JAKARTA, GRESNEWS.COM - Panitia Khusus hak Angket KPK siap menembakkan "senjata baru" terhadap komisi antirasuah itu. Senjata baru yang dimaksud adalah keberadaan rumah yang disebut saksi Pansus, Niko Panji Tirtayasa sebagai rumah sekap. KPK sendiri menyebutnya sebagai safe house yaitu rumah khusus untuk melindungi para saksi kasus korupsi.

Para anggota Pansus, bersama Niko, Jumat (11/8) meninjau keberadaan bangunan yang disebut sebagai rumah sekap itu, secara fisik. Mereka mendatangi sebuah bangunan yang disebut Niko sebagai rumah sekap itu di di kawasan Depok, Jawa Barat.

Setelah melihat secara langsung fisik bangunan yang disebut sebagai rumah sekap itu, Pansus Angket KPK memastikan bahwa yang disebut rumah sekap oleh Niko Panji Tirtayasa itu memang ada. "Setelah kita lihat, benar ada rumah tersebut. Dengan demikian apa yang disampaikan Niko tentang rumah sekap memang ada!," tandas Wakil Ketua Pansus Hak Angket KPK Taufiqulhadi di kawasan Depok, Jawa Barat, Jum´at (11/8), seperti dikutip dpr.go.id.

Taufiqulhadi menegaskan, Pansus tidak setuju dengan kata-kata safe house. Sebab menurutnya kata safe house itu tidak ada dalam nomenklatur undang-undang KPK. "Tapi kalau safe house yang dimaksud adalah untuk mengamankan saksi, maka hal itu harus berada dibawah LPSK. LPSK itulah yang menjalankan semua tugas tersebut," ujarnya.

Taufiqulhadi juga nengatakan, apabila KPK menyatakan maksudnya itu untuk mengamankan, maka hal itu akan menjadi tanda tanya besar. "Apakah diamankan untuk diamankan fisiknya atau untuk dicuci otaknya. Kalau seseorang ditempatkan di rumah ini, berarti itu rumah sekap. Dan ternyata memang ada tempatnya," ucap politis F-Nasdem itu.

"Yang paling penting bagi kita," sambungnya lagi, "bukan persoalan untuk mencari safe house ataupun rumah sekap, tetapi benar atau tidak benda atau rumah yang dimaksud seperti yang telah disebutkan Niko," pungkasnya.

Sementara itu, Anggota Pansus Angket KPk Arsul Sani mengatakan, ada dua hal yang menjadi tujuan Pansus Angket KPK DPR RI melakukan tinjauan langsung ke rumah aman (safe house) KPK, yang menurut keterangan saksi bernama Niko Panji Tirtayasa lebih pantas disebut rumah sekap. Pertama, untuk mengetahui secara fisik keadaan di lapangan, apakah itu memang rumah perlindungan (safe house) atau rumah sekap.

"Yang kedua, jika kita asumsikan bahwa benar itu rumah perlindungan yang dimiliki dan dikelola oleh KPK, pertanyaannya adalah di dalam mengelola safe house tersebut apakah sudah sesuai dengan undang-undang tentang perlindungan saksi dan korban," ucap Arsul.

Arsul menjelaskan, dalam sistem peradilan pidana terpadu di Indonesia, lembaga penegak hukum tidak bisa berjalan sendiri untuk mengelola, memiliki, dan mendirikan safe house. "Dalam sistem peradilan terpadu kita, ada fungsi-fungsi lain yang dijalankan oleh lembaga. Dalam hal ini Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) yang kewenangannya juga diberikan oleh Undang-Undang," paparnya.

Pasal 15 Undang-Undang KPK memang mewajibkan KPK untuk melindungi saksi, tetapi ada juga undang-undang yang mengatur tentang tata cara perlindungan saksi dan korban tersebut, lanjut Arsul. "Polri dalam beberapa kasus ketika menempatkan seseorang itu dalam tempat aman, tetap bekerja sama dengan LPSK. Begitu juga dengan Kejaksaan. Oleh karenanya kita ingin mengetahui apakah yang dilakukan KPK ini sama atau tidak. Jangan karena KPK merasa dirinya sebagai lembaga ´super body´ hingga merasa bisa melakukan sendiri, karena anggarannya yang diberikan DPR banyak, jadi tidak perlu LPSK," kilah Arsul.

Arsul juga mengatakan, Pansus Angket KPK akan memanggil LPSK, karena sebetulnya ada MoU antara LPSK dengan KPK. "Kita akan lihat bagaimana pelaksanaannya," pungkasnya.

SEKAP SAKSI PALSU - Sementara itu, anggota Pansus KPK Masinton Pasaribu mengatakan, safe house yang disebut KPK memang lebih pantas disebut sebagai rumah sekap. pasalnya, rumah itu dipakai untuk menyekap saksi palsu yaitu Niko Panji Tirtayasa. Niko disebut Masinton, merupakan saksi palsu untuk kasus korupsi yang ditangani KPK.

"Ini benar-benar penyekapan terhadap saksi palsu yang ditempatkan di rumah sekap. Dalam undang-undang, yang namanya penempatan saksi dan korban di safe house adalah orang yang jiwa dan keselamatannya terancam. Kalau saksi palsu ditaruh di safe house namanya penyekapan. Niko itu saksi palsu," kata Masinton.

Niko, sambung politisi PDI Perjuangan itu, adalah orang yang tidak mengetahui dan tidak mengalami peristiwa korupsi yang sedang disidik KPK waktu itu. Seperti diketahui, Niko dijadikan saksi oleh KPK untuk kasus sengketa Pilkada di MK yang melibatkan mantan Ketua MK Akil Mukhtar dan calon wali kota Palembang Romi Herton pada 2014 lalu.

"Dia memang saksi palsu yang dikondisikan oleh oknum penyidik KPK untuk memberikan kesaksian dan keterangan palsu dalam proses penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan di persidangan," kata Masinton.

Masinton menyayangkan peran Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) dalam perkara rumah sekap yang kontroversial ini. LPSK seperti tunduk dan takut pada KPK. "Padahal ia punya otoritas penuh bila menyangkut pengamanan saksi dan korban," ujarnya.

Dalam keterangannya di hadapan rapat Pansus, Niko pernah mengungkapkan, rumah sekap itu berada di Depok, Jawa Barat dan Kelapa Gading, Jakarta Utara. "Semua takut sama KPK. Kita juga sedang menyurati LPSK, di mana saja ada rumah aman atau sekap yang dibuat KPK. Apakah itu rutin dilaporkan kepada LPSK. Tidak tahu rumah sekap itu sekarang dalam penguasaan siapa. Tapi rumah itu pernah disewa oleh KPK untuk menempatkan Niko sebagai saksi palsu yang dikondisikan," ungkap Masinton lagi.

Idealnya, kata Masinton, para saksi penting yang terancam jiwa dan keselamatannya, harus ditempatkan di safe house (rumah aman) bukan rumah sekap yang selama ini digunakan. Orang yang ditempatkan di safe house adalah yang benar-benar mengalami dan mengetahui suatu peristiwa hukum, dalam konteks ini adalah yang mengetahui tindak pidana korupsi.

LPSK sendiri selama ini tidak punya nyali dan keberanian untuk bertanya kepada KPK, siapa dan di mana saja KPK menempatkan para saksinya, karena menjadi otoritas LPSK. "LPSK enggak berani tuh sama KPK. Ketika Niko masih disekap, LPSK sebenarnya punya kewenangan untuk memantau. Tapi, kalau sudah berhadapan dengan KPK, malah melambai. Banci itu artinya," sindir Masinton.

Hal senada disampaikan pula oleh Eddy Kusuma Wijaya. Rumah sekap itu bukan dalam pengertian safe house. Sekap sangat berkonotasi negatif. "Rumah Sekap bukan safe house. Sekap berarti negatif. Itu bisa ada pelanggaran HAM. Tapi, kalau orang diamankan tentu dia merasa aman di situ. Kalau ada pelanggaran HAM, itu perbuatan pidana. Hanya Niko yang mengungkap adanya rumah sekap itu. Di rumah itu, Niko mengaku ditekan agar memberi kesaksian sesuai kehendak penyidik KPK," ujar Eddy.

TIDAK PERMANEN - Sementara itu menanggapi kunjungan Pansus ke lokasi safe house atau rumah aman di kawasan Depok yang disebutkan Niko Panji Tirtayasa saat menjadi saksi di KPK, pihak KPK menyebut, safe house sifatnya tak selalu permanen. "Jadi tidak selamanya akan digunakan, misalnya setahun, 2 tahun, 5 tahun, atau sifatnya permanen," kata Kabiro Humas KPK Febri Diansyah kepada wartawan di kantornya, Jalan Kuningan Persada, Jakarta Selatan, Jumat (11/8).

Febri mengatakan ada beberapa pertimbangan yang mendasari kenapa safe house sifatnya tak permanen. Ada aspek keamanan, aspek jaringan pihak yang mengancam, aspek teknis rumah, serta aspek waktu

"Tapi ada pertimbangan-pertimbangan tertentu karena kalau safe house digunakan secara permanen, misalnya di tengah jalan (lokasinya) diketahui, artinya bukan rumah aman lagi," ujar Febri.

Niko diketahui sempat tinggal di sana saat menjadi saksi melawan pamannya sendiri, Muhtar Ependy dalam kasus yang berkaitan dengan suap hakim MK Akil Mochtar pada tahun 2013. Lalu apakah rumah ini masih difungsikan sebagai safe house?

"Saya tidak tahu persis namanya safe house tentu saja tertutup. Kalau itu masih digunakan, namun dalam praktik yang kita lakukan kita mempertimbangkan sejumlah hal ketika menentukan safe house," terang Febri.

Febri Diansyah menyayangkan, kunjungan Pansus Hak Angket ke safe house dilakukan tanpa koordinasi dengan KPK. Padahal, menurut KPK, kunjungan ke safe house seharusnya dipertimbangkan karena sifat safe house itu adalah rahasia.

"Tidak ada permintaan atau surat sama sekali yang kami terima terkait hal itu. Dan sebenarnya, bagi kami, safe house itu adalah bagian dari perlindungan terhadap saksi atau pelapor juga, yang diatur dalam undang-undang. Jadi yang namanya safe house artinya sifatnya rahasia, sehingga perlu dipertimbangkan," ujarnya.

Motif tindakan Pansus sendiri, bagi KPK, cukup dipertanyakan. Walau demikian, KPK tidak khawatir karena telah bertindak sesuai dengan koridor hukum.

"Tapi kalau memang ada pihak-pihak tertentu yang ingin ke sana dengan motif dan maksud apa, kami tidak tahu. Kami juga tidak mengkhawatirkan itu. Karena semua tindakan yang dilakukan oleh KPK ini sesuai dengan aturan hukum yang berlaku dan bisa dipertanggungjawabkan," tukas Febri.

Safe house atau rumah aman diatur dalam Pasal 15 huruf a UU 30 Tahun 2002. Secara spesifik juga diatur dalam Pasal 5 Ayat (1) huruf k UU No 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.

"Semuanya sangat jelas di sana. kalau ada pihak-pihak tertentu yang mengatakan safe house tidak ada dasar hukumnya, lebih baik baca kembali undang-undangnya," tegas Febri. (dtc)

BACA JUGA: