JAKARTA, GRESNEWS.COM - Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) dalam uji materi Pasal 251 UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemda menyatakan, kewenangan Gubernur dan Menteri membatalkan Perda Kabupaten atau Kota bertentangan dengan Konstitusi. MK juga memutuskan, secara mutlak pembatalan Perda Perda Kabupaten atau Kota hanya dapat dilakukan oleh Mahkamah Agung (MA).

Putusan ini mendapatkan dissenting opinion dari 4 Hakim MK yaitu Arief Hidayat, I Dewa Gede Palguna, Maria Farida, dan Manahan Sitompul. Adapun Hakim MK yang sepakat dengan pembatalan kewenangan Pusat ini adalah Anwar Usman, Suhartoyo, Aswanto, Wahiduddin Adams dan Patrialis Akbar.

Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) menilai, putusan ini akan menimbulkan banyak implikikasi. "Harus di antisipasi munculnya peraturan daerah kabupaten atau kota yang bersifat diskriminatif dan intoleran. Dalam kondisi paling buruk juga akan menimbulkan penggunaan hukum pidana lokal yang semakin eksesif," kata Direktur Eksekutif ICJR Supriyadi Widodo Eddyono, kepada gresnews.com, Kamis (6/4).

Supriyadi mengatakan, peran pemerintah pusat masih dibutuhkan untuk melakukan pembatalan pasca Perda diberlakukan atau timbul masalah yang baru terdeteksi akibat diberlakukannya perda tersebut. "Utamanya apabila dibutuhkan tindakan cepat oleh pemerintah pusat," ujarnya.

Namun hal ini juga dilema, karena pemerintah pusat selama ini juga gagal untuk menggunakan kewenangan tersebut dengan baik. Pada 2016, Kemendagri telah menghapus 3.143 peraturan daerah yang seluruhnya terkait investasi, retribusi, pelayanan birokrasi dan masalah perizinan. "Tidak ada satupun perda yang berbicara terkait diskriminasi, intoleransi atau bahkan penggunaan pidana eksesif yang dihapus," ungkap Supriyadi.

Sebagai contoh dalam catatan Komnas Perempuan, ada lebih dari 342 peraturan daerah yang dianggap diskriminatif terhadap perempuan, atas nama agama dan moralitas sampai dengan Juni 2016. Sebelumnya, pada Maret 2016, melalui Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) yang diluncurkan oleh United Nation Development Programme (UNDP) mencatat ada belasan peraturan daerah diskriminatif baru pada tiga provinsi saja, yakni Kalimantan Selatan, Nusa Tenggara Barat dan Sumatra Barat.

Selanjutnya pada Maret 2017, Komnas HAM menilai sejumlah peraturan di daerah yang menonjolkan nilai-nilai dan ajaran agama tertentu menjadi salah satu faktor terjadinya pelanggaran atas hak beragama. Tidak sedikit dalam aturan di tingkat daerah ini yang bersifat larangan dan mencantumkan sanksi tertentu.

Misalnya Peraturan Daerah Kabupaten Banjar No. 10/2001 tentang Membuka Restoran, Warung, Rombong serta Makan, Minum dan Merokok di Tempat Umum pada Ramadan mencantumkan pidana kurungan paling lama 3 bulan untuk mereka yang membuka warung dan kurungan paling lama 7 hari untuk mereka yang Makan, Minum dan Merokok di Tempat Umum. "Perda ini adalah salah satu contoh pencantuman sanksi pidana dari hampir seluruh perda yang rata-rata memuat saksi serupa," kata Supriyadi.

ICJR menilai, kondisi ini akan membawa polemik sama yang terjadi pada Qanun Aceh No. 7 Tahun 2013 tentang Hukum Acara Jinayat yang saat ini berlaku di Aceh. "Kondisi yang dimaksud salah satunya adalah deadlock antara pemerintah pusat dan Daerah terkait Perda yang dianggap bertentangan dengan Undang-undang diatasnya," terangnya.

Berdasarkan catatan ICJR pada tahun 2014 Kementerian Dalam Negeri telah mengirimkan catatan kepada Pemerintah dan DPRD Aceh (Mendagri No. 188.34/1655/SJ) terkait Qanun Jinayat. Berdasarkan hasil kajian Tim Kemendagri bersama dengan Kementerian terkait, beberapa substansi Qanun Aceh No. 7 Tahun 2013 tentang Hukum Acara Jinayat bertentangan dengan beberapa peraturan perundangan.

Pertama, UU No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Kedua, UU No. 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer. Ketiga, UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia. Keempat, UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia. Kelima, UU No. 5 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas UU No. 14 Tahun 1985 tentang TNI. Keenam, UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.

Qanun tersebut juga bertentangan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 006/PUU-IV/2006 dan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 34/PUU-XI/2013. Selain itu, Kop Qanun Jinayat bertentangan dengan Lampiran huruf A Permendagri No. 54 Tahun 2009 tentang Tata Naskah Dinas di Lingkungan Pemerintah Daerah.

Dikarenakan dalam UU Pemerintahan Aceh Qanun Jinayat tidak dapat dibatalkan oleh Kemendagri melainkan hanya oleh putusan MA, maka sampai dengan hari ini, Pemda Aceh sama sekali belum memberikan respons terkait surat oleh Kemendagri pada 2014 tersebut. "Meskipun secara substantif, Qanun Aceh No. 7 Tahun 2013 tentang Hukum Acara Jinayat bertentangan dengan berbagai aturan lebih tinggi sebagaimana disebutkan di atas," terang Supriyadi.

TINDAKAN PREVENTIF - Supriyadi menegaskan, ICJR pada dasarnya memahami adanya peran pemerintah pusat dalam melakukan tindakan preventif dan pengawasan (atau eksekutif review) dalam proses perancangan peraturan daerah kabupaten atau kota tersebut. Namun dalam fakta dan praktik yang terjadi, fungsi preventif dan pengawasan oleh Pemerintah tidaklah cukup untuk membendung munculnya peraturan daerah yang bertentangan dengan perlindungan dan pemenuhan hak asasi begitu pula mengikuti prinsip hukum pidana yang berlaku.

Untuk itu, ICJR merekomendasikan agar pemerintah pusat lebih ketat dalam upaya preventif untuk menyaring rancangan Perda sebelum disahkan menjadi Perda. "Pemerintah pusat juga harus tetap melakukan pengawasan dan memberikan catatan terkait Perda sehingga dapat menjadi rujukan apabila Perda masih dianggap bertentangan dengan aturan diatasnya atau menimbulkan praktik buruk utamanya terkait kondisi diskriminasi dan intoleransi," ujarnya.

Fokus pemerintah pusat harus diperluas tidak hanya berhubungan dengan persoalan investasi, retribusi, pelayanan birokrasi dan masalah perizinan. Namun juga persoalan yang bersifat diskriminatif dan intoleran serta penggunaan hukum pidana lokal yang eksesif.

ICJR juga mendorong reformasi hukum acara pengujian peraturan di bawah Undang-undang yang menjadi mandat Mahkamah Agung. Karena berdasarkan putusan MK maka pembatalan Perda Perda Kabupaten atau Kota hanya dapat dilakukan oleh Mahkamah Agung (MA).

"Beberapa persoalan menurut ICJR berada dalam tataran hukum acara pengujian di MA, transparansi pengujian termasuk syarat pengujian, hal-hal ini harus di evaluasi ulang di Mahkamah Agung," pungkasnya.

DIKABULKAN SEBAGIAN - Uji materi atas Pasal 251 UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemda itu sendiri, salah satunya diajukan oleh Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (Apkasi) dkk. Sebenarnya ada beberapa pasal yang digugat, namun MNK hanya mengabulkan sebagian yaitu terkait Pasal 251 soal pembatalan Perda.

"Mengabulkan sebagian," kata Ketua MK Arief Hidayat di gedung MK, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta, Rabu (5/4).

MK menyatakan Pasal 251 UU Pemda terkait dengan kewenangan pembatalan perda tidak lagi bisa dibatalkan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) atau gubernur. Pasal 251 ayat 1 UU Pemda menyatakan:

"Perda Provinsi dan peraturan gubernur yang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, kepentingan umum, dan/atau kesusilaan dibatalkan oleh Menteri".

Alasannya, hal pasal tersebut inkonstitusional dan bertentangan, serta melanggar UUD 1945. Namun putusan itu tidak bulat. Ada 4 hakim konstitusi yang tidak setuju, yaitu Arief Hidayat, I Dewa Gede Palguna, Maria Farida, dan Manahan Sitompul. "Karena presiden sebagai penanggung jawab akhir," kata Palguna dalam pernyataan dissenting opinionnya.

Atas vonis itu, kubu pemohon, dalam hal ini Apkasi, mengaku belum terlalu puas karena tidak seluruh permohonan dikabulkan. Pascaputusan ini, maka seluruh pembatalan perda harus lewat judicial review Mahkamah Agung (MA).

"Sekarang dengan dikabulkannya sebagian, maka pembatalan perda dilakukan judicial review MA dengan alasan MK mengatakan itu kewenangan kekuasaan hakim," kata kuasa hukum Apkasi, Andi Syafrani, seusai sidang. (dtc)

BACA JUGA: