JAKARTA - Lembaga riset Konstitusi dan Demokrasi Inisiatif (KoDe Inisiatif) mendorong Mahkamah Konstitusi (MK) untuk mengubah paradigma putusan perkara pengujian formil. Selama ini tidak ada satu pun permohonan uji formil yang dikabulkan oleh MK.

Hak uji formil adalah wewenang untuk menilai apakah pembentukan sebuah undang-undang telah melalui cara-cara atau prosedur sebagaimana yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku atau tidak. Pasal 51 ayat (3) a UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi mengatur setiap pemohon uji formil wajib menguraikan dengan jelas bahwa pembentukan undang-undang tidak memenuhi ketentuan berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Koordinator Bidang Konstitusi dan Ketatanegaraan KoDe Inisiatif Violla Reininda berpendapat MK kerap ragu-ragu menggunakan batu uji saat memutus perkara pengujian formil.

"Kami harap ini jadi momentum yang baik bagi Mahkamah Konstitusi untuk mendesain ulang bagaimana memutus perkara pengujian formil," ujar Violla dalam keterangan tertulis yang diterima Gresnews.com, Rabu (19/08/2020).

Menurut Violla, UUD 1945 dapat dijadikan dasar penafsiran MK, misalnya, asas negara hukum dan kedaulatan rakyat yang bisa ditarik benang merahnya dalam pengujian formil. 

Lebih lanjut ia mengatakan proses legislasi kini mengalami kemunduran dalam hal prosedural dengan melangkahi aturan pembentukan undang-undang. Sejumlah undang-undang yang dinilai pembentukannya tidak sesuai prosedur saat ini dalam proses pemeriksaan di MK. "Di antaranya adalah revisi UU KPK yang telah resmi diundangkan menjadi UU Nomor 19 Tahun 2019," ujarnya.

Selain itu ada juga UU Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Perppu Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi COVID-19 dan/atau dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan menjadi Undang-Undang.

KoDe Inisiatif mencatat seluruh 44 pengujian formil di MK tidak ada yang dikabulkan. Ada pengujian undang-undang yang hampir dikabulkan karena MK menemukan adanya pelanggaran prosedur akibat kuorum tidak terpenuhi. Tapi putusan akhir MK menolak permohonan karena pertimbangan asas kemanfaatan.

Dalam sebuah kesempatan Hakim Konstitusi Suhartoyo mengakui cukup berat pertimbangan MK dalam memutus uji formil karena telah banyak tindakan yang dilakukan berdasarkan undang-undang yang diuji itu.

Ia menilai saat sebuah produk undang-undang dinyatakan batal demi hukum, selanjutnya terdapat masalah pelik, misalnya, suatu lembaga sudah menjalankan fungsi undang-undang yang baru dan banyak kebijakan baru yang telah dikeluarkan.

Tantangan lainnya dari MK adalah kepatuhan lembaga negara terhadap putusan MK yang bersifat final dan mengikat.

Riset Kode Inisiatif menunjukkan 162 putusan MK belum ditindaklanjuti. "Setidaknya, putusan tersebut mengakomodasi 76 rekomendasi rancangan undang-undang (RUU)," kata Ketua Konstitusi dan Demokrasi (Kode) Inisiatif Veri Junaidi.

Veri berharap putusan MK tersebut dapat memperbarui undang-undang dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2020-2024.

Violla menambahkan kesadaran lembaga negara melaksanakan putusan MK masih rendah. Mereka cenderung tebang pilih menindaklanjuti putusan MK.

Dia menuturkan tindak lanjut putusan berdasarkan kepentingan. Apabila tafsiran MK tidak terlalu menjadi perdebatan besar maka diakomodasikan dalam undang-undang.

Namun bila putusan menyangkut politik tingkat tinggi dan mengganggu kepentingan tertentu maka tidak dilaksanakan. "Tanpa mematuhi putusan MK berarti ada pembangkangan tersendiri terhadap tafsiran nilai konstitusi," ungkapnya.

Menurut Violla, selama ini telah banyak putusan MK yang membawa perubahan dalam sistem ketatanegaraan dan berbagai aspek kehidupan.

Berdasarkan penelitian Kode Inisiatif, sejak MK berdiri, total putusan pengujian UU sebanyak 1.319.

Dari jumlah itu sebanyak 561 PUU ditolak; 516 PUU tidak dapat diterima; 180 PUU dikabulkan sebagian; 143 PUU ketetapan, 91 PUU dikabulkan seluruhnya dan 28 PUU gugur.

Ia menjelaskan kendati MK lebih banyak menolak daripada mengabulkan permohonan, tidak menutup kemungkinan MK memberi legal reasoning yang bermanfaat bagi perkembangan penafsiran konstitusi.

Menurutnya hal tersebut menjadi pesan penting, sebab membaca putusan MK bukan hanya membaca amarnya saja melainkan juga pertimbangan hukum sebagai satu kesatuan yang tak terpisahkan dari putusan.

Dari jumlah 1.319 perkara itu, terdapat 24 kategori isu pada klasifikasi judul UU yang diuji.

Di antaranya Pemilihan Umum sebanyak 179 kali; Pemerintahan Daerah 216 kali; Hukum Pidana sebanyak 173 kali; Kekuasaan Kehakiman sebanyak 141 kali; Penegakan Hukum sebanyak 84 kali; Partai Politik, Parlemen, Kementerian Negara sebanyak 83 kali; Ekonomi dan Bisnis sebanyak 68 kali; Sumber Daya Alam sebanyak 56 kali; Perpajakan sebanyak 46 kali; dan Ketenagakerjaan sebanyak 52 kali.

Terdapat UU yang paling banyak diuji yakni UU Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota sebanyak 82 kali; UU Pemerintahan Daerah sebanyak 79 kali; KUHAP 72 kali; UU Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD 59 kali; UU MPR, DPR, DPD dan DPRD sebanyak 53 kali; UU Pemilihan Umum sebanyak 45 kali; UU MK sebanyak 41 kali; UU Pemilu Presiden dan Wakil Presiden sebanyak 39 kali; UU Mahkamah Agung sebanyak 37 kali; dan UU Ketenagakerjaan sebanyak 31 kali. (G-2)

BACA JUGA: