GRESNEWS - Opa hampir tak merasa heran lagi dengan apa yang dilihatnya dengan mata kepala sendiri di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Perbedaan perlakuan antara terdakwa miskin dan kaya, suasana sidang yang penuh intimidasi, putusan yang janggal dari hakim...

Opa adalah T.M. Hutabarat, Koordinator Pos Bantuan Hukum Advokat Indonesia (Posbakumdin) Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Kepada Gresnews.com, Jumat (22/2), Opa mencontohkan kasus Diego Michiels yang disidangkan di pengadilan yang berlokasi di kawasan Gadjah Mada, Jakarta Pusat itu.

Saat menjalani sidang sebagai terdakwa perkara penganiayaan, Diego santai saja mengenakan pakaian kasual di hadapan hakim. Namun, kata Opa, banyak sekali terdakwa lain yang tidak bisa berlaku seperti Diego. Para terdakwa lain itu harus mengenakan baju tahanan saat menjalani sidang. Bagi mereka yang miskin, akses untuk didampingi oleh pengacara juga lebih sulit dibandingkan dengan orang kaya.

"Tidak dapat dipungkiri lagi adanya diferensiasi perlakuan terhadap pelaku tindak pidana dalam menjalani persidangan dapat membuat hakim menjadi subjektif dalam menangani kasus," kata Opa.

Para pegiat bantuan hukum kerap mengilustrasikan hukum di Indonesia seperti pisau yang tajam ke bawah tetapi tumpul ke atas. Bagi orang miskin, hukum bisa menjadi sangat kejam, sebaliknya bagi orang kaya hukum bisa menjadi sangat ramah. Beberapa contoh kasus bisa disebut, kata Opa, misalnya, kasus Rasyid Rajasa. Putra Menteri Perekonomian Hatta Rajasa itu mendapatkan keistimewaan tidak menjalani penahanan meskipun ia dijerat pasal yang memungkinkan penyidik bisa melakukan penahanan terhadapnya. Rasyid juga mendapatkan pengawalan yang ketat dan perlakuan yang baik dari petugas selama masa penyidikan hingga persidangan. "Berbeda dengan para tersangka atau terdakwa lain dari kalangan orang biasa," ujarnya.
Sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat juga bisa berubah menjadi arena adu kekuatan massa, seperti pada persidangan kasus pembunuhan mantan pimpinan PT Sanex Steel Tan Hari Tantono alias Ayung dengan terdakwa John Refra Kei. Aksi demonstrasi antara massa yang pro dan kontra John Kei kerap digelar di lokasi pengadilan yang potensial mengganggu independensi hakim.

Timpang
Ketimpangan, pembedaan perlakuan, hingga tekanan massa itu membuat dugaan hakim memutus perkara secara subjektif dan menjauh dari pertimbangan keadilan. Opa menyebutkan bahkan lembaga peradilan tertinggi Mahkamah Agung (MA) pun masih diliputi kecurigaan publik terkait adanya permainan perkara. Dia mencontohkan kasus terbaru terkait pembatalan vonis mati gembong narkoba Hillary K Chimezie, yang mana terdapat kabar terbaru mengenai anggota majelis perkara itu, Suwardi, yang berpendapat Hillary harus tetap dihukum mati namun pertimbangan Suwardi tidak dimasukkan dalam berkas putusan. "Hakim dalam putusannya dapat saja berbuat salah. Artinya, bisa penerapan hukumnya yang salah," kata Opa.

Hakim Konstitusi Akil Mochtar kepada Gresnews.com, Jumat (22/2), di Jakarta, berpendapat putusan hakim bisa dipertanyakan jika ada indikasi adanya tindak pidana yang terjadi pada hakim atau adanya perilaku hakim yang bertentangan dengan undang-undang.

"Jika indikasi pidana yang terjadi maka kasusnya jadi pidana. Namun jika indikasi perilaku hakim maka akan masuk ke dalam kode etik hakim," kata Akil.

Mengenai pembedaan perlakuan terhadap terdakwa, Akil mengatakan, hal-hal semacam itu bersifat prosedural dan diyakini tidak akan mempengaruhi seorang hakim dalam memutus perkara. "Hakim hanya berwenang menilai hal-hal yang substantif kepada terdakwa atas kasus yang dihadapi," ujar Akil.

Tetapi pakar psikologi sosial dan politik Universitas Indonesia Hamdi Muluk berpendapat lain. Menurutnya, bisa saja seorang hakim merasa gentar jika yang datang ke hadapannya adalah seorang terdakwa yang mengenakan jas seharga ratusan Juta dan didampingi oleh pengacara ternama dan para pengawal.

"Tapi seharusnya demi asas justice for all dapat saja dibuat peraturan mengenai standarisasi pakaian terdakwa dalam persidangan. Equality before the law harus dijunjung tinggi," ujar Hamdi.
Apapun caranya, kata Hamdi, perlu diperkecil kemungkinan hakim merasa gentar pada saat persidangan sehingga mempengaruhi putusan.

Mencari Hakim
Diwawancarai secara terpisah, anggota Komisi Yudisial (KY) Suparman Marzuki mengatakan KY akan tetap konsisten mengawasi perilaku hakim meskipun itu hakim agung.

"Mengenai isu pelaporan hakim agung Suwardi yang menginginkan Hillary K Chimezie tetap divonis mati dan dalam putusan MA dissenting opinion tersebut tidak dicantumkan, KY belum menerima adanya laporan tersebut," ujarnya.

Sebagai informasi lain, hari ini merupakan hari terakhir pendaftaran administrasi calon hakim agung di KY. Dari target 100 orang pendaftar, data terakhir menjelaskan KY baru mengantongi 55 nama calon.

Masalah peradilan di negeri ini memang menumpuk. Keadilan masih menjauh.

BACA JUGA: