JAKARTA, GRESNEWS.COM - Mendung kembali menggelayuti dunia hukum ketika Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menangkap Hakim Konstitusi Patrialis Akbar di Mal Grand Indonesia pada Rabu (25/1) malam.  KPK mengamankan 11 orang dalam operasi tangkap tangan (OTT) dan menetapkan Patrialis sebagai tersangka terkait dengan permohonan uji materi Undang-undang (UU) Peternakan dan Kesehatan Hewan.

Patrialis diduga menerima suap berupa US$ 20 ribu dan SG$ 200 ribu dari pengusaha bernama Basuki Hariman. Uang itu disampaikan melalui seorang perantara yang juga pengusaha bernama Kamaludin. KPK pun menetapkan Patrialis dan Kamaludin sebagai penerima suap. Kemudian KPK juga menetapkan Basuki dan sekretarisnya, NG Feni, sebagai pemberi suap.

Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Basaria Panjaitan mengatakan hakim konstitusi Patrialis Akbar ditangkap tim satuan tugas antikorupsi terkait dengan uji materi Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan.

"Terdapat indikasi pemberian hadiah atau janji terkait dengan pengujian undang-undang yang diajukan pihak tertentu kepada MK," kata Basaria dalam jumpa pers di gedung KPK, Jalan HR Rasuna Said, Jaksel, Kamis (26/1).

Basaria menjelaskan tim KPK telah mengikuti Patrialis selama 6 bulan. Setelah tertangkap, terungkap Patrialis menerima sejumlah uang yang diberikan dalam tiga termin. Pada termin ketiga Patrialis ditangkap. "Yang ketiga USD 20 ribu," ujar Basaria.

Sebelum menangkap Patrialis, KPK menangkap pihak swasta di lapangan golf di Rawamangun. Dari Rawamangun, tim KPK menyisir ke Sunter membekuk bos perusahaan impor daging, DHR. "DHR memiliki 20 perusahaan yang bergerak di bidang impor daging," ujar Basaria.

Menanggapi pernyataan tersebut, Ketua Mahkamah Konstitusi Arief Hidayat tidak menafikan bahwa uji materil terkait UU Peternakan dan Kesehatan Hewan memang tengah ditangani MK dan kini sudah sampai pada tahap finalisasi putusan.

"Kasus pengujian materi (UU Peternakan dan Kesehatan Hewan—red) sudah sampai tahap akan dibacakan putusan. Kita sudah putus, tapi belum diucapkan," kata Arief, Kamis (26/1).

Arief menjelaskan, dalam perkara yang teregistrasi dengan nomor 129/PUU-XIII/2016 itu, Patrialis Akbar berperan sebagai anggota tim panel hakim bersama I Dewa Gede Palguna. Adapun ketua tim panel pada perkara dimaksud adalah Manahan Sitompul.

Arief menjelaskan, meski Patrialis tercatat sebagai anggota tim panel, pengambilan putusan atas perkara tersebut ditetapkan bersama-sama oleh sembilan orang hakim MK, bukan semata oleh Patrialis. Patrialis sendiri menjadi anggota panel perkara tersebut pada sidang kedua, yakni sidang dengan agenda perbaikan permohonan, yang digelar pada Rabu (18/11/15) lalu.

Sebagai informasi, Pasal 36C Ayat (1), Ayat (3) dan Pasal 36D Ayat (1) UU Peternakan dan Kesehatan Hewan digugat oleh Teguh Boediyana (peternak sapi), Mangku Sitepu (dokter hewan sekaligus dokter manusia), Gabungan Koperasi Susu Indonesia, Gun Gun Muhamad Lutfi Nugraha (petani dan konsumen daging dan susu segar), dan Rachmat Pambudy (dosen dan konsumen daging dan susu segar). Dalam perkara tersebut, tidak ada pihak terkait yang menyatakan pendapat senada atau bertentangan dengan permohonan pemohon.

Dalam petitumnya, para pemohon meminta agar MK menyatakan frasa "atau zona dalam suatu negara" dalam Pasal 36C Ayat (1); kata “zona” dalam Pasal 36C Ayat (3) dan Pasal 36D Ayat (1), serta frasa "atau zona dalam suatu negara" dalam Pasal 36E Ayat (1) Undang-undang Peternakan dan Kesehatan Hewan bertentangan dengan Undang–Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Pasal 36C Ayat (1) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2014 berbunyi, "Pemasukan ternak ruminansia indukan kedalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dapat  berasal dari suatu negara atau zona dalam suatu negara yang telah memenuhi persyaratan dan tata cara pemasukannya."

Frasa "atau  zona dalam suatu negara" sejatinya telah dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 oleh Putusan  Mahkamah  Konstitusi  Nomor 137/PUU-VII/2009  tanggal 25 Agustus  2010. Saat itu, gugatan uji materil juga dilakukan oleh Teguh Boediyana dan Mangku Sitepu. Namun demikian, frasa tersebut dihidupkan  kembali dalam Undang-Undang perubahan yaitu UU Nomor 41 Tahun 2014.

Menurut pemohon, alih-alih memberi perlindungan terhadap warga negara Indonesia, norma tersebut justru semakin memperluas kebijakan importasi ternak di tengah tingginya ketergantungan impor ternak dan produk ternak. Menurut pemohon, seharusnya pemerintah melakukan pembenahan dengan memperbaiki industri peternakan dan peternakan rakyat di dalam negeri—bukan memberi kelonggaran terhadap aktivitas impor.
SERING DIPERIKSA - Terlepas dari persoalan OTT yang menjerat nama Patrialis Akbar, anggota Dewan Etik MK Abdul Mukhtie Fajar menyebut bahwa Patrialis merupakan hakim MK yang paling sering diperiksa Dewan Etik.

"Semua hakim sudah pernah kami periksa, termasuk ketua ini sudah kami periksa. (Kasusnya—red) mulai dari pemberitaan media karena ada laporan masyarakat. Tapi memang beliau (Patrialis—red) sering dipanggil. Beliau hakim konstitusi yang sering diperiska. Dan beliau orang yang paling sering bilang terima kasih karena sering diingatkan," kata Abdul Mukhtie, Kamis (26/1).

Abdul Mukhtie menjelaskan, pemeriksaan terhadap Patrialis beberapa kali dilakukan Dewan Etik terkait kasus Pilkada, lalu karena yang bersangkutan dianggap abai menjalankan tugas-tugas pokoknya, pernyataan-pernyataannya yang dinilai kontroversial, hingga dugaan suap.

Mengenai dugaan suap, Abdul Mukhtie menyebut kabar tersebut masuk ke Dewan Etik atas laporan kelompok masyarakat sipil yang menyebut dirinya MK watch. "Tapi ternyata itu lembaga abal-abal. Kami undang enggak pernah datang, alamatnya juga enggak pernah jelas. Masyarakat, kalau mau menjaga konstitusi, selama ada bukti-bukti kalau diundang Dewan Etik ya datanglah," papar Abdul Mukhtie.

Abdul Mukhtie melanjutkan, ke depan, salah satu tantangan besar yang dihadapi MK adalah proses rekrutmen hakim. Bagaimanapun, adanya unsur pemerintah dan DPR sebagai pihak yang punya kewenangan mencalonkan hakim MK dinilai Abdul Mukhtie tak bisa lepas dari kepentingan politis.

"Pemerintah mengambilnya juga politik, jadi idealnya (pola seleksi hakim) harus selektif," lanjut Abdul Mukhtie.

Abdul Mukhtie mengingatkan bahwa sebagai hakim MK, seseorang haruslah memiliki sifat negarawan yang berbakti demi kepentingan publik, punya integritas, dan tentu menguasai betul persoalan konstitusi.

Sebelumnya, Arief Hidayat menyebut bahwa seiring beredarnya berita mengenai OTT yang menjerat nama Patrialis Akbar, MK sendiri mendukung KPK untuk menuntasan permasalahan tersebut. Arief menyatakan, MK membuka akses seluas-luasnya kepada KPK untuk melakukan pemeriksaan, dan jika diperlukan, bahkan mempersilakan KPK untuk meminta keterangan hakim konstitusi tanpa perlu mendapatkan izin dari presiden- hal yang sebetulnya diatur di dalam UU MK. Arief menambahkan, seluruh jajaran MK juga akan bersikap kooperatif terhadap KPK.

Selain itu, Arief juga menyebut pihaknya mendapat informasi dari Dewan Etik bahwa dari aspek etika Dewan Etik akan segera menggelar rapat untuk mengusulkan pembentukan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi disertai dengan usul pembebastugasan Patrialis Akbar.

"Jika hakim konstitusi yang bersangkutan diduga melakukan pelanggaran berat, Mahkamah Konstitusi dalam jangka dua hari kerja sejak menerima usulan dari Dewan Etik, membentuk Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi yang keanggotaannya berjumlah 5 orang," kata Arief.

Kelima orang tersebut terdiri atas 1 orang hakim MK, 1 orang anggota KY, 1 orang mantan hakim MK, 1 orang guru besar dalam bidang hukum, serta 1 rang tokoh masyarakat.

Seiring dengan itu, kata Arief, MK juga akan mengajukan permintaan pemberhentian sementara Patrialis Akbar kepada Presiden. "Dalam hal Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi mengambil keputusan bahwa hakim konstitusi yang bersangkutan melakukan pelanggaran berat, MK segera mengajukan permintaan pemberhentian tidak dengan hormat hakim konstitusi yang bersangkutan kepada presiden," pungkas Arief. (Zulkifli Songyanan)


BACA JUGA: