JAKARTA, GRESNEWS.COM — Lewat putusan Nomor 137/PUU-X III /2015, Mahkamah Konstitusi mengabulkan sebagian permohonan uji materil Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda). Diketahui, 14 pasal di dalam UU tersebut digugat oleh 47 pemohon. Namun demikian, hanya gugatan atas Pasal 251 saja yang kemudian dikabulkan oleh MK. Para pemohon sendiri terklasifikasi menjadi beberapa unsur, pertama unsur organisasi APKASI (Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia), kedua unsur perorangan, dan terakhir unsur pemerintah daerah atau pemerintahan daerah (DPRD)

"Mengabulkan permohonan Pemohon II sampai dengan Pemohon VII, Pemohon IX sampai dengan Pemohon XVII, Pemohon XX, Pemohon XXII, Pemohon XXV sampai dengan Pemohon XXXV, dan Pemohon XXXVII sampai dengan Pemohon XXXIX sepanjang pengujian Pasal 251 Ayat (2), Ayat (3), dan Ayat (8) serta Ayat (4) sepanjang frasa ´pembatalan Perda Kabupaten/Kota dan peraturan bupati/wali kota sebagaimana dimaksud pada Ayat (2) ditetapkan dengan keputusan gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat´ Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah," kata Ketua MK Arief Hidayat, Rabu (5/4).

Sebelumnya, Hakim Konstitusi Anwar Usman menjelaskan, salah satu pokok perkara yang dipersoalkan para pemohon adalah mekanisme pembatalan Perda dan Perkada oleh gubernur. Mekanisme demikian dinilai para pemohon telah menciptakan ketidakpastian hukum seiring bertentangan juga dengan pembagian trias politika, dimana pembuatan produk perundang-undangan oleh pemerintahan daerah hanya dapat dibatalkan oleh lembaga yudikatif, yang dalam hal ini adalah Mahkamah Agung.

Sementara itu, hakim konstitusi Aswanto menerangkan, keberadaan Pasal 251 Ayat (2) dan Ayat (3) UU Pemda yang memberi wewenang kepada menteri dan gubernur sebagai wakil pemerintah pusat untuk membatalkan Perda Kabupaten/Kota yang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, dinilai MK telah menyimpangi logika dan bangunan negara hukum Indonesia—sebagaimana amanah Pasal 1 Ayat (3) UUD 1945. Di sisi lain, hal tersebut juga dinilai telah menegasikan peran dan fungsi Mahkamah Agung sebagai lembaga yang berwenang melakukan pengujian peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang.

"Pembatalan Perda Kabupaten/Kota melalui keputusan gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 251 Ayat (4) UU Pemda, menurut Mahkamah tidak sesuai dengan rezim peraturan perundang-undangan yang dianut Indonesia," kata hakim konstitusi Aswanto.

Aswanto menjelaskan, Pasal 7 Ayat (1) dan Pasal 8 UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan tidak mengenal keputusan gubernur sebagai salah satu jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan. Dengan demikian kedudukan keputusan gubernur bukanlah bagian dari rezim peraturan perundang-undangan, sehingga tidak dapat dijadikan produk hukum untuk membatalkan Perda Kabupaten/Kota.

"Dengan kata lain, menurut Mahkamah terjadi kekeliruan dimana Perda Kabupaten/Kota sebagai produk hukum yang berbentuk peraturan (regeling) dapat dibatalkan dengan keputusan gubernur sebagai produk hukum yang berbentuk keputusan (beschikking)," sambung Aswanto.

Selain itu, Aswanto menerangkan, ekses dari produk hukum pembatalan Perda dalam lingkup eksekutif dengan produk hukum ketetapan gubernur sebagaimana ditentukan dalam Pasal 251 Ayat (4) UU Pemda berpotensi menimbulkan dualisme putusan pengadilan jika kewenangan pengujian atau pembatalan Perda terdapat pada lembaga eksekutif dan lembaga yudikatif.

DISSENTING OPINION — Terhadap putusan di atas, sepanjang mengenai Perda Kabupaten/Kota, terdapat 4 (empat) Hakim Konstitusi yang memiliki pendapat berbeda (dissenting opinions). Keempat hakim tersebut yakni Arief Hidayat, I Dewa Gede Palguna, Maria Farida Indrati, dan Manahan MP Sitompul.

Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna menerangkan, salah satu alasan bahwa pihaknya tidak melihat adanya pertentangan konstitusional dalam pengujian Pasal 251 Ayat (2), Ayat (3), Ayat (4), dan Ayat (8) UU Pemda adalah bahwa hakikat "pembatalan" dalam hukum administrasi adalah tindakan hukum manakala keputusan yang dibuat pejabat pemerintahan mengandung cacat hukum atau tidak lagi memenuhi syarat, baik syarat formal maupun substantif. Adapun tujuan dari pembatalan tersebut yakni untuk melindungi pihak-pihak dan masyarakat yang dirugikan atas sebuah keputusan pemerintahan dan memulihkan kembali atau menegasikan akibat hukum yang timbul dari sebuah keputusan.

"Pembatalan dapat dilakukan oleh pejabat yang membuat keputusan, atasan pejabat yang membuat keputusan, atau pengadilan (dalam hal ini Pengadilan Tata Usaha Negara)," kata Palguna.

Palguna menjelaskan, secara konstitusional, Presiden adalah penanggung jawab pemerintahan tertinggi. Dengan demikian, secara implisit, adalah kewajiban presiden untuk mengambil tindakan terhadap produk hukum penyelenggara pemerintahan yang mengandung cacat, dalam hal ini cacat itu adalah bahwa produk hukum penyelenggara pemerintahan itu bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, kepentingan umum, dan/atau kesusilaan.

"Dengan demikian adalah konstitusional apabila Presiden, melalui Menteri dan gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat di daerah, diberi kewenangan untuk membatalkan peraturan daerah," kata Palguna, menerangkan salah satu pertimbangan dissenting opinion.

Selain itu, Palguna juga menyebut, tindakan pembatalan harus dibedakan dengan judicial review atau pengujian peraturan peraturan perundang-undangan. Menurutnya, kewenangan judicial review adalah bagian dari kewenangan kekuasaan peradilan atau kekuasaan kehakiman—yang dapat dimohonkan oleh pihak-pihak yang merasa dirugikan oleh berlakunya suatu peraturan perundang-undangan dikarenakan peraturan perundang-undangan tersebut bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Sedang pembatalan adalah bagian dari kekuasaan pemerintahan (eksekutif).

Oleh karena itu, sambung Palguna, UU Pemda yang memberikan kewenangan kepada Presiden (melalui Menteri dan gubernur) untuk membatalkan peraturan daerah dan peraturan kepala daerah tidaklah dimaksudkan untuk menggantikan atau mengambil-alih kewenangan judicial review yang berada di tangan pemegang kekuasaan peradilan atau kehakiman.

"Dengan kata lain, UU Pemda tidak menghalangi atau menghapuskan hak pihak-pihak yang merasa dirugikan oleh berlakunya suatu peraturan daerah atau peraturan kepala daerah untuk mengajukan judicial review," sambungnya.

TIDAK PUAS — Ditemui sehabis persidangan, kuasa hukum pemohon Andi Syafrani menyebut pihaknya tidak puas dengan putusan MK. "Yang jelas kita posisinya kurang hepi. Karena kita menginginkan sesuatu yang besar. Permintaaan kita malahan UU ini dibatalkan secara keseluruhan. Kalaupun tidak, setidaknya 14 pasal itu dikabulkan-lah. Begitu. Masa dari 14 pasal dengan turunannya, ayat-ayatnya banyak, hanya 1 pasal yang dikabulkan," kata Andi.

Andi menyebut, ke-14 pasal yang digugat, secara umum, berkaitan dengan pembagian kewenangan antara pemerintah kabupaten kota dengan provinsi. Meski menunjukkan rasa tidak puas, Andi mengapresiasi putusan MK. Menurutnya, setelah putusan itu dikeluarkan, proses pembatalan Perda tidak bisa lagi dilakukan secara sepihak oleh gubernur.

"Kalau untuk Perda tadi alasannya jelas bahwa ini kewenangan MA karena Perda adalah produk legislatif. Artinya dia setara dengan UU hanya posisinya berada di bawah UU. Oleh karena itu karena Perda adalah produk legislatif maka proses reviewnya adalah melalui mekanisme review di lembaga kehakiman, bukan di internal melalui eksekutif. Prinsipnya Mendagri tidak lagi berwenang membatalkan Perda," katanya.

Andi juga menjelaskan, uji materil UU Pemda ini dilakukan setelah beberapa waktu lalu Mendagri membatalkan ribuan Perda. Menurutnya, para pemohon mempertanyakan atas dasar kewenangan apa Mendagri punya hak membatalkan Perda yang notabene merupakan produk legislasi—dibuat bersama-sama oleh kepala daerah dan DPRD.

Saat itu, kata Andi, para pemohon berpendapat bahwa Mendagri maupun gubernur selaku kepanjangan tangan pemerintah pusat hanya punya wewenang membatalkan produk yang dikeluarkan bawahannya, yakni Peraturan Kepala Daerah (Perkada).

"Jadi presiden sebagai penangggungjawab pemerintah pusat dia diberikan kewenangan untuk mengatur peraturan-peraturan yang ada di bawahnya. Nah persoalan di kita adalah, Perda ini dibikin bersama-sama dengan DPRD. Beda kalau tadi misalnya Peraturan Kepala Daerah. Itu memang kewenangannya Mendagri," katanya.

Andi juga menyebut alasan lain dilakukannya uji materil tersebut karena para pemohon menilai secara substansif UU Pemda telah menyimpang dari semangat otonomi daerah. "Karena gubernur secara eksplisit disebut sebagai kepanjangan tangan dari pemerintah pusat, maka semua eksekusi berada di tangan gubernur. Nah inilah yang kemudian menurut kita sudah melenceng dari semangat otonomi daerah," kata Andi.

Menurut Andi, dengan adanya semangat otonomi daerah, sudah semestinya negara menghormati kedudukan daerah. Terlebih, keberadaan daerah jauh lebih tua ketimbang keberadaan NKRI sendiri. "Itu yang harus ditegaskan. Kita harus menghargai otonomi yang sudah dimiliki oleh daerah-daerah ini sejak berabad-abad. Jangan sampai saat daerah-daerah itu masuk ke dalam satuan negara, yang terjadi adalah pengebirian," katanya. (gresnews.com/zulkifli songyanan)

BACA JUGA: