JAKARTA, GRESNEWS.COM - Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menjadi sorotan setelah ditangkapnya Hakim Konstitusi Patrialis Akbar dengan tuduhan menerima suap terkait uji materi UU Peternakan dan Kesehatan Hewan. Ini bukanlah kali pertama Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menangkap seorang hakim konstitusi. Sebelumnya ada nama Akil Mochtar yang sudah lebih dulu menjadi pesakitan karena melakukan sejumlah perbuatan korupsi seperti penerimaan suap dan juga pencucian uang.

Ketua MK Arief Hidayat mengaku bingung dengan kejadian berulang yang menimpa lembaga yang dipimpinnya ini. Menurut Arief, pihaknya telah melakukan berbagai cara mulai dari perbaikan sistem dan memperketat aturan guna menghindari adanya perbuatan koruptif yang dilakukan para bawahannya.

"Diawasi apapun, dijaga apapun, kalau memang hakimnya tidak benar dan itu juga bisa terjadi masalah ini. Siapapun ketuanya dan siapapun yang mengawasi bisa terjadi kalau hakimnya masih mudah tergoda. Apakah sistim yang kita perbaiki itu susah kalau ini," kata Arief di Gedung KPK, Kamis (16/2).

Kedatangan Arief di KPK sebenarnya untuk menghadiri panggilan tim penyidik dalam kapasitasnya sebagai saksi atas tersangka Patrialis. Ia mengikuti jejak sejumlah Hakim Konstitusi lain yang telah lebih dulu diperiksa tim penyidik.

Mengenai masalah di lembaganya, Arief mengaku juga berdiskusi dengan penyidik di sela-sela pemeriksaan. Menurutnya, tidak ada yang salah dengan sistem yang sudah ada, tetapi kasus seperti ini merupakan kesalahan pribadi dari para pelaku.

"Saya katakan meskipun kita diawasi oleh siapapun prosesnya memang orang-orang yang tahu putusan 9 orang hakim dan panitera sehingga kita betul-betul harus menghasilkan hakim yang berintegritas dan tahan godaan, hakim yang baik, hakim yang hidupnya sudah selesai sehingga tidak ingin apa-apa lagi," ujarnya.

Terkait uji materi UU Peternakan dan Kesehatan Hewan di MK, Arief Hidayat menyebut tidak ada yang janggal dalam penanganan perkara itu. Dia juga tidak tahu adanya putusan yang dibocorkan oleh Patrialis Akbar.

"Selama ini saya tidak melihat kejanggalan. Semua berjalan dengan wajar tapi kalau ternyata di balik itu ada hakim yang bocorkan di luar saya tidak tahu sama sekali," kata Arief.

Arief menyebut dirinya sebagai ketua MK tidak dapat memerintah hakim lain untuk melakukan sesuatu. Menurutnya, semua hakim memiliki independensi masing-masing. "Ketua sifatnya primus interpares, saya hanya didahulukan selangkah dan lebih tinggi seranting. Saya tidak bisa katakan hakim harus begini harus begitu karena hakim sederajat. Beda dengan yang strukturnya kepala misalnya," ujar Arief.

Selain Arief, hakim Mk lainnya Suhartoyo yang diperiksa menyebut dirinya ditanyai 12 pertanyaan oleh penyidik. Pertanyaan itu disebutnya seputar proses persidangan perkara uji materi UU Peternakan dan Kesehatan Hewan. "Seputar perkara itu. Proses rapatnya, kemudian persidangannya," ujar Suhartoyo saat akan meninggalkan Gedung KPK.

LEBIH SELEKTIF - Dua hakim konstitusi yang bermasalah di KPK diketahui berasal dari partai politik. Akil Mochtar merupakan mantan Politisi Partai Golkar dan Patrialis Akbar sebelumnya adalah Politisi Partai Amanat Nasional (PAN).

Namun, Arief sendiri enggan menghubungkan asal muasal para hakim dengan perkara yang terjadi saat ini. Ia berpendapat, tidak ada jaminan asal muasal hakim bisa bersih dari berbagai tindakan koruptif. "Saya tidak bisa mengatakan begitu, karena hanya bisa katakan negarawan yang baik itu bisa berasal darimana pun," ujar Arief.

Usai terjadinya penangkapan terhadap Patrialis, Ketua Dewan Etik MK Abdul Mukhtie Fajar meminta, ke depan pemilihan hakim konstitusi lebih selektif. Pasalnya, tugas hakim konstitusi tidak mudah dan sangat rentan akan berbagai pelanggaran.

"Saya kira harus selektif, yang jelas pola seleksi hakim konstitusi, mau itu dari DPR, MA, maupun Presiden. Betul-betul harus diseleksi, karena jadi hakim MK memang berat," ujar Mukhtie Fajar di gedung MK, Jalan Medan Merdeka Barat, Gambir, Jakarta Pusat, Kamis (26/1).

Pemerintah sendiri juga menyetujui jika pengganti Patrialis nanti semestinya bukan dari kalangan partai politik. Sebab, selain Patrialis, hakim MK sebelumnya yang berkasus juga punya latar belakang parpol, yakni Akil Mochtar.

"Apa yang terjadi di MK, dari dua hakim MK itu kan mempunyai latar belakang partai atau politikus. Sehingga calon usulan pengganti (Patrialis) itu ada pemikiran supaya terbebas dari kepentingan tarik-menarik urusan politik adalah orang yang tidak pernah atau tidak terasosiasi dengan parpol tertentu," kata Sekretaris Kabinet Pramono Anung di Kompleks Istana Kepresidenan, Jl Medan Merdeka Utara, Jakarta, Senin (6/2).

DIBERHENTIKAN TAK HORMAT - Sementara itu, terkait penangkapan Patrialis Akbar, Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) telah memutuskan untuk menetapkan pemberhentian tidak terhormat kepada Patrialis Akbar sebagai hakim konstitusi. Rekomendasi pemberhentian itu diberikan kepada Ketua MK untuk selanjutnya diinformasikan kepada Presiden.

"Kesimpulan, memutuskan Dr Patrialis Akbar, SH, MH, diberhentikan secara tidak hormat, demikian diputuskan," kata Ketua MKMK Sukma Violetta di gedung MK, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta, Kamis (16/2).

Alasan pemberhentian Patrialis adalah terbukti telah melakukan pelanggaran berat dan ditangkap KPK, ditetapkan sebagai tersangka, serta ditahan di rutan KPK. "Dengan keputusan ini, tanggung jawab kami telah selesai. Amanat akan kami kembalikan ke Mahkamah Konstitusi," ujar Sukma.

Hasil ini akan diteruskan ke hakim di Mahkamah Konstitusi. Selanjutnya Mahkamah Konstitusi akan menyampaikan informasi tersebut ke Presiden. Sidang putusan ini dipimpin ketua hakim Dewan Etik Sukma Violetta bersama anggota Achmad Sodiki, Anwar Usman, Bagir Manan, dan As´ad Said Ali.

Patrialis ditangkap pada Rabu (25/1) malam di Mal Grand Indonesia bersama seorang perempuan bernama Anggita. Beberapa jam sebelumnya, KPK menangkap Kamaludin di lapangan golf Rawamangun dan Basuki Hariman di kantornya di Sunter.

Serangkaian penangkapan itu membuka tabir dugaan jual-beli putusan terkait dengan uji materi UU Peternakan dan Kesehatan Hewan. Dari operasi tangkap tangan itu, Patrialis akhirnya ditetapkan sebagai tersangka setelah diduga menerima suap US$20 ribu dan Sin$200 ribu atau senilai Rp2,15 miliar. (dtc)

BACA JUGA: