JAKARTA, GRESNEWS.COM - Penegakan hukum pidana atas korporasi dinilai akan sulit diimplemetasikan. Pasalnya, sebagai badan hukum, korporasi tidak bisa memenuhi unsur memiliki motif dan kesengajaan, yang harus ada sebagai ketentuan dijatuhkannya hukuman pidana. Oleh karenanya selama ini korporasi tidak termasuk dalam ruang lingkup korupsi.


Pendapat itu diungkapkan Pakar Hukum Korporasi Chandra Yusuf dalam Seminar Nasional "Penegakan Hukum Terhadap Kejahatan Korupsi dalam Korporasi" yang digelar di Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Iblam,  Jakarta, Senin (19/12).

"Yang punya motif dan unsur kesengajaan itu hanya manusia dan pembuktiannya juga tentu harus kepada manusia. Kalau mau membuktikan korporasi melakukan korupsi bagaimana?" kata Chandra kepada gresnews.com, usai acara.

Chandra memaparkan, kesalahan-kesalahan dalam korporasi, termasuk salah satunya adalah korupsi, timbul akibat perilaku manusia. Lantaran itulah dalam kasus korupsi yang menjerat suatu korporasi, pihak yang kerap dimintai pertanggungjawaban adalah jajaran direksi atau komisaris. "Artinya, jika direksi melakukan kesalahan, dia dihukum secara pribadi, bukan atas nama korporasi," kata Chandra.

Selain masalah motif maupun unsur kesengajaan di atas, Chandra juga menyebut hal lain yang turut menyulitkan korporasi dijatuhi hukuman pidana adalah terkait dengan pemegang saham. Misalnya korporasi tersebut sudah go public. Artinya, dalam kasus korupsi yang dilakukan korporasi, harta perusahaan dan harta pribadi kerap bercampur dan berkelindan. Menyitir Pasal 3 ayat (1) UU No 40 2007 tentang Perseroan Terbatas (UU PT), Chandra menyebut bahwa pemegang saham perseroan tidak bertanggung jawab secara pribadi atas perikatan yang dibuat atas nama perseroan dan tidak bertanggung jawab atas kerugian Perseroan melebihi saham yang dimiliki.

"Saya melihatnya dari sudut pandang kepentingan. Jika suatu korporasi melakukan korupsi, uang atau keuntungan yang masuk tidak hanya kepada pendiri korporasi tersebut. Tapi juga masuk ke pemegang saham lain, yang bisa jadi tidak tahu apa-apa," kata Chandra.

Chandra menilai, andai suatu korporasi dijatuhi hukuman pidana, dan oleh sebab itu para pemegang saham yang tidak tahu apa-apa terkena imbasnya, hal itu dia anggap tidak masuk akal. "Kalau ada orang asing yang cuma sebentar (memiliki saham—red), tapi dia bisa kena juga. Kan gak masuk akal," katanya.

Diminta tanggapan mengenai Peraturan Mahkamah Mahkamah Agung (MA) mengenai pidana korporasi yang saat ini tengah digodok lembaga tersebut, Chandra mengaku mengapresiasi hal tersebut. Namun demikian, Chandra juga menyatakan hal itu tidak akan menjadi solusi menyeluruh bagi persoalan korupsi yang dilakukan korporasi.

"Tetap sulit, karena yang namanya Perma hanya berlaku di lingkungan MA saja. Makanya saya katakan itu sulit. Kecuali kalau aturan-aturan mengenai pidana korporasi di Perma itu dijadikan Undang-Undang. Artinya semua sistem harus diubah total," tandasnya.

Namun demikian, Chandra yakin KPK bisa menyelesaikan kasus-kasus korupsi yang dilakukan korporasi. Menurutnya  andai KPK diberi kewenangan juga untuk melakukan gugatan perdata terhadap korporasi.

Menurut dia mengubah semua sistem hukum tidak mungkin, solusinya berikan kewenangan KPK untuk bisa menggugat secara perdata perbuatan korporasi yang melawan hukum. "Jadi bisa dituntut. Orangnya dipidanakan, dan harta korporasinya digugat,” tambah Chandra.

Tak jauh berbeda dengan Chandra, mantan ketua KPK Antasari Azhar juga menyerukan pendapat serupa soal pidana korporasi. Bahkan lebih ekstrem, Antasari menyarankan agar hak-hak perdata suatu korporasi dimatikan andai terbukti melakukan korupsi.

"Bahwa korporasi tidak bisa dipidana dalam artian fisik, ya. Saran saya, untuk korporasinya dimatikan saja hak-hak perdatanya. Artinya, mereka tidak lagi berinteraksi. Korporasinya ditutup langsung," kata Antasari, Senin (19/12).

Antasari berpendapat melakukan pemiskinan tidak akan membuat tindakan korupsi hilang begitu saja. Lantaran itulah Antasari juga menyarankan agar semua pelaku korupsi turut dimatikan hak-hak perdatanya, sebagaimana dulu rezim Orde Baru melakukan itu kepada para tahanan politik.

"Pertanyaan saya, di Indonesia, beranikah membuat regulasi mematikan perdata orang-orang yang melakukan korupsi? Kita usulkan itu kepada negara dan pemerintah," ujarnya.

Antasari menambahkan bahwa hal itu sudah berlaku di sejumlah negara, salah satunya Singapura. Menurutnya, orang-orang di Singapura takut melakukan korupsi karena hak-hak perdata mereka akan dimatikan jika melakukan tindakan yang tergolong extra ordinary crime itu. "Artinya setelah keluar penjara, dia tidak  bisa jadi apa-apa lagi. Bahkan buka warung juga tidak bisa," katanya.

"Saya bersyukur karena hak politik saya tidak dicabut. Tapi walaupun demikian, masuk penjara rasanya sakit juga," tambah Antasari.


SOAL IMPLEMENTASI - Direktur Pusat Belajar Antikorupsi Dompet Dhuaffa, Mohammad Ridwan Affan, memberi penilaian berbeda terhadap masalah tindakan pidana korporasi. Menurutnya, perdebatan selama ini mengenai bisa-tidaknya sebuah tindakan pidana dijatuhkan pada sebuah korporasi masih berkisar di ranah perdebatan teoritis. Sedang di Indonesia sendiri, contoh nyata mengenai pidana korporasi sudah ada, yakni dalam kasus Giri Jaladhi Wana.

"Bahkan sudah ada yurisprudensinya," kata Ridwan kepada gresnews.com, Senin (19/12). Ridwan pun menyampaikan harapannya agar Perma yang sudah cukup lama dirancang MA itu bisa segera diketok palu.

"Perma ini kan masih dalam tahap finalisasi, mudah-mudahan akhir 2016 ini keluar, dan bisa menjawab semua perdebatan yang ada," katanya.

Ridwan menjelaskan, salah satu hal yang menghambat ditegakkannya pidana atas korporasi adalah tidak adanya kepastian hukum mengenai hukum acara pidana korporasi itu sendiri. Menurutnya, dalam Pasal 20 UU Tipikor hal itu memang sudah diatur, namun aturan itu tidak mendalam. "Makanya harus dibikin secara khusus hukum acara terkait bagaimana melakukan penuntutan terhadap tindak pidana korporasi. Dan itu yang sedang digodok MA lewat Perma," tambahnya.

Ridwan menambahkan bentuk sanksi pidana atas korupsi yang dilakukan korporasi sangat beragam, misalnya denda, pembubaran, penghentian aktivitas, peletakan di bawah pengampuan, penutupan tetap maupun sementara, larangan mengikuti tender publik, larangan penggalangan dana publik, perampasan aset, ganti rugi, dan pengumuman putusan. "Negara yang menerapkan semua sanksi itu adalah Perancis, sedang di Indonesia hanya berlaku sanksi denda, peletakan di bawah pengampuan, penutupan sementara, perampasan aset, dan pengumuman putusan," paparnya.

Adapun alasan-alasan di balik pemidanaan suatu korporasi antara lain adanya realitas mengenai dimensi kejahatan korporasi (perbuatan melawan hukum), adanya realitas mengenai dampak yang ditimbulkan dari perilaku melawan hukum tersebut, pertimbangan keadilan, serta sarana untuk mengubah perilaku buruk korporasi.

Terakhir, Ridwan menegaskan bahwa saat Perma disahkan, hal paling penting yang mesti segera dilakukan adalah implementasi. "Yang kini dibutuhkan adalah keberanian penegak hukum untuk menuntut korporasi. Karena dari aspek teoritis sudah selesai, dari aspek legislasi juga sudah selesai. Ingat, tindak pidana korporasi sudah diatur dalam sejumlah Undang-undang," pungkasnya.

Sebagai tambahan dalam International Indonesia Business Integerity Conference (IIBIC) 2016 yang dibuka pada (16/11) lalu, MA sudah menyampaikan bahwa selain perkara PT. Giri Jaladhi Wana, saat ini setidaknya ada 8 perkara pidana korporasi yang berkaitan dengan kasus korupsi. Perkara tersebut antara lain, perkara PT. Asian Agri Group, perkara PT. Indosat Mega Media (IM2), perkara PT. Puguk Sakti Permai, perkara PT. Beringin Bangun Utama, perkara Putra Papua Perkasa, perkara PT. Kakas Karya, perkara PT. Proxima Convex, dan perkara PT. Shalita Citra Mandiri, PT. Mitra Multi Komunic, dan PT. Ekspo Kreatif Indo.

PT Giri Jaladhi Wana sendiri dijatuhi sanksi pidana berupa denda sebesar 1,3 miliar dan penutupan sementara selama 6 bulan. (Zulkifli Songyanan)

BACA JUGA: