JAKARTA - Kepala Desa adalah pihak yang dapat melaporkan tindak pidana kohabitasi atau hidup bersama sebagai suami istri di luar perkawinan yang sah—ancaman pidana penjara enam bulan atau denda paling banyak Kategori II.

“Adanya penambahan unsur Kepala Desa tersebut malah akan semakin memperlebar celah kesewenang-wenangan dalam urusan privasi warga negara,” kata Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform Anggara lewat pernyataan tertulis yang diterima Gresnews.com, Rabu (18/9).

Anggara menjelaskan kriminalisasi terhadap perbuatan hidup bersama sebagai suami istri di luar perkawinan atau kohabitasi sebelumnya telah dikunci oleh Tim Perumus dengan delik aduan absolut yang pengaduannya hanya dapat dilakukan oleh suami, istri, orang tua, atau anak. Namun setelah Pemerintah dan DPR melakukan pembahasan di ruang yang terutup pada 14-15 September 2019, ketentuan tersebut berubah dengan diperbolehkannya Kepala Desa atau dengan sebutan lainnya untuk melaporkan adanya pasangan yang hidup bersama sebagai suami istri di luar perkawinan sepanjang tidak terdapat keberatan dari suami, istri, orang tua, anak.

“Perluasan yang diatur dalam Pasal 419 draf RKUHP per 15 September 2019 ini jelas akan memperburuk kondisi pengaturan yang memiliki celah kesewenang-wenangan yang lebar, selain keberadaan pasal tersebut juga merupakan masalah overkriminalisasi,” ujarnya.

Lebih lanjut, dengan sulitnya akses pada pencatatan perkawinan, pengaturan pasal perzinahan dan samen leven dalam RKUHP tanpa pertimbangan yang matang berpotensi membahayakan 40 hingga 50 juta masyarakat adat dan 55% pasangan menikah di rumah tangga miskin yang selama ini kesulitan memiliki dokumen perkawinan resmi. Tanpa sosialisasi yang jelas, adanya laporan dari Kepala Desa untuk tindak pidana kesusilaan seperti kohabitasi akan berpotensi memidanakan 40% remaja yang sudah melakukan aktivitas seksual (BKKBN, 2014) dan menghambat program pendidikan 12 tahun karena akan secara langsung meningkatkan angka kawin yang sudah dialami 25% anak perempuan di Indonesia (BPS, 2016).

“Kawin cepat akan menjadi pilihan rasional untuk menghindari penjara, berdampak pada anak perempuan yang hamil di usia terlalu muda, meningkatkan risiko kematian ibu, kematian bayi, dan stunting,” kata Anggara.

ICJR menolak dengan tegas pasal tersebut dimasukkan dalam RKUHP. “Pemerintah dan DPR untuk kembali membahas secara terbuka khususnya terkait pasal-pasal dalam RKUHP baik yang bersifat overkriminalisasi maupun yang masih bermasalah lainnya dengan mengedepankan pendekatan berbasis bukti,” kata Anggara. (G-1)

BACA JUGA: