JAKARTA, GRESNEWS.COM - Majelis Hakim Tipikor mendapatkan masukan agar terdakwa kasus proyek videotron Hendra Saputra divonis bebas. Layakkah? Faktor apa yang mendorong majelis hakim dapat mempertimbangkan pembebasan Hendra.

Koalisi Masyarakat Sipil Perlindungan Saksi dan Korban menilai Hendra merupakan saksi pelaku yang bekerjasama alias justice collaborator dalam perkara korupsi ini. Hasilnya ia bisa mengungkap dalang sebenarnya yaitu anak Menteri Koperasi dan UKM Syarief Hasan, Riefan Avrian.

Aktivis Koalisi Masyarakat Sipil Perlindungan Saksi dan Korban Emerson Yuntho mengatakan sang office boy itu hanya menerima Rp19 juta rupiah. Tentu, hal ini tidak sebanding dengan tuntutan Jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang menuntutnya dengan pidana 2,5 tahun penjara dan denda Rp50 juta.

"Selama ini Hendra juga dinilai kooperatif baik saat pemeriksaan oleh Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta dan telah mendapatkan perlindungan dari Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK)," ujar Emerson dalam rilisnya, Rabu(13/8).

Sebagai seorang justice collaborator, Hendra dilindungi Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban (UU PSK). Hakim pun terikat untuk memberikan putusan yang berpihak pada justice collaborator. Apalagi juga ada Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2011 tentang Perlakuan Bagi Pelapor Tindak Pidana (whistleblower) dan Saksi Pelaku yang Bekerja Sama (justice collaborator) dalam Perkara Tindak Pidana Tertentu (SEMA 4/2011), memandatkan hal tersebut.

Pasal 10 Ayat (1) UU PSK menyebutkan, saksi korban, dan pelapor tidak dapat dituntut secara hukum baik pidana maupun perdata atas laporan, kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya. Dan Ayat (2) secara jelas juga menyatakan, seorang saksi yang juga tersangka dalam kasus yang sama tidak dapat dibebaskan dari tuntutan pidana apabila ia ternyata terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah, tetapi kesaksiannya dapat dijadikan pertimbangan hakim dalam meringankan pidana yang akan dijatuhkan.

Artinya, menurut pria yang juga menjabat Koordinator Advokasi ICW, Hendra dapat memperoleh putusan yang meringankan dirinya sebagai seorang justice collaborator, karena telah membantu mengungkap pelaku utama perkara korupsi.

Hal ini tandasnya, diatur pula secara jelas dalam angka 9 huruf c SEMA 4/ 2011. Yang kutipan pasal ini berbunyi, atas bantuannya tersebut, maka terhadap saksi pelaku yang bekerja sama sebagaimana dimaksud di atas, hakim dalam menentukan pidana yang akan dijatuhkan dapat mempertimbangkan penjatuhan pidana sebagai berikut.

Pertama, menjatuhkan pidana percobaan bersyarat khusus dan kedua menjatuhkan pidana berupa pidana penjara yang paling ringan di antara terdakwa lainnya yang terbukti bersalah dalam perkara dimaksud. Perlindungan bagi justice collaborator adalah hal yang mutlak perlu dilakukan demi mengungkap pelaku utama perkara korupsi.

Hal ini dapat pula menjadi preseden baik dan mendorong bagi pihak-pihak lain untuk mengungkapkan perkara korupsi lain dengan jaminan yang pasti atas perlindungan dirinya. Paling tidak ada 2 (dua) orang yang tercatat pernah menjadi justice collaborator perkara korupsi, yaitu Agus Condro dalam perkara korupsi suap pemilihan deputi gubernur Bank Indonesia, Miranda Gultom (dikenal dengan kasus korupsi cek pelawat), dan Kosasih Abbas dalam perkara korupsi Solar Home System Kementerian ESDM.

Sayangnya keduanya tidak mendapat perlindungan hukum yang maksimal sebagai justice collaborator. Hakim Pengadilan Tipikor menjatuhkan vonis 1 tahun 3 bulan untuk Agus Condro, sedangkan Kosasih Abbas divonis 4 tahun penjara.

Keduanya memang divonis lebih ringan dari terdakwa lainnya yang turut serta melakukan tindak pidana korupsi, tapi tidak cukup melindungi mereka dari vonis hakim. Hakim harusnya berani menjatuhkan vonis paling ringan. Dalam perkara Kosasih Abbas misalnya, vonis yang dijatuhkan bahkan setelah SEMA No 4/ 2011 telah diberlakukan.

"Vonis terhadap Agus Condro dan Kosasih Abbas menunjukkan bahwa Hakim dan Jaksa belum serius mempertimbangkan peran para justice collaborator dan whistleblower," kata Supriyadi W.E
(Direktur Institut of Criminal Justice Reform-ICJR) yang juga turut serta dalam koalisi ini.

Supriyadi beranggapan, ketiadaan kepastian tentang perlindungan bagi mereka justru memutus partisipasi publik dalam mengungkap perkara korupsi, karena dapat terjadi para saksi maupun saksi pelaku yang ingin bekerja sama enggan mengungkap perkara korupsi karena tidak disertai dengan perlindungan hukum atau reward yang pantas bagi mereka.

Hal yang sama tidak boleh terulang dalam perkara korupsi videotron yang menjerat Hendra Saputra. Reward bagi Hendra Saputra sebagai justice collaborator bukan hal yang main-main, terutama karena dasar hukum atasnya sudah jelas dan yang bersangkutan telah bekerja sama selama proses penyidikan dan persidangan dengan tidak memberikan keterangan yang berbelit, dan justru mengungkap pelaku utamanya, Riefan Avrian.

Atas dasar ini, Koalisi Masyarakat Sipil Perlindungan Saksi dan Korban menyatakan hal-hal sebagai berikut. Pertama, mendesak Hakim Pengadilan Tipikor untuk memberikan vonis yang
progresif yaitu pidana percobaan bersyarat khusus kepada Hendra Saputra sebagai justice collaborator yang membantu mengungkapkan pelaku utama perkara korupsi videotron.

"Kedua mendesak Kejaksaan untuk tetap memberikan status justice collaborator kepada Hendra. Hal ini penting agar yang bersangkutan mendapatkan remisi atau pembebasan bersyarat," cetusnya

Selain itu, koalisi ini juga mendesak Kejaksaan tidak hanya fokus menuntaskan kasus korupsi videotron namun juga memproses pelaku yang diduga menghalang-halangi proses penyidikan karena telah menyembunyikan Hendra Saputra dari pihak Kejaksaan dalam masa pelariannya.

Hal ini diatur dalam Pasal 21 UU Tipikor. Yaitu, setiap orang yang dengan sengaja mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tersangka dan terdakwa ataupun para saksi dalam perkara korupsi, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling
lama 12 (duabelas) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).

BACA JUGA: