JAKARTA, GRESNEWS.COM – Bakal calon Bupati Sidoarjo Periode 2015-2020 Mochamad Syaiful melalui kuasa hukumnya,  Muhammad Sholeh mempersoalkan ketentuan syarat pengajuan calon kepala daerah oleh partai politik (parpol) dan kedudukan wakil kepala daerah ke Mahkamah Konstitusi (MK). Menurut Muhamad, sejumlah pasal yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota (Perpu Pilkada), dan Undang Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda) bertentangan dengan UUD 1945.
 
Ia mengungkapkan Perpu Pilkada memberlakukan sistim pemilihan kepala daerah tidak satu paket, yaitu kepala daerah yang terpilih mengusulkan wakil kepala daerah ke menteri dalam negeri melalui gubernur. Sementara UU Pemda mengatur jabatan wakil kepala daerah menjadi tidak harus karena frasanya tertulis ‘dapat’. Bila kepala daerah terpilih mempunyai ego tinggi merasa mampu bekerja dengan seorang wakil saja maka dia tidak akan mengusulkan beberapa wakil sebagaimana diperintahkan oleh Perpu Pilkada.
 
Selanjutnya ia menyatakan Pasal 40 ayat (1) Perpu Pilkada menyebabkan kedudukannya sebagai warga negara Indonesia tidak sama di depan pemerintahan. Sebab, pasal ini memuat batasan persyaratan pencalonan kepala daerah bisa  dilakukan minimal memperoleh kursi 20 pesen di DPRD dan perolehan suara 25 persen. "Berlakunya pasal ini membuat kesempatan pemohon menjadi kepala daerah semakin sulit," tutur Muhammad di sidang panel pengujian Perpu Pilkada terhadap UUD 1945 di gedung MK, Jalan Medan merdeka Barat, Jakarta Pusat (26/11).

Sebaliknya kata dia, pasal itu menguntungkan calon dari partai yang memperoleh kursi 20 persen dan perolehan suara 25 persen sehingga tidak perlu meminta dukungan dari partai lain. Sementara bagi calon yang didukung partai yang memperoleh kursi di bawah 20 persen dan perolehan suara di bawah 25 persen, harus melakukan transaksi politik dengan partai lain. Ia lebih setuju jika syarat dukungan partai politik terhadap calon kepala daerah adalah semua partai politik peserta pemilihan umum legislatif.
 
Pemohon berpendapat ketentuan Pasal 40 ayat (3) bertentangan dengan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945 karena memberikan perlakuan yang tidak sama bagi semua partai politik yang ikut pemilu legislatif. Padahal hak antara parpol yang mendapatkan kursi dan parpol yang tidak mendapatkan kursi adalah sama, yaitu berhak mengajukan mencalonkan kepala daerah. Aturan yang meniadakan hak partai non parlemen untuk mencalonkan kepala daerah jelas mendiskriminasi partai non parlemen.
 
Muhammad juga menilai Pasal 168 ayat (1) huruf a Perpu Pilkada sepanjang frasa ‘tidak’ mengandung ketidakpastian hukum dan bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Alasannya, pembuat undang-undang menentukan kebutuhan wakil kepala daerah diukur dari jumlah penduduk. Bagi kabupaten/kota berpenduduk di atas 100.000 harus ada wakil bupati/wakil walikota, sedangkan provinsi berpenduduk tidak sampai 1.000.000 tidak perlu wakil gubernur.

"Jabatan wakil bupati atau walikota dan wakil gubernur itu sama untuk membantu menyelesaikan tugas kepala daerahnya," jelasnya.
 
Berikutnya, Perpu Pilkada yang memberlakukan sistim pemilihan kepala daerah tidak satu paket, tapi kepala daerah yang terpilih mengusulkan wakil kepala daerah ke menteri dalam negeri melalui gubernur. Hal ini, kata dia tidak sinkron dengan Pasal 63 ayat (1) UU Pemda karena menjadikan posisi wakil kepala daerah tidak penting, tergantung kepala daerah.

Alasannya ketentuan Pasal 63 ayat (1) mengatur jabatan wakil kepala daerah menjadi tidak harus karena frasanya tertulis ‘dapat’. Bila kepala daerah terpilih mempunyai ego tinggi merasa mampu bekerja dengan seorang wakil saja maka dia tidak akan mengusulkan beberapa wakil sebagaimana diperintahkan oleh Perpu Pilkada yang merugikan Pemohon.
 
Ia membenarkan pemilihan kepala daerah tanpa wakil kepala daerah tidak bertentangan dengan Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 sebab UUD 1945 tidak pernah menyebut frasa wakil kepala daerah. Namun hal ini diangapnya tidak memberikan perlindungan dan kepastian hukum bagi pemohon.

Alasannya, ketika sistim satu paket antara kepala daerah dan wakil kepala daerah diberlakukan, maka keduanya dapat berbagi territorial dan dana dalam kampanye. Sebaliknya pemilihan kepala daerah (Pilkada) tidak melibatkan calon wakil akan menyebabkan semua pengeluaran ditanggung sendiri oleh Pemohon.
 
Karena itu ia meminta MK menguji Pasal 40 ayat (1), Pasal 40 ayat (3), Pasal 157 ayat (1), Pasal 168 ayat (1) huruf a, huruf c, huruf d, dan Pasal 168 ayat (2) huruf c, Perpu Pilkada dan Pasal 63 ayat (1) UU Pemda. Pasal 40 ayat (1) menyatakan “Partai Politik atau gabungan Partai Politik dapat mendaftarkan calon jika telah memenuhi persyaratan perolehan paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPRD atau 25% (dua puluh lima persen) dari akumulasi perolehan suara sah dalam pemilihan umum anggota DPRD di daerah yang bersangkutan”.
 
Pasal 40 ayat (3) berbunyi “Dalam hal Partai Politik atau gabungan Partai Politik mengusulkan pasangan calon menggunakan ketentuan memperoleh paling sedikit 25% (dua puluh lima persen) dari akumulasi perolehan suara sah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ketentuan itu hanya berlaku untuk Partai Politik yang memperoleh kursi di DPRD”.
 
Sedangkan Pasal 168 ayat (1) huruf a, huruf c, dan huruf d serta ayat (2) huruf c. Huruf a. "Provinsi dengan jumlah penduduk sampai dengan 1.000.000 (satu juta) jiwa tidak memiliki Wakil Gubernur"; c. "Provinsi dengan jumlah penduduk di atas 3.000.000 (tiga juta) sampai dengan 10.000.000 (sepuluh juta) jiwa dapat memiliki 2 (dua) Wakil Gubernur"; d. "Provinsi dengan jumlah penduduk di atas 10.000.000 (sepuluh juta) dapat memiliki 3 (tiga) Wakil Gubernur".

Ayat (2) "Penentuan jumlah Wakil Bupati/Wakil Walikota berlaku ketentuan sebagai berikut: c. Kabupaten/Kota dengan jumlah penduduk di atas 250.000 (dua ratus lima puluh ribu) jiwa dapat memiliki 2 (dua) Wakil Bupati/Wakil Walikota.
 
Sedangkan Pasal 63 ayat (1) UU 23/2014, ayat (1) "Kepala daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (1) dapat dibantu oleh wakil kepala daerah".
 
Karena itu, dalam petitumnya ia meminta MK menyatakan Pasal 40 ayat (1), Pasal 40 ayat (3), Pasal 157 ayat (1), Pasal 168 ayat (1) huruf a sepanjang frasa ‘tidak’; huruf c dan huruf d sepanjang frasa ‘dapat’, serta Pasal 168 ayat (2) huruf c sepanjang frasa ‘dapat’, Perpu Pilkada dan Pasal 63 ayat (1) UU Pemda sepanjang frasa ‘dapat’ bertentangan dengan UUD 1945.
 
Ia juga meminta MK menyatakan Pasal 40 ayat (1), Pasal 40 ayat (3), Pasal 157 ayat (1), Pasal 168 ayat (1) huruf a sepanjang frasa ‘tidak’, huruf c sepanjang frasa ‘dapat’, huruf d sepanjang frasa ‘dapat’, dan Pasal 168 ayat (2) huruf c sepanjang frasa ‘dapat’, Perpu Pilkada dan Pasal 63 ayat (1) UU Pemda sepanjang frasa ‘dapat’ tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

BACA JUGA: