JAKARTA - Komisi Nasional (Komnas) Perempuan meminta penundaan pengesahan Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP). Komnas Perempuan berharap pemerintah dan DPR mengadakan penelitian lebih komprehensif terhadap setiap pasal yang berpotensi mengkriminalkan perempuan, kelompok rentan dan mengebiri demokrasi.

Ketua Komnas Perempuan Azriana Manalu menyatakan RUU KUHP ditujukan untuk memberi manfaat bagi masyarakat bukan untuk menimbulkan permasalahan baru, termasuk overkriminalisasi dan peminggiran kelompok rentan. "Sebaiknya membuka ruang dialog publik yang komprehensif dan kondusif sebelum melangsungkan rapat paripurna," kata Azriana dalam keterangannya kepada Gresnews.com, Jumat (20/9).

Menurutnya, proses pembahasan RUU Hukum Pidana yang cenderung tertutup dalam beberapa hari terakhir menjelang pengesahan, serta perubahan substansi/penambahan rumusan terhadap sejumlah pasal yang sebelumnya sudah relatif baik. Perubahan substansi dan penambahan rumusan yang terjadi justru menjadikan rumusan pasal-pasal yang sudah relatif baik menjadi multitafsir dan menjauh dari prinsip-prinsip Konstitusi dan HAM.

Komnas Perempuan menyampaikan beberapa catatan keberatan. Sejumlah pasal yang ada dalam RUU KUHP apabila diimplementasikan akan menimbulkan overkriminalisasi terhadap kelompok rentan, dalam hal ini anak, perempuan, kelompok miskin, orang dengan disabilitas, masyarakat hukum adat, penghayat kepercayaan, dan sebagainya.

Pasal dimaksud adalah Pasal 2 Ayat (1) dan (2) tentang Hukum yang Hidup di Masyarakat. Tidak adanya batasan yang jelas tentang hukum yang hidup dalam masyarakat di tengah beragamnya hukum yang masih berlaku dan berkembang dalam kehidupan di masyarakat, mengakibatkan ketentuan ini menghilangkan jaminan kepastian hukum sebagai prinsip utama hukum pidana dan melanggar asas legalitas.

Rumusan pasal ini akan meningkatkan potensi kesewenang-wenangan dalam penegakannya, menyuburkan overkriminalisasi bagi kelompok rentan, dan menjadi pembenar diproduksinya kebijakan daerah yang diskriminatif. Kehadiran pasal ini juga akan memperburuk praktik-praktik diskriminatif terhadap perempuan yang selama ini yang sudah berlangsung di masyarakat.

Selain itu juga Pasal 412 tentang Kesusilaan di Muka Umum. Penjelasan frasa “di muka umum” dalam pasal ini berpotensi melindungi pihak-pihak yang memiliki privilege untuk menutupi tindak pidana yang mereka lakukan, namun merentankan kelompok miskin karena tempat tinggal dan lokus mobilitasnya yang mudah dilihat, didatangi dan disaksikan oleh pihak-pihak lain.

Pasal 414-416 tentang Mempertunjukkan Alat Pencegah Kehamilan dan Alat Pengguguran Kandungan. Rumusan penjelasan pada pasal ini berpotensi menghalangi inisiatif dan partisipasi masyarakat dalam edukasi kesehatan reproduksi di masyarakat, serta program keluarga berencana. Tidak adanya kejelasan siapa yang dimaksud “relawan dan pejabat yang berwenang” berpotensi mengkriminalisasi pihak-pihak yang melakukan edukasi tentang kesehatan reproduksi dan pencegahan penyakit Infeksi Menular Seksual (IMS) maupun HIV/AIDS.

Pasal 419 tentang Hidup Bersama. Kriminalisasi hidup bersama sebagai suami istri yang dalam draf sebelumnya telah dikunci dengan delik aduan absolut di mana pengaduan hanya dapat dilakukan oleh suami, istri, orang tua, dan anak, namun dalam draf terbaru ditambahkan dengan “pengaduan dapat juga diajukan oleh kepala desa atau dengan sebutan lainnya”.

Perubahan ini akan membuat delik aduan menjadi delik biasa, dan pasangan suami istri yang terikat dalam perkawinan adat ataupun perkawinan siri (tidak memiliki bukti pencatatan perkawinan) akan potensial menjadi sasaran utama penegakan pasal ini. Secara substansi penggunaan istilah “kepala desa atau dengan sebutan lainnya” adalah bentuk manipulasi hukum yang memberikan peluang masyarakat luas ataupun pihak ketiga terlibat dalam pemidanaan.

Pasal 470-472 tentang Pengguguran Kandungan, yang akan mempidana setiap perempuan yang menghentikan kehamilan. Pasal 470 ini tidak sinkron dengan Undang-Undang tentang Kesehatan dan komitmen SDGs untuk menurunkan angka kematian ibu akibat kehamilan. Karena kehamilan tidak diinginkan menyumbang 70% angka kematian ibu. Dalam hal ini perlu ada sinkronisasi perlindungan korban perkosaan dalam RUU Hukum Pidana dengan UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan secara utuh.

Pasal 472 ini bahkan akan mempidanakan perempuan korban kekerasan seksual atau perempuan lainnya menghentikan kehamilan karena alasan darurat medis. Padahal pasal 31 PP 61 tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi membenarkan tindakan aborsi yang dilakukan berdasarkan indikasi kedaruratan medis atau kehamilan akibat perkosaan.

Pasal 467 tentang Larangan seorang ibu melakukan perampasan nyawa terhadap anak yang baru dilahirkan (Infantisida). Rumusan pasal ini diskriminatif terhadap perempuan karena mengasumsikan hanya ibu yang takut kelahiran anak diketahui oleh orang (dalam konteks kelahiran anak di luar nikah). Padahal fakta di masyarakat laki-laki yang menyebabkan kehamilan juga mengalami ketakutan. Karena asumsi yang diskriminatif tersebut potensi terbesar untuk dikriminalkan dalam pasal ini adalah perempuan. (G-2)

BACA JUGA: