JAKARTA, GRESNEWS.COM - Tugas Tim Terpadu Pemburu Terpidana, Tersangka dan Aset Koruptor era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono akan segera berakhir. Ke depan keberadaan Tim Terpadu masih perlu dievaluasi menyeluruh melihat capaiannya yang tak sesuai harapan.

Tahun ini hanya satu buronan kasus BLBI yaitu Adrian Kiki yang berada di Australia berhasil dipulangkan. Malah sebulan terakhir, Tim Terpadu dinilai kecolongan dengan bebasnya buron kasus Bank Century Ravat Ali Rizvi membeli klub sepakbola di Skotlandia. Meskipun setelah itu tim terpadu melalui interpol di Indonesia, mengirimkan surat ke sana meminta untuk diteruskan red notice-nya.

Padahal data dari Adhyaksa Monitoring Center yang dimuat di lamat situs Kejaksaan Agung terdapat tujuh buronan kelas kakap yang sedang dicari. Mereka adalah Eko Edy Putranto, Hendro Bambang Sumantri, Lesmana Basuki, Samadikkun Hartono, Hary Matalata, Hesham Al Warraq dan Rafat Ali Risvi. Tim pemburu belum berhasil memburunya.

Andhi Nirwanto sebagai Ketuanya mengaku telah mengevaluasi kerja tim terpadu dan melaporkannya ke Menkopolhukam. Terdapat sejumlah capaian dan kendalanya yang dilaporkan. Termasuk langkah apa yang bisa dilakukan oleh Tim Terpadu ke depan.

Diakui Andhi tak mudah memulangkan buronan di luar negeri. Ada sejumlah kendala yang dihadapi tim ini. Di antaranya soal sistem hukum antara Indonesia yang berbeda dengan negara lain.

Begitu juga ketika untuk menarik aset para buronan juga tak mudah. Sejumlah pihak yang diduga terkait keberatan. "Ada pihak-pihak mereka yang merasa ada kaitannya dengan itu, maka mereka keberatan. Itu kan menjadi kendala," kata Andhi di Jakarta, Sabtu (18/10).

Namun Wakil Jaksa Agung ini mengaku jika Tim Terpadu terus berupaya mengejar buronan dan menarik semua asetnya. Selama ini diakui jika perburuan buronan pintunya ada di central authority di bawah Kemkumham. Akibatnya eksekusi buronan kerap terkendala soal birokrasi kementerian.

Tak hanya itu, seorang jaksa eksekutor buronan yang enggan disebut namanya bercerita jika persoalan perburuan koruptor tak hanya soal sistem hukum yang berbeda. "Selain itu ada kendala dari keseriusan elit untuk mengeksekusi buronan di luar negeri," ujarnya.

Seperti kasus buron Joko Tjandra dalam kasus Casie Bank Bali yang saat ini berada di Papua Nugini. "Mudah untuk memulangkan karena telah ada kerja sama kedua negara soal ekstradisi. Hanya saja pemerintah perlu meratifikasi kerja sama tersebut," kata sang jaksa.

Pemerintah Papua Nugini telah melakukan ratifikasi. Namun Indonesia belum melakukan. "Kemenkumham tak kunjung menyampaikannya ke DPR untuk dilakukan ratifikasi," kata jaksa itu mengeluh.

Hal lain adalah soal anggaran. Saat ini anggaran untuk tim terpadu hanya Rp1,2 miliar per tahun. Jumlah itu dinilai tak cukup karena untuk memulangkan salah satu buronan saja, anggaranya hanya bisa dialokasikan sebesar Rp8 jutaan. Berbeda dengan KPK misalnya ketika memulangkan M Nazaruddin anggarannya mencapai Rp6,9 miliar.

Sementara itu,  peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Tama S Langkun mengakui ada sejumlah kendala, khususnya  birokrasi yang berbelit. Semua kebijakan mengejar buron masih harus melalu central authority. Akibatnya gerak cepat untuk mengeksekusi tak bisa dilakukan.

Misalnya untuk mengejar satu buronan, maka tim terpadu harus menyampaikan formal ke Centra Authority di bawah Kemkumham. Karena itu harus ada terobosan untuk memotongnya yang diinisiasi elit pemerintahan. "Yang jadi soal political will dari pimpinan kementerian dan lembaga untuk serius pulangkan koruptor," kata Tama.

BACA JUGA: