JAKARTA,GRESNEWS.COM - Paska menetapkan tersangka dugaan korupsi penjualan hak tagih utang (cessie) Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) yang dibeli PT Victoria Securities International Corporation (VSIC), Kejaksaan Agung mulai melangkah maju. Namun Kejaksaan Agung harus gigit jari, empat tersangka mangkir.

Empat tersangka dalam kasus ini adalah mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafrudin Temenggung, Analis Kredit BPPN Harianto Tanudjaja, Direktur PT Victoria Securitas International (VSI) Rita Rosela dan Komisaris PT VSI Suzana Tanojo. Mereka dipanggil untuk diperiksa sebagai tersangka pada Senin (3/10).

"Ada jadwalnya (pemanggilan), tapi belum (datang), kami panggil lagi," kata Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (Jampidsus), Arminsyah di Kejaksaan Agung Jakarta, Selasa (4/10).

Dia menjelaskan ‎pemanggilan terhadap para tersangka untuk meminta keterangan guna melengkapi keterangan saksi-saksi sebelumnya. Tak hanya itu pemanggilan untuk menelusuri adanya dugaan pihak-pihak lain yang diduga ikut terlibat.

"Kamis atau Jumat kita panggil lagi,‎" kata Armin.

Keempat tersangka ditetapkan dua pekan lalu. Penetapan tersangka sendiri dilalui penuh liku. Mulai digiring ke ranah politik hingga kepentingan bisnis. Di ranah politik Jaksa Agung M Prasetyo sempat dipanggil pimpinan DPR yang saat itu dipimpin Setya Novanto. Sementara di bisnis ada pihak yang mendorong penyidik menyita lahan seluas 1200 hektar di daerah Karawang. Bahkan Kejaksaan Agung harus menghadapi gugatan praperadilan atas penyitaan di kantor VSIC.

Tak heran jika ada tarik menarik kepentingan dalam kasus ini. Namun setelah setahun disidik, penyidik meyakini untuk melangkah lebih maju dengan menetapkan tersangka.

"Empat tersangka yang ditetapkan dalam kasus Cessie tersebut. Tim penyidik menilai sudah memiliki cukup bukti untuk ditetapkan sebagai tersangka," ujar Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung pekan lalu.

Sebelum menetapkan tersangka, penyidik memeriksa intensif sejumlah saksi. Seperti Komisaris PT Barito Pasific Tbk Prajogo Pangestu, Direktur Utama PT Barito Pasific Loekita S Putra, pengacara Lukas hingga Presiden Komisaris Bank Panin Mu´min Ali Gunawan. Mu´min diduga menjadi kunci menguak lebih jauh kasus ini. Namun Mu´min masih sebagai saksi.

Penyidikan kasus Cessie Victoria ini mencuat karena dilatari persaingan bisnis. Ini berawal saat PT Adyaesta Ciptatama (AC) ingin membeli Cessie tersebut. AC mencoba menawar pelunasan kepada Victoria dengan harga di atas penawaran BPPN, yakni Rp266 miliar, tapi VSIC menaikkan harga secara tidak rasional yakni Rp1,9 triliun.

Karena tak terima itu AC melaporkan kasus ini ke Kejaksaan Agung. Salah satu kuasa hukum VSIC Irfan mengatakan jika kasus ini masalah bisnis bukan ranah pidana.

"Kenapa hubungan bisnis to bisnis dibawa ke ranah korupsi?" kata Irfan saat diskusi publik ´Membongkar Kasus Cessie di Tengah Ancaman Krisis´ di Hotel Sahid, Jakarta Pusat.

MASIH PANJANG - Meski melangkah maju, dipastikan kasus ini akan kembali terseok-seok. Pasalnya Kejaksaan Agung belum sekalipun memeriksa Harianto Tanudjaja, Rita Rosela dan Suzana Tanojo. Mereka diduga tak akan memenuhi panggilan penyidik.

Kejaksaan Agung bukan tak mengetahui kondisi ini. Jampidsus Arminsyah pernah mempertimbangkan kasus ini dibawa ke persidangan in absentia. Pertimbangan ini mengingat calon tersangka kasus tersebut berada di luar negeri. Demikian pula dengan sejumlah pihak yang ditengarai berperan penting dalam kasus ini masih tersentuh.

‎"Ini masih dipertimbangkan, perlu tidak (sidang in absentia)," kata Arminsyah Juli lalu.

Sidang in absentia adalah konsep di mana terdakwa telah dipanggil secara sah dan tidak hadir di persidangan tanpa alasan yang sah, sehingga pengadilan melaksanakan pemeriksaan di pengadilan tanpa kehadiran terdakwa. Pasal 196 dan pasal 214 KUHAP mengatur in absentian untuk Acara Pemeriksaan Cepat. Persidangan in absentia secara khusus juga diatur dalam beberapa undang-undang lainnya, antara lain Pasal 38 ayat (1) UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Arminsyah menjelaskan dasar pertimbangan mengajukan kasus ini ke persidangan dengan in absentia karena penyidik telah mengantongi calon tersangka, namun keberadaanya di luar negeri. "Karena barang (calon tersangka) udah ada," jelasnya.

Dikatannya tim intelijen Kejaksaan Agung terus bergerak mencari para pihak-pihak yang diduga kuat terlibat kasus ini baik di dalam negeri maupun di luar negeri. "Masih kerjaan intel, masih tertutup kita masih cari, tim masih penasaran, kita lagi cari," Jelas Armin.

Didorongnya sidang in absentia bukan tanpa dasar. Dalam perkara korupsi, sidang in absentia pernah dilakukan Kejaksaan Agung saat menyeret kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia ( BLBI). Para terpidana pengemplang BLBI ini divonis bersalah.

Salah satunya kasus BLBI dengan terdakwa Hendra Rahardja, Eko Edy Putranto, dan Sherny Kojongian. Ketiganya diadili lewat sidang in absentia yang digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan seperti tertuang dalam putusan Nomor 1032/PID.B/2001/PN.JKT.PST tanggal 22 Maret 2002. Ketiganya diadili secara in absentia dan terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama dan berlanjut.

Pengadilan menghukum kepada Para Terdakwa in absentia masing-masing, Terdakwa I: Hendra Rahardja pidana penjara seumur hidup; Terdakwa II: Eko Edy Putranto dengan pidana penjara 20 tahun; dan Terdakwa III: Sherny Kojongian dengan pidana penjara 20 tahun.

Kasus BLBI lainnya adalah obligor BLBI Bambang Sutrisno dan Adrian Kiki Ariawan dalam kasus BLBI Bank Surya yang ketika dihukum seumur hidup, berada di Singapura. David Nusa Wijaya yang terlibat kasus BLBI Bank Servitia juga telah dvonis 1 tahun penjara secara in absentia oleh Pengadilan Negeri Jakarta Barat karena sudah kabur.

BACA JUGA: