JAKARTA, GRESNEWS.COM - Definisi novum dinilai sudah cukup jelas dicantumkan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Sehingga novum tidak perlu dijabarkan, didetailkan, atau bahkan dibatasi pengertiannya khususnya ketika digunakan untuk peninjauan kembali (PK) bagi terpidana hukuman mati.

Anggota Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Junimart Girsang menilai definisi novum sudah cukup dijelaskan dalam KUHAP. Dalam KUHAP diatur novum adalah bukti yang belum pernah ditemukan selama perkara tersebut diperiksa. Lalu bukti tersebut juga tidak pernah dihadirkan dalam persidangan.

Untuk diketahui Pasal 184 KUHAP mengatur soal alat bukti yang sah yaitu keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa. "Jadi itu saja limitasinya novum," ujar Junimart saat dihubungi Gresnews.com, Jumat (15/5).

Ia menambahkan soal apakah novum yang diajukan terpidana dianggap sebagai novum atau bukan, sepenuhnya hal tersebut menjadi kewenangan pengadilan tingkat PK. Sehingga ia menegaskan aturan soal novum tidak perlu ditafsirkan lagi lantaran KUHAP sudah mengaturnya dengan jelas.

Selanjutnya, Direktur Eksekutif Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (Leip) Arsil menuturkan definisi novum sudah cukup sehingga tidak perlu didetailkan. Ia justru mempertanyakan kenapa novum harus didetailkan. Sebab hal tersebut nantinya malah akan membatasi definisi novum itu sendiri.

"Mau orang ajukan PK 100 kali, so what? Kan tidak tiap PK otomatis dikabulkan. Kalau tidak ada novum maka tinggal nyatakan saja tidak ada sepanjang secara formil tidak memenuhi syarat," ujar Arsil pada Gresnews.com dalam kesempatan terpisah, Jumat (15/5).

Ia menjelaskan novum merupakan keadaan baru yang belum terungkap dalam persidangan sebelumnya. Sehingga tidak perlu dibatasi maupun didetailkan. Ia mencontohkan ada wacana yang menyebutkan novum harus berupa bukti scientific. Ia mempertanyakan hal tersebut tidak tepat. Apalagi kalau diletakkan dalam studi kasus terpidana mati Mary Jane  Veloso, bukti scientific tentunya tidak akan terpenuhi.

Sebelumnya, Direktur Jenderal Peraturan Perundang-undangan Wicipto Setiadi sedang merumuskan Peraturan Pemerintah (PP) mengenai PK yang disesuaikan dengan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 34/PUU-XI/2013 soal PK boleh lebih dari sekali. Dalam PP tersebut, ia menyatakan bersama tim perumus PP PK sedang mengkaji soal perlunya novum didefinisikan lebih detail dan jelas.

BACA JUGA: