JAKARTA, GRESNEWS.COM - Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo menilai putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 137/PUU-XIII/2015 sebagai hal yang tak masuk akal. Terlebih disaat pemerintah tengah gencar-gencarnya menarik para investor untuk berinvestasi. Dicabutnya kewenangan Kementerian Dalam Negeri untuk membatalkan Peraturan Daerah (Perda) yang dianggap bermasalah, disebut Tjahjo bakal menghambat program Penataan Investasi Pemerintah Secara Terpadu.

"Sebagai Mendagri, saya tidak habis pikir dengan putusan MK yang mencabut kewenangan membatalkan perda-perda yang menghambat investasi," ujar Tjahjo, Kamis (6/4).

Tjahjo menambahkan, saat ini masih banyak Perda yang bertentangan dengan peraturan-peraturan yang lebih tinggi. Perda-perda tersebut juga memperpanjang alur birokrasi perizinan yang melibatkan pihak lokal, nasional, bahkan internasional.

"Pembatalan Perda merupakan ranah eksekutif review. Sementara Perda merupakan produk yang disusun pemerintah daerah dengan kepala daerah," katanya.

Bahwa pembatalan Perda kini sepenuhnya menjadi kewenangan Mahkamah Agung (MA), Tjahjo sangsi jika lembaga peradilan tertinggi tersebut mampu membatalkan perda-perda bermasalah dalam waktu singkat. Menurutnya, pada 2012 lalu hanya ada dua perda saja yang dibatalkan oleh MA. Sedang perkara yang masuk ke MA jumlahnya belasan ribu.

"Kemendagri akan mengajak Asosiasi Kepala Daerah Kabupaten, untuk mencari jalan keluarnya tentang masalah ini," cetus Tjahjo.

Hal demikian diamini juga oleh Kepala Biro Hukum Kemendagri, Widodo Sigit Pudjianto. Kepada gresnews.com, Sigit menyebut bahwa Perda yang ada saat ini jumlahnya lebih dari 33 ribu. Andai Perda-Perda tersebut digugat ke MA, hal itu hanya akan menambah beban kerja pihak MA.

"Saat Mendagri masih diberi kewenangan untuk membatalkan Perda pun, dimana 3.143 Perda kita batalkan-- tanpa maksud mengomentari kinerja MA--MA keteteran menyelesaikan kewajibannya.Bagaimana jadinya kalau sekarang semua Perda dilimpahkan ke mereka?" papar Sigit, Kamis (6/4).

Sigit juga mengaku pihaknya sangat kaget mendengar putusan MK itu. Sigit berkeras bahwa membatalkan Perda adalah persoalan eksekutif review, sehingga kewenangannya ada pada pemerintah. Bukan pada lembaga peradilan.

"Perda ini kan produknya pemerintah. Pemerintah itu ada pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Saat pemerintah daerah mengeluarkan Perda untuk mensejahterakan rakyatnya, masa kewenangan kita untuk melakukan review malah dibatalkan," katanya.

Sigit juga menyebut, sehari sebelum MK memutus uji materi UU Pemda, Presiden Joko Widodo menggelar rapat terbatas (ratas) di Istana Negara. Pada rapat tersebut diungkap ada sekitar 23 aturan yang menghambat iklim investasi di Indonesia. Jokowi juga berpesan agar segala peraturan yang hendak dikeluarkan kementerian, mendapat persetujuan lebih dulu di dalam ratas.

"Artinya, aturan-aturan di daerah maupun di tingkat kementerian pusat itu ada yang dianggap menghambat, dan sekarang kita gak bisa membatalkan aturan-aturan itu," kata Sigit.

Sigit menyebut ada kesan "menang-menangan" dalam uji materi UU Pemda yang diajukan 47 pemohon itu. Sedang menurutnya, menyelenggarakan negara adalah kewajiban bersama. Bukan kewajiban pemerintah daerah semata.

"Saya lihatnya ini menang-menangan.Sementara putusan MK itu sifatnya final dan mengikat. Kalau saja ada banding, saya mau ajukan banding. Tapi kan gak bisa," katanya.

Karena itulah Sigit juga menyatakan, saat ini Kemendagri tengah menyusun laporan untuk disampaikan kepada Jokowi, terkait penyelesaian masalah pembatalan Perda paska lahirnya putusan MK, yang secara langsung bisa menghambat program investasi yang sudah Jokowi canangkan.

"Saya sedang bikin laporan ke sana dan berusaha bikin FGD (dengan Asosiasi Kepala Daerah Kabupaten-red) untuk menyelesaikan persoalan pelik ini," katanya.

Disinggung mengapa Perda bermasalah kerap muncul, Sigit menyebut hal demikian tak bisa lepas dari persoalan integeritas kepala daerah sendiri. Menurutnya, bukan hal ganjil bahwa sikap kenegarawanan adalah sikap yang langka dimiliki para kepala daerah.

Terakhir, Sigit mengimbau agar publik turut memantau dampak yang ditimbulkan putusan MK. Menurutnya, karena tidak ada saluran hukum untuk menggugat putusan tersebut, publik bisa menuntut MK untuk membatalkan putusannya andai putusan tersebut terbukti membawa banyak kerugian, alih-alih memenuhi hak-hak konstitusional warga negara.

"Kalau MK salah, ya teriakin, cabut putusanmu! Itu boleh dia cabut sendiri," pungkasnya.

Sementara itu, dihubungi terpisah, Juru Bicara MK Fajar Laksono menerangkan, di dalam pertimbangan hukum putusan MK, Gubernur dan Menteri dinyatakan tidak sepenuhnya kehilangan wewenang untuk melakukan pengawasan. Mereka masih bisa dan harus melakukan pengawasan preventif terhadap Raperda Kab/Kota melalui mekanisme evaluasi sebagaimana diatur di dalam Pasal 245 UU Pemda.

"Pro-kontra dalam menyikapi putusan MK adalah hal biasa," pungkasnya.

DAMPAK DILEMATIS - Sementara itu, Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Supriyadi Widodo Eddyono menilai, paska keluarnya Putusan MK Terkait Kewenangan Pusat Untuk Membatalkan Perda, seluruh kalangan harus mengantisipasi munculnya potensi peraturan daerah kabupaten atau kota yang bersifat diskriminatif dan intoleran.

"Dalam kondisi paling buruk, akan timbul penggunaan hukum pidana di tingkat lokal yang semakin eksesif. Ini menjadi dilema karena selama ini Pemerintah Pusat juga gagal untuk menggunakan kewenangan tersebut dengan baik," kata Supriyadi dalam keterangan yang diterima gresnews.com, Kamis (6/4).

Supriyadi menambahkan, paska suatu Perda diberlakukan, lantas timbul masalah yang baru terdeteksi akibat diberlakukannya perda tersebut, maka peran Pemerintah Pusat untuk melakukan pembatalan masih dibutuhkan. Terlebih saat dibutuhkan tindakan cepat.

Namun demikian, sebagaimana disampaikan sebelumnya, hal ini juga menimbulkan dilema karena Pemerintah Pusat sendiri selama ini terkesan gagal untuk menggunakan kewenangan tersebut secara maksimal.

"Pada 2016, Kemendagri telah menghapus 3.143 peraturan daerah yang seluruhnya terkait investasi, retribusi, pelayanan birokrasi dan masalah perizinan. Namun tidak ada satupun perda yang berbicara terkait diskriminasi, intoleransi atau bahkan penggunaan pidana eksesif yang dihapus," kata Supriyadi.

Supriyadi memaparkan, sebagai contoh, dalam catatan Komnas Perempuan, hingga Juni 2016, ada lebih dari 342 peraturan daerah yang dianggap diskriminatif terhadap perempuan, baik atas nama agama maupun moralitas. Sebelumnya, pada Maret 2016, melalui Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) yang diluncurkan oleh United Nation Development Programme (UNDP), tercatat ada belasan peraturan daerah diskriminatif baru pada tiga provinsi, yakni Kalimantan Selatan, Nusa Tenggara Barat dan Sumatra Barat.

Lalu pada Maret 2017, Komnas HAM menilai sejumlah peraturan di daerah yang menonjolkan nilai-nilai dan ajaran agama tertentu menjadi salah satu faktor terjadinya pelanggaran atas hak beragama.

"TIdak sedikit dalam aturan di tingkat daerah ini yang bersifat larangan dan mencantumkan sanksi tertentu," katanya.

Supriyadi pun menyebut Peraturan Daerah Kabupaten Banjar No. 10/2001 tentang Membuka Restoran, Warung, Rombong serta Makan, Minum dan Merokok di Tempat Umum pada Ramadan mencantumkan pidana kurungan paling lama 3 bulan untuk mereka yang membuka warung dan kurungan paling lama 7 hari untuk mereka yang Makan, Minum dan Merokok di Tempat Umum.

"Perda ini adalah salah satu contoh pencantuman sanksi pidana dari hampir seluruh perda yang rata-rata memuat sanksi serupa," katanya.

Lantaran itulah menurut Supriyadi, ICJR menilai bahwa kondisi semacam itu akan membawa polemik serupa sebagaimana yang terjadi pada Qanun Aceh No. 7 Tahun 2013 tentang Hukum Acara Jinayat yang saat ini berlaku di Aceh.

"Kondisi yang dimaksud salah satunya adalah deadlock antara Pemerintah Pusat dan Daerah terkait Perda yang dianggap bertentangan dengan Undang-undang diatasnya," katanya.

Berdasarkan catatan ICJR, pada tahun 2014, Kementerian Dalam Negeri telah mengirimkan catatan kepada Pemerintah dan DPRD Aceh (Mendagri No. 188.34/1655/SJ) terkait Qanun Jinayat.

Berdasarkan hasil kajian Tim Kemendagri bersama dengan Kementerian terkait, beberapa substansi Qanun Aceh No. 7 Tahun 2013 tentang Hukum Acara Jinayat bertentangan dengan sejumlah aturan, antara lain: (1) UU No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, (2) UU No. 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer, (3) UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia, (4) UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, (5) UU No. 5 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas UU No. 14 Tahun 1985 tentang TNI, (6) UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, (7) Putusan Mahkamah Konstitusi No. 006/PUU-IV/2006 dan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 34/PUU-XI/2013.

"Selain itu, Kop Qanun Jinayat bertentangan dengan Lampiran huruf A Permendagri No. 54 Tahun 2009 tentang Tata Naskah Dinas di Lingkungan Pemerintah Daerah," terangnya.

Supriyadi juga menjelaskan, lantaran dalam UU Pemerintahan Aceh Qanun Jinayat tidak dapat dibatalkan oleh Kemendagri, melainkan hanya oleh putusan MA, maka sampai dengan hari ini Pemda Aceh sama sekali belum memberikan respon terkait surat Kemendagri pada 2014 tersebut, meskipun secara substantif, Qanun Aceh No. 7 Tahun 2013 tentang Hukum Acara Jinayat bertentangan dengan berbagai aturan lebih tinggi sebagaimana disebutkan diatas.

"ICJR pada dasarnya memahami adanya peran pemerintah pusat dalam melakukan tindakan preventif dan pengawasan (atau eksekutif review) dalam proses perancangan peraturan daerah kabupaten atau kota tersebut, namun dalam fakta dan praktik yang terjadi, fungsi preventif dan pengawasan oleh Pemerintah tidaklah cukup untuk membendung munculnya peraturan daerah yang bertentangan dengan perlindungan dan pemenuhan hak asasi, begitu pula mengikuti prinsip hukum pidana yang berlaku," paparnya.

Untuk itu, ICJR merekomendasikan agar Pemerintah Pusat lebih ketat dalam upaya preventif untuk menyaring rancangan Perda sebelum disahkan menjadi Perda. Pemerintah Pusat juga harus tetap melakukan pengawasan dan memberikan catatan terkait Perda sehingga dapat menjadi rujukan apabila Perda masih dianggap bertentangan dengan aturan diatasnya atau menimbulkan praktik buruk utamanya terkait kondisi diskriminasi dan intoleransi.

"Fokus pemerintah pusat harus diperluas tidak hanya berhubungan dengan persoalan investasi, retribusi, pelayanan birokrasi dan masalah perizinan namun juga persoalan yang bersifat diskriminatif dan intoleran serta penggunaan hukum pidana lokal yang eksesif," katanya.

Terakhir, Supriyadi menyebut bahwa ICJR juga mendorong reformasi hukum acara pengujian peraturan di bawah Undang-undang yang menjadi mandat Mahkamah Agung. Dengan dasar putusan MK, maka pembatalan Perda Perda Kabupaten atau Kota hanya dapat dilakukan oleh Mahkamah Agung (MA).

"Beberapa persoalan menurut ICJR berada dalam tataran hukum acara pengujian di MA, transparansi pengujian termasuk syarat pengujian, hal-hal ini harus di evaluasi ulang di Mahkamah Agung," pungkasnya.

BACA JUGA: