan tidak dapat dibatasi oleh waktu atau ketentuan formalitas yang membatasi upaya hukum luar biasa PK, yang di dalam KUHAP, hanya dapat diajukan satu kali. Sebab bisa saja setelah diajukannya PK diputus, ada keadaan baru (novum) yang substansial, yang baru ditemukan saat PK sebelumnya belum ditemukan. Sementara KUHAP sendiri bertujuan untuk melindungi hak asasi manusia dari kesewenang-wenangan negara terkait dengan hak hidup dan kebebasan sebagai hak fundamental.
 
Hak tersebut dijamin dalam konstitusi sebagaimana tersebut di dalam Pasal 28I ayat (4) dan Pasal 24 ayat (1) UUD 1945. Oleh karenanya, PK sebagai upaya hukum luar biasa yang diatur dalam KUHAP harus lah dalam kerangka yang demikian, yakni untuk menegakkan hukum dan keadilan.
 
MK berpendapat, upaya pencapaian kepastian hukum sangat layak dibatasi. Namun tidak demikian dengan upaya pencapaian keadilan. Sebab keadilan kebutuhan manusia yang sangat mendasar dan lebih mendasar daripada kepastian hukum. "Kebenaran materil mengandung semangat keadilan, tetapi norma hukum acara mengandung sifat kepastian hukum yang terkadang mengabaikan asas keadilan".
 
Karenanya, upaya hukum menemukan kebenaran materil demi memenuhi kepastian hukum telah selesai dengan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde), dan menempatkan terdakwa menjadi terpidana. Hal ini dipertegas dengan Pasal 268 ayat (1) KUHAP yang menyebut, "Permintaan Peninjauan Kembali atas suatu putusan tidak menangguhkan maupun menghentikan pelaksanaan dari putusan tersebut".
 
Menurut MK, ada pembatasan hak dan kebebasan yang diatur di dalam Pasal 28J ayat (2) UUD 1945, namun demikian, hal itu tidak dapat disalahartikan untuk membatasi pengajuan PK hanya satu kali. Sebab, pengajuan PK perkara pidana sangat terkait dengan hak asasi manusia yang paling mendasar yang menyangkut kebebasan dan kehidupan manusia. Lagipula, pengajuan PK tidak terkait dengan jaminan pengakuan, penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain.
 
MK berpendapat, dalam ilmu hukum terdapat asas litis finiri oportet, yang berarti bahwa setiap perkara harus ada akhirnya. Namun asas itu terkait dengan kepastian hukum, sedangkan dalam hal keadilan dalam perkara pidana, asas itu tidak secara rigid dapat diterapkan karena dengan hanya membolehkan PK hanya satu kali, terlebih, manakala ditemukan adanya keadaan baru (novum), maka hal itu justru bertentangan dengan asas keadilan yang begitu dijunjung tinggi oleh kekuasaan kehakiman Indonesia. Hal ini sebagaimana terdapat dalam konstitusi, yaitu untuk menegakkan hukum dan keadilan (Pasal 24 ayat (1) UUD 1945). Hal ini juga sebagai konsekuensi dari asas negara hukum.
 
Sementara itu MA enggan menindaklanjuti putusan tersebut dengan alasan putusan MK tidak dapat dieksekusi (nonexecutable). MA berpendapat, putusan MK tersebut tidak serta merta menghapus norma hukum yang mengatur permohonan peninjauan kembali yang diatur dalam Pasal 24 ayat (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dan Pasal 66 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung.
 
Permohonan PK yang diajukan lebih dari satu kali terbatas pada alasan yang diatur dalam SEMA Nomor 10 Tahun 2009 tentang Pengajuan PK, yaitu apabila ada suatu objek perkara terdapat dua atau lebih putusan peninjauan kembali yang bertentangan satu dengan yang lain baik dalam perkara perdata maupun perkara pidana.
 
"Permohonan PK yang tidak sesuai dengan ketentuan tersebut tidak dapat diterima dan berkas perkaranya tidak perlu dikirim ke MA sebagaimana diatur SEMA Nomor 10 Tahun 2009," bunyi angka lima SEMA Nomor 7 Tahun 2014 yang ditandatangani Ketua MA Hatta Ali pada 31 Desember 2014 tersebut.
 
Menyikapi hal itu, Koalisi Masyarakat Sipil Selamatkan MK menilai tafsir MA tersebut tidak tepat. "Tafsir MA itu tidak tepat dan bertentangan dengan MK, " kata Erwin Natosmal Umar dari Indonesian Legal Roundtable (ILR) yang juga anggota Koalisi, kepada Gresnews.com, di Jakarta, Minggu (4/2).
 
Seperti diketahui, PK merupakan upaya hukum luar biasa yang dapat
dilakukan setelah putusan memperoleh kekuatan hukum tetap. Dibentuknya lembaga PK dalam perkara pidana berpijak pada pasal 263 ayat (1) KUHAP yang menyatakan "Terhadap putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari tuntutan hukum, terpidana atau
ahli warisnya dapat mengajukan permintaan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung".
 
Untuk selanjutnya, aturan mengenai syarat dapat dilakukannya permintaan upaya peninjauan kembali tercantum dalam pasal 263 ayat (2) KUHAP, yang menyatakan: a. "apabila terdapat keadaan baru atau bukti baru (novum) yang menimbulkan dugaan kuat, bahwa jika keadaan baru atau bukti baru itu sudah diketahui pada waktu sidang masih berlangsung, hasilnya akan berupa putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum atau tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima atau terhadap perkara itu diterapkan ketentuan pidana yang lebih ringan; b. apabila pelbagai putusan terdapat pernyataan bahwa sesuatu telah terbukti, akan tetapi hal atau keadaan sebagai dasar dan alasan putusnya yang dinyatakan telah terbukti itu, ternyata bertentangan satu dengan
yang lain; c. apabila putusan itu dengan jelas memperlihatkan suatu kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata."
 
Selanjutnya dalam pasal 268 ayat (3) KUHAP menyatakan "Membatasi permohonan peninjauan kembali atas suatu putusan hanya dapat diajukan satu kali".
 
Kemudian dalam pasal 24 ayat (1) Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dinyatakan: "Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, pihak-pihak yang bersangkutan dapat mengajukan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung, apabila terdapat hal atau keadaan tertentu yang ditentukan dalam undang-undang". 

BACA JUGA: