JAKARTA, GRESNEWS.COM - Institute for Criminal Justice Reform (ICJR)  mendesak pasal-pasal penondaan agama dalan rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dihapuskan. Pasalnya dalam Pelaksanaannya dapat dimanfaatkan penguasa untuk mengekang kebebasan berekspresi.

ICJR menilai kebebasan berekspresi adalah "cornerstone" yang memungkinkan hak-hak lain dapat dinikmati dan dilindungi oleh karenanya harus dilindungi. "Kebebasan berekspresi menjadi kunci untuk mendorong setiap orang menyatakan pendapatnya secara bebas dan tanpa gangguan, dan mendorong terjadinya pertukaran gagasan," tulis ICJR dalam situs resminya.

Selain itu bila dikaji lebih dalam, kebebasan ekspresi juga merupakan kunci terbangunnya demokrasi elektoral dan membangun kepercayaan publik terhadap pemerintah. Kebebasan berekspresi juga berkaitan dengan kebebasan memperoleh informasi publik, sehingga dapat memperkuat mekanisme menuntut pertanggungjawaban pemerintah atas janji, dan kewajiban konstitusionalnya.

Kebebasan berekspresi menjadi dasar untuk memerangi korupsi dan mengurangi kemiskinan. Kebebasan berekspresi pun penting untuk pelaksanaan kebebasan beragama. "Jika orang tidak bebas untuk mewujudkan agama mereka, tidak ada hak untuk kebebasan berekspresi," tambahnya.

Kendati ICJR juga memahami, bahwa kebebasan berekspresi bukan tanpa batas namun dapat dibatasi. Namun pembatasan terhadap kebebasan berekspresi terutama dalam kebebasan beragama tetap harus diatur berdasarkan tolok ukur syarat-syarat tertentu, diantaranya:

(1) pembatasan dilakukan hanya untuk memenuhi tujuan yang sah; (2) Pembatasan itu  harus dilakukan berdasarkan UU yang berlaku, dan (3) Pembatasan tersebut juga diperlukan dalam masyarakat yang demokratis.

Selain harus memenuhi ketentuan – ketentuan pembatasan itu, perumusan ketentuan pidana harus memenuhi 3 prinsip penting yaitu lex scripta (harus dinyatakan secara tertulis), lex certa (dirumuskan dengan rinci), dan lex sctricta (tidak menimbulkan penafsiran lain).

Disebutkan ICJR dalam konteks tersebut, yang seharusnya dilindungi adalah hak masyarakat untuk menjalankan agama atau kepercayaannya  Karena itu, dalam konteks kebebasan berekspresi, diatur kewajiban yang tegas

Menurut ICJR, selain rumusan ketentuan penodaan agama – baik dalam KUHP dan RKUHP – yang masih terlampau kabur dan tidak mempunyai kejelasan tujuan, praktik penegakan hukum di Indonesia juga masih menghadapi banyak masalah.

Kerap kali ketentuan penodaan agama, praktiknya  malah menghambat pemeluk agama atau kepercayaan yang berbeda, untuk menjalankan agama atau kepercayaannya. Terutama bagi kalangan minoritas.

Selain itu dalam kasus – kasus penodaan agama, praktik pengadilan kerap ditemukan tidak bergerak dari asumsi dasar, bahwa ukuran benar atau tidak terjadinya penodaan agama, dilihat dari tafsir organisasi keagamaan yang ada.

Akibatnya Pengadilan selalu gagal menentukan batas – batas tegas kapan suatu pernyataan dapat dikategorikan sebagai penodaan atau permusuhan terhadap agama tertentu. Apalagi, ICJR memandang, menaksir batas-batas yang diperbolehkan menurut hukum, menjadi pekerjaan besar yang belum pernah tersentuh sampai saat ini. Sulitnya Pengadilan menentukan batas-batas ini merupakan dampak dari "lenturnya rumusan delik dalam penodaan agama"

ICJR juga melihat persoalan Pasal-Pasal Penodaan Agama tidak hanya terjadi pada rumusannya , tetapi juga pada Pelaksanaan Aturan.  tersebut.

Pasal penodaan agama dalam KUHP, seperti pada Pasal 156 a KUHP berasal dari aturan UU No 1/PNPS/1965  yang disahkan pada masa pemerintahan Presiden.

 
Sementara dalam pembahasan Rancangan KUHP yang telah berlangsung saat ini, ketentuan tentang Penodaan Agama diatur dalam Pasal 348 hingga Pasal 350, Pasal 348, Pasal 349 dan Pasal 350.

Pasal 350 disebutkan: Setiap orang yang di muka umum menghasut dalam bentuk apa pun dengan maksud meniadakan keyakinan terhadap agama yang sah dianut di Indonesia, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV.


PASAL PENISTAAN AGAMA JADI PERDEBATAN - Pasal Penistaan agama juga sempat menjadi perdebatan alot dalam pembahasan RUU KUHP di DPR. Pasalnya sejumlah anggota Komisi III DPR yang menjadi anggota Panja RUU KUHP ngotot menghendaki dugaan penghinaan, penodaan atau penistaan agama harus menjadi delik aduan dalam Bab VIII RUU KUHP. Alasannya jika tidak masuk delik aduan hal itu akan berbahaya jika berhadapan dengan pemerintah yang tak bijak.

Anggota Panja RUU KUHP Didik Mukrianto mengatakan ketika pemerintah tidak bijak atau penegak hukum tidak menggunakan hukum dengan baik, hal ini bisa menjadi alat kekuasaan yang berbahaya, jika tanpa pengaturan undang-undang.
 
"Dugaan penghinaan, penodaan atau penistaan agama harus menjadi delik aduan, karena kalau tidak, akan sangat bahaya," ujar politisi Partai Demorat, Februari lalu.

Sementara anggota Komisi III DPR RI lainnya, Agun Gunandjar Sudarsa menilai dugaan penghinaan, penodaan, penistaan agama tidak perlu menjadi delik aduan. Alasannya agar ketika tindakan dugaan penghinaan dan penodaan agama itu terjadi, maka negara bisa hadir mengambil tindakan. Sepanjang ada unsur-unsur di dalam KUHP dan bisa dibuktikan di pengadilan.

"Negara harus hadir di sini. Mengambil tindakan, langkah-langkah sepanjang unsur-unsur penghinaan ada dalam KUHP dan dibuktikan di pengadilan," ujarnya.

Dalam RDPU itu juga sempat mengemuka perdebatan tentang perlu tidaknya perumusan definisi dari penghinaan, penistaan atau penodaan yang akan masuk RUU KUHP. Sebab jika tidak dirumuskan, dan diserahkan batasannya kepada masing-masing organisasi, maka akan menyulitkan aparat penegak hukum.

Saat itu juga mengemuka usulan tentang perumusan simbol-simbol agama. Ada yang mengusulkan pendataan simbol keagamaan dan memiliki karakteristik yang jelas. Sehingga ke depan ada hukum yang mengatur tentang simbol keagamaan tersebut.

BACA JUGA: