JAKARTA, GRESNEWS.COM - Mahkamah Agung mengakui terdapat kesalahan dalam penyusunan diktum putusan MA terkait pembatasan masa jabatan Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD RI). MA, dalam putusan Nomor 20 P/Hum/2017 telah mengabulkan permohonan yang diajukan sejumlah anggota DPD RI tentang pembatasan masa jabatan pimpinan DPD RI menjadi 2,5 tahun.

Adanya kesalahan itu diakui juru bicara Mahkamah Agung (MA) Suhadi. Dia mengakui terdapat kesalahan dalam putusan MA terkait Judicial Review (JR) yang diajukan sejumlah anggota DPD RI. Namun Suhadi menjelaskan, kesalahan yang terdiri dua poin itu menurutnya, tidak akan memengaruhi isi putusan karena putusan tetap berlaku.

"Iya itu salah ketik saja. Nanti kita renvoi dan diberitahukan kepada pemohon. Jadi "frase" rakyatnya dicoret jadi Dewan Perwakilan Daerah (DPD RI)," ujar Suhadi saat dikonfirmasi oleh gresnews.com melalui sambungan teleponnya, Minggu (2/3).

Lebih jauh dia menambahkan, putusan MA Nomor 20/Hum/2017 itu pada poin 2 juga akan diperbaiki. Pasalnya yang diajukan Judicial Review soal peraturan DPD Nomor 1 tahun 2017 bukan Undang-undang Nomor 1 tahun 2017. "Ada dua itu. Yang di JR itu kan peraturan DPD bukan undang-undang. Itu akan diperbaiki nanti sama majelis," tukas Suhadi.

Sebelumnya, putusan Mahkamah Agung yang telah membatalkan Peraturan DPD RI Nomor 1 Tahun 2017 tentang Tatib soal masa jabatan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) soal masa jabatan pimpinan 2,5 tahun sempat dipersoalkan DPD. Namun amar putusan MA itu dipersoalkan lantaran amar putusan MA tidak ditujukan kepada subjek hukumnya yakni DPD melainkan ditujukan kepada DPRD.

Kekeliruan itu dipersoalkan pihak kuasa hukum DPD RI dan mereka menilai amar tersebut tak bisa dieksekusi. Sebab terdapat kesalahan  mendasar terkait tugasnya memeriksa dan memutuskan perkara yang diajukan beberapa anggota DPD terkait Tatib dalam Peraturan DPD Nomor 1 tahun 2017 ke Mahkamah Agung.

Kuasa hukum Dewan DPD, Herman Kadir, menyatakan putusan MA tidak dapat dilaksanakan. Sehingga putusan MA nomor tiga tidak memiliki kekuatan eksekutorial.

"Mengingat bahwa amar putusan bersifat constitutief maka amar putusan tidak dapat dilaksanakan," ungkap Herman Kadir melalui keterangan persnya yang diterima gresnews.com, Jumat (1/4).

Ada pun amar putusan poin 3 berbunyi sebagai berikut : memerintah kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah untuk mencabut peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Republik Indonesia Undang-Undang Nomor 1 tahun 2017 tanggal 21 Februari 2017 tentang Tata Tertib.

Dalam putusan Nomor 20 P/Hum/2017 tertanggal 29 Maret 2017 itu, Herman menilai bertentangan dengan Pasal 6 Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 1 tahun 2011 tentang Hak Uji Materiil terkait perintah kepada instansi. Dalam putusan itu kepada DPRD yang seharusnya ditujukan kepada pihak DPD.

Selain itu, terkait objek putusan juga tidak bisa dicabut lantaran terdapat kesalahan pada objek sendiri. Pada putusannya poin 3 memerintahkan pencabutan terhadap undang-undang Nomor 1 tahun 2017 tentang Tatib. Sementara DPD sendiri tidak memiliki kewenangan untuk mencabut Undang-undang.

"Amar putusan dimaksud tidak memiliki kekuatan eksekutorial atau tidak mengikat secara hukum kepada DPD RI," tandasnyanya.

TAK BISA DIRKSEKUSI - Menanggapi amar putusan itu, pakar hukum tata negara dari Universitas Pancasila (UP) Muhammad Rullyandi berpendapat, amar putusan tersebut sarat kejanggalan. Dia memaparkan, dalam peradilan maka lazimnya harus diuji oleh orang atau lembaga yang memiliki legal standing untuk mengajukan judicial review ke MA terkait peraturan.

"Dalam berbagai lintasan pengadilan khusus pengujian peraturan terkadang harus memenuhi syarat legal standing yaitu subjek hukum," kata Rullyandi melalui pesan singkatnya kepada gresnews.com, Minggu (2/3).

Dengan begitu, dalam amar putusan tidak boleh melakukan kesalahan dalam diktum keputusannya. Jika terjadi kesalahan terhadap subjek hukumnya, tentu terjadi kesalahan fatal dan melanggar asas kecermatan.

Atas dasar itu, Rully menilai, ketika putusan MA ditujukan kepada subjek hukum yang berbeda, konsekuensinya amar putusan tak bisa dilakukan. "Karena itu dalam amar putusan tidak boleh ada kekeliruan atau kesalahan dalam diktum bagian putusan. Itu kesalahan fatal tidak bisa dieksekusi,"  ujar Rullyandi.

Sebelumnya enam anggota DPD RI mengajukan Judicial Review terhadap pasal 47 ayat (2) junto pasal 232 Peraturan DPD RI Nomor 1 Tahun 2017. Aturan itu terkait pembatasan masa jabatan ketua DPD yang dipotong menjadi 2,5 tahun dari 5 tahun, namun Tatib yang telah diputuskan dalam Pleno DPD itu akhirnya dibatalkan oleh MA.

Untuk diketahui, terdapat dua permohonan yang diajukan oleh anggota DPD ke Mahkamah Agung. Pertama permohonan soal Tatib DPD Nomor 1 Tahun 2016 yang juga telah diputuskan MA dengan nomor putusan 48 P/Hum/2016 tertanggal 20 Februari 2017. Lalu pada 8 Maret 2017 pemohon yang sama kembali mengajukan judicial review terhadap Tata Tertib DPD yang baru Nomor 1 Tahun 2017 dan permohonan ini pun dibatalkan  MA dengan putusan Nomor 20 P/Hum 2017 pada tanggal 29 Maret 2017.

BACA JUGA: