JAKARTA, GRESNEWS.COM - Kekisruhan pemilihan pimpinan baru Dewan Perwakilan Daerah (DPD) semakin tajam. Kini mulai muncul desakan terhadap Mahkamah Agung untuk menganulir pengambilan sumpah pimpinan DPD Oesman Sapta Odang, Nono Sampono dan Darmayanti Lubis.

Hal itu diungkap dalam diskusi bertajuk "DPD koq Gitu," Jalan Cikini Raya, Menteng Jakarta Pusat, Sabtu (8/4). Khoirul Fahmi Peneliti Pusat Studi Konstitusi Universitasa Andalas menilai, konflik DPD semakin pelik lantaran MA mengambil sumpah terhadap pimpinan DPD yang baru sebelum proses politiknya selesai.

Pemilihan Ketua DPD kemarin, memang dinilai tidak sah lantaran dasar hukum dilakukannya pemilihan yaitu Tatib 1 tahun 2017 telah dibatalkan oleh MA melalui putusan Nomor 20 P/Hum 2017. Dengan demikian, akan berlaku kembali Tatib 2014 yang menyatakan pimpinan pimpinan DPD menjabat selama 5 tahun. Dengan alasan itu, maka ketika ingin mengubah Tatib 2014, maka harus melalui proses politik.

Hanya saja, sebelum itu dilaksanakan MA telah mengambil sumpah pimpinan MA yang baru. Melihat konflik itu, Fahmi pun menyarankan agar aturan yang dibuat oleh DPD sebaiknya diberlakukan pada periode berikutnya. Karena kalau tidak, potensi konflik akan semakin terbuka jika diberlakukan pada periode DPD yang sedang berlangsung karena juga akan melanggar asas retroaktif.

Itu pula penyebab sampai terjadi kekisruhan dalam pemilihan ketua DPD yang baru. Apa lagi, MA kemudian mencampuri dengan mengambil tindakan administratif dalam masa proses politik yang masih berlangsung.

"Kalau itu dibatalkan karena melanggar asas retroaktif maka dia tidak mengambil sumpah dulu. Dia harus diselesaikan dulu proses politik di DPD baru diambil sumpahnya. Problem makin rumit disitu," kata Khairul Fahmi.

Oleh karena itu, imbuh Fahmi, penyelesaiannya bisa saja ketika ada desakan agar MA menganulir tindakan administratifnya dengan menganulir pengambilan sumpahnya lalu membuat tindakan administratif baru menjadi pilihan penyelesian. "Kalau itu tindakan administratif maka bisa dievaluasi dengan mengambil tindakan administratif baru," ujarnya.

Sementara itu Anggota DPD asal Kalimantan Selatan Sofwat Hadi menilai, rapat paripurna yang mengesahkan Tatib yang baru Nomor 3 tahun 2017 ilegal. Pasalnya, pimpinan DPD yang sah yakni Farouk Muhammad dan GKR Hemas masih menjadi pimpinan DPD yang sah.

Untuk diketahui, DPD melangsungkan paripurna dengan mengesahkan Tatib 3 2017. Sementara itu, keputusan DPD melalui paripurna juga mesti mengacu kepada UU MD3. Artinya, keputusan DPD tidak boleh semena-mena dilakukan untuk membuat Tatib yang baru.

Pimpinan Farouk dan Hemas sendiri, imbuh Sofwat, masih berlaku selama lima tahun sejak disumpah pada 2014 untuk jabatan selama 5 tahun. Sedangkan Keputusan DPD nomor 44 telah dicabut karena Tatib yang 1 tahun 2017 juga telah dicabut.

Yang membuatnya menjadi aneh, Sofwat mengatakan, setelah terpilih pimpinan DPD yang baru kemudian jabatan dikembalikan menjadi lima tahun melalui Tatib No. 3 tahun 2017 karena MA meminta agar diubah menjadi 5 tahun. "Tidak seenaknya mengubah Tatib dalam waktu satu jam. Pulang dari Mahkamah Agung langsung bikin Tatib, bukan begitu," kata Sofwat.

Berbeda dari Sofwat, anggota DPD asal Jawa Tengah Akhmad Muqowam menyatakan, tidak ada kesalahan dalam pemilihan pimpinan DPD. Dia menuturkan, pembuatan Tatib dalam waktu cepat dan langsung diparipurna hal yang biasa dalam sistem persidangan di DPD.

Dengan begitu, dia mengakui pemilihan pimpinan DPD yang berdasarkan Tatib Nomor 3 tahun 2017 telah memenuhi syarat prosedur. "Maka kemudian kami lapor ke MA bahwa Tatib telah diubah. Maka tidak ada kesalahan MA datang dan tidak ada apapun kesalahan MA dalam hal ini," pungkas Muqowam.

DUGAAN PELANGGARAN ETIK - Kisruh yang terjadi di DPD pasca dilantiknya pimpinan DPD yang baru oleh MA ini, membuat Komisi Yudisial turun tangan. KY kini tengah mendalami dugaan terjadinya pelanggaran etik oleh pimpinan Mahkamah Agung (MA) karena bertemu dengan loyalis Oesman Sapta Odang (OSO). Terlebih setelah terbitnya putusan MA menimbulkan konflik panjang.

"Kalau substansi putusan, berdasarkan peraturan bersama MA dan KY, kita tidak boleh masuk. Yang boleh kita masuk, tadi apakah yang saya sebutkan bagian tengah apakah dalam proses penerbitan putusan atau eksekusi putusan," ujar Juru Bicara KY Farid Wajdi.

Loyalis yang dimaksud adalah anggota DPD Gede Pasek Suardika dan Sekjen DPD Sudarsono Hardjosoekarto. Gede Pasek merupakan Waketum DPP Hanura. Keduanya menghadap Suwardi pada Selasa (4/4) siang. Pertemuan itu bersifat tertutup. Beberapa jam setelahnya, Suwardi datang ke DPD mengambil sumpah OSO.

"Apakah ada pihak-pihak menerima atau menjanjikan sesuatu sehingga mempengaruhi putusan dalam pelaksanaan, misal menjanjikan pengaruh, atau jabatan janji uang, atau ada peristiwa transaksional," sambungnya.

Dalam hal ini, Farid mengatakan, untuk mengkonfirmasi dugaan tersebut, komisioner akan melakukan pembuktian dari indikasi yang ada. "Nah, kita belum sampai pada tahap itu sehingga belum ada rekomendasi apa pun. Laporan tidak ada, yang ada hanya informasi, tetapi kita sedang bergerak mengumpulkan informasi," tutup Farid menjelaskan proses etik pimpinan MA dengan loyalis DPD.

Sementara itu, Presiden PKS Sohibul Iman melihat keanehan sikap MA. Di satu sisi membatalkan tata tertib yang dibuat DPD, namun di sisi lain justru melantik pimpinan yang baru. Meskipun MA berkilah tidak melantik, melainkan hanya menuntun sumpah jabatan, justru sikap itu menimbulkan keanehan yang lain.

"Jadi siapa sebetulnya yang melantik? Kalau ini menuntun sumpah, bukankah sumpah terkait dengan pelantikan," kata Sohibul Iman di Rembug Kopi, Jalan Veteran, Yogyakarta, Sabtu (8/4).

Sohibul juga berharap DPD mampu menyelesaikan masalah yang sedang dihadapi dengan kepantasan dan etika publik. Terkait dengan berbondong-bondongnya anggota DPD masuk parpol, dia menyadari, fenomena itu menimbulkan kekhawatiran di masyarakat. Hal itu dikarenakan sejak semula DPD dibentuk sebagai representasi daerah.

Dengan banyaknya anggota DPD masuk parpol, nantinya tidak ada bedanya lagi dengan DPR, yang merupakan representasi partai. "Aturan saat ini memang membolehkan orang parpol menjadi anggota DPD. Cuma ada fenomena berbondong-bondong, tentu menjadi perhatian tiba-tiba ada sekian banyak, puluhan. Kita perlu duduk bersama untuk merumuskan DPD yang lebih baik ke depannya," tegasnya. (dtc)

BACA JUGA: