UNDANG-UNDANG Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian rupanya hasil campur tangan pemerintah Australia untuk mengatasi kejahatan penyelundupan orang. Intervensi itu dinilai mengganggu kedaulatan hukum di Indonesia.

"Dampak negatifnya adalah masalah kedaulatan hukum kita terganggu sebenarnya. Seolah-olah kepentingan negara lain bisa masuk ke dalam hukum di Indonesia," ujar pakar hukum internasional Universitas Indonesia, Hikmahanto Juwana, saat berbincang dengan gresnews.com, Senin (7/5) malam.

Senin pagi, Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) mengadakan sosialisasi UU tentang Keimigrasian. Kasubdir Perencanaan dan Pengamanan Keimigrasian, Dirjen Imigrasi Kemkumham Alif Suadi mengklaim, UU itu bisa mencegah berbagai kejahatan lintas negara (transnational crime) seperti penyelundupan orang atau narkotika.

"Imigrasi berfungsi sebagai pengamanan negara dan penegakan hukum. Selain pelayanan aparatur negara, penting untuk mengatur lalu lintas keluar masuknya orang dan mengantisipasi kejahatan internasional," kata Alif.

Selain itu, UU Keimigrasian yang baru didukung pula sistem pengolahan data berdasarkan teknologi informasi. Disebutkan Alif, Pasal 1 Ayat 10 UU Kemigrasian, mengatur tentang sistem informasi manajemen keimigrasian (Simkim). Pasal tersebut mendukung operasional manajemen dan pengambilan keputusan dalam menjalankan fungsi keimigrasian.

"Simkim untuk mengolah dan menyajikan data informasi guna mendukung operasional manajemen dan pengambilan keputusan dalam menjalankan fungsi keimigrasian," ujar Alif.

Pemerintah boleh bangga dengan kecanggihan UU Keimigrasian. Namun, beberapa ketentuan di dalamnya diyakini tidak lahir begitu saja. Pemerintah Australia rupanya sudah geram dengan masuknya imigran gelap melalui wilayah Indonesia sebagai perantara. Kebanyakan penyelundupan itu dilakukan oleh para nelayan di Indonesia.

Menurut Hikmahanto, masuknya kepentingan Australia karena Indonesia sama sekali tidak memiliki peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang penyelundupan orang (people smuggling). Adapun UU Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (human trafficking) tidak mengatur sama sekali mengenai penyelundupan.

Pasal titipan
Dengan demikian, lanjut Hikmahanto, disisipkanlah ketentuan mengenai penyelundupan orang diatur dalam Pasal 86 hingga Pasal 90, bagian keempat  UU Nomor 6 Tahun 2011 yang mengatur penanganan terhadap korban perdagangan orang dan penyelundupan manusia. "Dengan adanya UU Keimigrasian ini seolah-olah ada aturan mengenai penyelundupan orang. Tapi sebenarnya kan aturan tentang penyelundupan dicantolkan begitu saja dalam UU Keimigrasian," ujar Hikmahanto.

Hikmahanto menuturkan, banyak imigran gelap asal Timur Tengah dan Afrika ke Australia melalui Indonesia. Banyak nelayan yang beralasan kesulitan mencari ikan membantu penyelundupan itu. Bahkan, ada beberapa kelompok mafia yang melatarbelakangi penyelundupan orang ke Australia.

Tak jarang, imigran gelap dan pelaku penyelundupan itu ditangkap oleh aparat kepolisian Australia. Namun, pemerintah Negeri Kanguru itu merasa tidak sepadan dengan kepentingan Australia jika harus mengadili orang-orang Indonesia yang menyelundupkan orang. Lalu, pemerintah Australia meminta agar Indonesia bisa mengadili sendiri warga negaranya yang menyeludupkan orang.

"Jadi di situ ada kerja sama Indonesia-Australia sebenarnya," ucap Hikmahanto. "Padahal tindak pidana dilakukan di Australia, bukti-bukti di Australia. Mereka merasa terbebani jika harus memproses hukum para penyelundup."

Sisi positifnya, ujar Hikmahanto, orang-orang yang terlibat penyelundupan bisa diadili di negara asalnya, termasuk Indonesia.

Hubungan diplomasi
Beberapa peristiwa mendasari kerja sama Indonesia-Australia terkait keimigrasian. Misalnya, pada November 2009, sebanyak 61 imigran asal Timur Tengah kembali ditangkap aparat Kepolisian Daerah (Polda) Nusa Tenggara Timur (NTT) saat hendak diselundupkan ke Australia melalui Pulau Rote oleh seorang warga Indonesia.

Pada Maret 2010, pemerintah Indonesia dan Australia sepakat untuk lebih mengintensifkan pembicaraan mengenai persoalan penyelundupan manusia atau people smuggling ke Australia melalui Indonesia. Usai dibentuknya UU Nomor 6 Tahun 2011, Australia mengatakan isu penyelundupan manusia sebagai tantangan baru dunia internasional dan mengajak Indonesia untuk terlibat mengatasinya.

Terkait hal ini, pemerintah membenarkan adanya hubungan diplomasi dengan negara asing. Aturan-aturan dalam UU Keimigrasian ini, sambung Alif, dengan tegas mengatur mengenai dinamika perkembangan yang terjadi dalam masyarakat. Salah satunya, aspek ketatanegaraan yang implementasinya untuk persamaan hak dan kewajiban bagi setiap WNI. "Terdapat hubungan diplomasi antara Indonesia dengan beberapa negara asing," ujar Alif.

Kendati demikian, Hikmahanto tidak menampik adanya keunggulan lain dalam UU Keimigrasian ini. Warga negara Indonesia yang melakukan tindak pidana lalu kabur ke luar negeri, paspornya bisa ditarik oleh pemerintah. Dengan demikian, diharapkan negara penerima dapat menindak tegas pelaku itu dengan pelanggaran kemigrasian dan segera mengembalikannya ke Indonesia.

"Jadi negara lain tidak perlu repot memproses WNI karena suatu kejahatan tertentu, melainkan cukup memproses karena adanya pelanggaran keimigrasian," tegas Hikmahanto. "Tantangannya adalah kalau ada yang seperti Nazaruddin atau Gayus Tambunan, menggunakan paspor asli tapi palsu. Paspornya dibuat oleh oknum di instansi resmi, fotonya sama, tapi namanya beda."

BACA JUGA: