JAKARTA, GRESNEWS.COM — Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak (UU Peradilan Anak) digugat oleh seorang warga Surabaya bernama Moch. Dyono. Lewat kuasa hukumnya, Muhammad Sholeh, diketahui alasan Dyono menggugat kedua UU tersebut adalah karena memiliki seorang anak lelaki yang dipidana akibat mencuri kendaraan bermotor.

Saat permohonan uji materi atas UU tersebut diajukan ke Mahkamah Konstitusi (MK), anak Dyono berusia 17 tahun 9 bulan 10 hari. Dalam pokok permohonannya, Pemohon menyatakan hak konstitusionalnya dirugikan akibat berlakunya Pasal 20 Ayat (1) dan Ayat (2), Pasal 82 Ayat (1) huruf d KUHAP, serta Pasal 7 Ayat (2) huruf a, Pasal 32 Ayat (2) huruf b UU Sistem Peradilan Pidana Anak.

Ditemui di MK pada Rabu (2/11), Sholeh menyebutkan satu-satu per satu alasannya menggugat pasal-pasal tersebut ke MK. Pertama, soal Pasal 20 Ayat (1) dan Ayat (2) KUHAP tentang kewenangan penyidik melakukan penahanan. Menurutnya, penahanan tidak bisa dilakukan oleh penyidik, baik dari kalangan polisi maupun jaksa penuntut umum.

"Yang berwenang melakukan penahanan itu adalah hakim. Mengapa? Karena hakikatnya, penahanan itu adalah penghukuman. Ketika polisi melakukan penahanan berarti itu menghukum," kata Sholeh kepada gresnews.com.

Sholeh menambahkan, secara faktual, orang yang ditahan di kepolisian dengan orang yang ditahan di Lembaga Permasyarakatan (LP) hakikatnya sama. Maka ia pun meyakini, saat seseorang ditahan, artinya orang tersebut sudah dikenakan hukuman.

"Padahal di dalam putusan perkara pidana, hakim itu selalu mengatakan, terdakwa dihukum setelah dinyatakan secara sah dan meyakinkan melakukan tindakan pidana," kata Sholeh.

"Kalau begitu, artinya penahanan yang dilakukan polisi dan penghukuman hakim itu sama. Kalau sama maka yang berhak menghukum itu hakim, bukan polisi. Ini bahkan berlaku bagi KPK. Mereka tidak bisa menahan orang tanpa kesepakatan hakim," tegasnya.

Lantaran hal itulah Sholeh menyampaikan pada MK, Pasal 20 Ayat (1) dan Ayat (2) KUHAP harus dinyatakan tidak punya kekuatan hukum mengikat karena kewenangan menghukum itu hanya ada pada hakim.

Apa kaitannya antara pasal tersebut dengan kliennya? Sholeh menjelaskan, anak pemohon ditahan oleh Polsek Gayungsari Surabaya pada 22 Juli 2016 lalu karena melakukan tindak pencurian kendaraan bermotor. Saat ditangkap, Sholeh mengatakan anak pemohon dianiaya oleh massa dan pihak kepolisian sehingga harus dirawat di rumah sakit.

Awalnya, anak Pemohon dijerat Pasal 362 KUHP dalam surat penahanannya. Namun kemudian pasal yang digunakan untuk memenjarakan anak pemohon berubah menjadi Pasal 363. Akhirnya, pemohon mengajukan gugatan praperadilan terhadap penahanan anaknya. Namun, sebelum sidang praperadilan berjalan, tiba-tiba pokok perkaranya sudah berjalan di Pengadilan Negeri Surabaya.

Sidang praperadilan tersebut gugur lantaran sesuai ketentuan Pasal 82 Ayat (1) huruf d UU KUHAP menyebutkan, dalam hal suatu perkara sudah mulai diperiksa oleh pengadilan negeri sedangkan pemeriksaan mengenai permintaan kepada praperadilan belum selesai, maka permintaan tersebut gugur. "Sidang praperadilan itu tanggal 15 Agutus, namun tiba-tiba tanggal 11 Agustus pokok perkara sudah jalan. Dengan norma itu, tentu klien kita dirugikan," kata Sholeh.

Sholeh berpendapat, lantaran pihaknya tengah menguji penetapan tersangka, penangkapan, dan penahanan sang klien, mestinya saat ada praperadilan pokok perkaranya dihentikan dulu, sampai jelas statusnya, menang atau kalah. "Toh batas waktunya kan cuma 7 hari. Artinya ketika penyidik, penuntut umum menghentikan pokok perkara selama 7 hari, itu tidak akan mengganggu," katanya.

Lebih-lebih lantaran kliennya masih tergolong anak-anak, Sholeh merasa aturan mengenai masa penahanan hingga pengadilan waktunya sangat pendek, yakni 7 hari ditambah 8 hari ditambah lagi 10 hari.

SOAL DIVERSI - Alasan kedua yang disampaikan Sholeh adalah terkait gugatan judicial review atas UU Peradilan Anak. Sholeh mengatakan, judicial review dilayangkan lantaran pasca sidang praperadilan yang diajukan pemohon dinyatakan gugur, lalu di dalam persidangan, anak pemohon dinyatakan bersalah. Hak anak untuk menyelesaikan masalah di luar jalur peradilan tidak berlaku bagi anak Dyono.

Dalam Pasal 5 Ayat (3) UU Peradilan Anak disebut, dalam Sistem Peradilan Pidana Anak sebagaimana dimaksud pada Ayat (2) huruf a dan huruf b wajib diupayakan Diversi. Selanjutnya, dalam Pasal 6 UU Peradilan Anak disebut bahwa tujuan Diversi adalah a. mencapai perdamaian antara korban dan Anak; b. menyelesaikan perkara Anak di luar proses peradilan; c. menghindarkan Anak dari perampasan kemerdekaan; d. mendorong masyarakat untuk berpartisipasi; dan e. menanamkan rasa tanggung jawab kepada Anak.

Namun demikian, pada Pasal 7 huruf b UU Peradilan Anak diatur juga bahwa Diversi hanya dilakukan terhadap anak dengan tindak pidana yang dikenakan hukuman di bawah 7 tahun penjara. Lantaran itulah dalam konteks kasus anak Pemohon, Diversi itu tidak berlaku. "Karena klien kita ini tuntutannya 7 tahun, kan kasihan, dia tidak dapat Diversi. Artinya harus ke pengadilan," kata Sholeh.

Sholeh lalu memaparkan, dalam kasus-kasus yang melibatkan anak, kadang fakta yang terjadi sebetulnya tidak serius. Ia pun mencontohkan, anak-anak yang sedang guyon pukul-pukulan, bisa saja salah seorang diantaranya tiba-tiba jatuh dan kepalnya terbentur, bahkan sangat mungkin sampai meninggal.

Hanya saja, karena kasus pembunuhan itu ancamannya hukuman mati, anak yang tidak sengaja tadi akhirnya bisa ditahan. "Padahal itu bisa diupayakan damai," katanya.

Sholeh pun menambahkan, yang ia sampaikan ke MK adalah penahanan terhadap anak itu mestinya menyangkut kepentingan anak. "Misalnya dia terlibat pembunuhan, daripada terjadi dendam, nyawa dia terancam, maka dia ditahan. Tapi kalau tidak, bisa diselesaikan secara kekeluargaan, tidak perlu ditahan. Apalagi jika anak-anak itu masih sekolah. Klien kita juga masih sekolah, akhirnya dia tidak bisa ikut ujian," katanya.

Sholeh menambahkan, ketentuan itu akhirnya bertentangan dengan Pasal 27 Ayat (1) UUD 1945 yang mengamanatkan bahwa tiap warga negara memiliki kedudukan yang sama di dalam hukum dan pemerintahan. Selain itu, Sholeh juga menganggap ketentuan sistem peradilan anak yang ia maksud bertentangan dengan Pasal 28H Ayat (2) UUD 1945 yang memerintahkan tiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan.

Ditanya soal kasus konkret yang melibatkan kliennya, Sholeh menjawab, kliennya sudah dihukum di tingkat banding dan sekarang tengah kasasi di Mahkamah Agung. "Sekarang kita kasasi. Meskipun menurut kita dia tidak mencuri. Tapi tetap saja dia diadili massa, lalu setelah diadili massa diserahkan ke polisi, dan sama polisi malah dihajar lagi," papar Sholeh.

Namun demikian, Sholeh menegaskan kedatangannya ke MK bukan lantaran hal itu. "Pokoknya bukan soal itu. Kita bicara soal hak-hak konstitusional klien kita yang dirugikan karena berlakunya pasal-pasal itu," pungkas Sholeh.

PENTING DILAKUKAN — Pakar Hukum Pidana sekaligus Rektor Universitas Muhamadiyah Jakarta Syaiful Bakhri menilai, permohonan uji materil UU No 8 Tahun 1981 penting diajukan. Alasannya, dalam hukum pidana modern, masalah penangkapan merupakan kewenangan hakim. "Hukum pidana modern di dunia manapun semuanya kewenangan hakim. Sepanjang hakim menginzinkan, boleh ditahan," kata Syaiful kepada gresnews.com, Rabu (2/11).

Ia pun menambahkan, dalam norma yang sekarang berlaku di Indonesia, yang mana proses penangkapan merupakan kewenangan polisi, kerap terjadi bargaining financial dan penuh subjektivitas. "Karena penahanan itu kan subjektif. Misalnya polisi bilang, wah ini menghilangkan barang bukti, maka cenderung. Mengulangi perbuatan, maka cenderung. Atau kabur, maka akhirnya tersangka ditahan demi kepastian," kata Syaiful, memberi ilustrasi.

Namun demikian, ia menyebut, laku seperti itu tidak adil karena soal penilaian cenderung atau tidak cenderung itu tidak jelas tolak ukurnya. "Ukurannya ya kewenangan saja, bahwa dia berwenang untuk menahan," kata Syaiful.

Menurut Syaiful, uji materiil terhadap  Pasal 20 Ayat (1) dan Ayat (2) KUHAP juga penting dilakukan lantaran kaitannya dengan Rancangan Undang-undang (RUU) KUHAP yang kini tengah digojlok Komisi III DPR. Menurutnya, dalam RUU KUHAP yang akan datang, polisi tidak punya kewenangan untuk melakukan penahanan lagi. "Kewenangan itu diserahkan kepada Hakim Komisaris. Itu disebut dalam naskah RUU KUHAP," kata Syaiful.

Lepas dari kasus konkret yang menimpa anak Dyono, Syaiful Bakhri menilai, persoalan uji materil ini bisa dijadikan dasar oleh Majelis Hakim MK untuk meninjau kembali norma-norma KUHAP yang berlaku saat ini. "Bisakah Hakim MK berpikir, apakah norma yang sekarang itu banyak merugikan?" tanyanya.

Saat ditanya mengenai soal Diversi yang dibatas norma itu tidak berlaku bagi anak-anak yang dijerat hukuman 7 tahun penjara, Syaiful Bakhri juga mengapresiasi tindakan uji materil tersebut. "Itu sudah benar. Dalam konteks seperti itu, UU Peradilan Anak memang seharusnya memperhatikan kepentingan anak. Mau berapapun hukuman pidananya, yang penting kan anak, jadi harus Diversi," pungkasnya. (Gresnews.com/Zulkifli Songyanan)

BACA JUGA: