JAKARTA, GRESNEWS.COM - Mantan Direktur Jenderal Pajak Darmin Nasution diperiksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait kasus dugaan korupsi dalam permohonan keberatan wajib pajak yang diajukan Bank Central Asia (BCA) pada 2003 yang menjerat Hadi Purnomo. Setelah diperiksa selama 6 jam, tidak banyak jawaban berarti yang ia berikan ketika ditanya wartawan.

Darmin mengaku tidak mengetahui kasus tersebut. Menurut Darmin ketika kasus itu terjadi, ia belum berada di Dirjen Pajak. "Saya itu jadi Dirjen setelah Pak Hadi Purnomo, apa yang jadi kasus itu saya belum di pajak. Ada follow up dari Irjen dan sebagainya, saya tidak dipajak waktu itu," ujar Hadi seusai diperiksa KPK, Senin (11/8).

Mantan Gubernur BI ke-15 ini juga enggan berkomentar banyak ketika ditanya wartawan apakah yang dilakukan Hadi Purnomo sudah sesuai dengan prosedur di Dirjen Pajak. "Saya memberi kesaksian disana aja enggak bisa, karena terjadi sebelum saya datang di Pajak," tambahnya.

Terkait masih ada atau tidaknya keberatan pajak BCA ketika ia menjabat, ia memilih menjawab diplomatis. Menurutnya, keputusan tersebut sudah diambil Dirjen Pajak sebelumnya, dan hingga kini keputusan itu masih berlaku.

Begitupun ketika ditanya wartawan perihal dugaan pemerasan yang dilakukan Hadi Purnomo kepada BCA, pria kelahiran Sumatera Utara ini malah tertawa. "Hahhahaaa.. Enggak tau saya," celotehnya.

Darmin menjabat sebagai Dirjen Pajak periode 21 April 2006 - 27 Juli 2009. Ketika itu ia menggantikan Hadi Purnomo yang menjabat Kepala Bidang Ekonomi Dewan Analisis Badan Intelejen Negara (BIN). Sedangkan kasus ini sendiri awalnya terjadi pada 17 Juli 2003.

Ketika itu, BCA mengajukan surat keberatan pajak atas tagihan pajak 1999 kepada Direktorat Jenderal Pajak. Sebab, selepas krisis moneter, kinerja BCA terganggu akibat non-performing loan alias kredit macet sebesar Rp 5,7 triliun.

Direktorat Pajak Penghasilan (PPh) menelaah keberatan itu nyaris setahun lamanya, dan melansir surat pada 13 Maret 2004 yang menyimpulkan permohonan BCA harus ditolak. Namun, Hadi pada 18 Juli 2004, sehari sebelum tenggat pengambilan keputusan, lewat nota dinas kepada Direktur PPh, memerintahkan kesimpulan diubah.

Hadi meminta Direktur PPh selaku pejabat penelaah keberatan mengubah kesimpulan, yang semula menolak, jadi menerima seluruh keberatan. Karena nota dinas itu dilansir hanya sehari sebelum tenggat penelaahan, Direktur PPh tak bisa mengajukan keberatan atas putusan Hadi itu. "Perbuatan melawan hukum yang dilakukan tersangka adalah melakukan penyalahgunaan wewenang dalam menerima keberatan BCA," kata Samad.

Dengan adanya keputusan itu, BCA tak jadi membayar pajak Rp 375 miliar. Nilai itulah yang menjadi potensi kerugian negara. Bank-bank lain juga mengajukan keberatan serupa, tapi Ditjen Pajak telah menolaknya. Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto menambahkan, seharusnya keputusan diambil berdasarkan pertimbangan teliti, tepat, cermat, dan bersifat menyeluruh.

KPK menjerat Hadi dengan Pasal 2 ayat 1 dan/atau Pasal 3 Undang-Undang Pemberantasan Korupsi, juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Berdasarkan pasal tersebut, Hadi yang baru saja pensiun hari ini terancam hukuman pidana maksimal penjara 20 tahun dan denda Rp 1 miliar.

BACA JUGA: