JAKARTA, GRESNEWS.COM - Program pengampunan pajak alias amnesti pajak yang diluncurkan pemerintah sejak 1 Juli lalu dan akan berlangsung hingga 31 Maret 2017, tiba-tiba menjadi momok yang menakutkan bagi masyarakat. Pemicunya adalah diterbitkannya Peraturan Menteri Keuangan Nomor 118/PMK.03/2016 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 Tentang Pengampunan Pajak pada pertengahan Juli lalu.

Sejak terbitnya peraturan tersebut, semangat para pegawai kantor pajak tampak terlalu berlebihan dalam melakukan sosialisasi amnesti pajak. Sosialisasi bahkan dilakukan hingga ke desa-desa. Inilah yang menyebabkan masyarakat mendadak resah dan merasa bahwa amnesti pajak yang sejatinya merupakan hak wajib pajak berubah menjadi kewajiban.

Hal ini jelas bertolak belakang dengan janji pemerintah di awal pemberlakuan amnesti pajak yang menegaskan, amnesti pajak adalah upaya menarik dana para pengemplang pajak yang ada di luar negeri. Meski pemerintah sudah mencoba melakukan klarifikasi, tetap saja masyarakat dihinggapi panik lantaran takut berhadapan dengan hukum jika tak mendeklarasikan hartanya atau memperbaiki laporan pajaknya selama berlakunya amnesti pajak ini.

Wajar jika masyarakat bereaksi keras terhadap pemberlakuan amnesti pajak. Pengurus Pusat Muhammadiyah misalnya, melayangkan gugatan uji materi terhadap Undang-Undang Tax Amnesty. Kemudian, Forum Pajak Berkeadilan mengunggah petisi di change.org, agar pemerintah membatalkan amnesti pajak.

Mereka beralasan, terlalu sering memberikan amnesti pajak justru menggagalkan tujuan amnesti pajak itu sendiri sekaligus menjadikan amnesti pajak sebagai kebijakan yang terkesan gampangan. Seperti diketahui, Indonesia pernah menerapkan kebijakan serupa di tahun 1965, 1984, 2008, dan 2015—terbukti tidak memberi dampak banyak bagi perekenomian negara.

"Buat apa ikut Tax Amnesty sekarang, kan besok ada amnesti pajak ke-5, ke-7, dst," demikian bunyi salah satu alasan penolakan amnesti pajak dalam petisi tersebut.

Bahkan mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD juga ikut melontarkan kritiknya, Dia menilai, aturan baru amnesti pajak diberlakukan terkait kegagalan pemerintah mencapai target penerimaan Rp165 triliun dari pengemplang pajak besar yang memarkir hartanya di luar negeri.

"Target tak tercapai tak apa2, namanya juga usaha & niat baik. Tp jangan alihkan arah ke rakyat kecil yang hidupnya susah," cuit Mahfud di akun @mohmahfudmd pada Senin (29/8) lalu.

Terkait keberatan masyarakat ini, Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Ditjen Pajak Hestu Yoga Saksama mengatakan, kondisi saat ini berbeda dengan kondisi saat amnesti pajak diberlakukan sebelumnya. "Kondisinya sudah berbeda, Mas. Sekarang momentumnya tepat. Animo masyarakat juga bagus," kata Yoga kepada gresnews.com, Minggu (4/9).

Pernyataan Yoga tak jauh berbeda dengan pernyataan Direktur Eksekutif Center of Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo. Menurutnya, geger amnesti pajak yang berlangsung beberapa minggu belakangan terbukti meningkatkan pemahaman dan kesadaran masyarakat terhadap pajak.

"Awareness masyarakat sudah bagus, meski harus lebih ditingkatkan lagi. Pengetahuan masyarakat soal TA mesti menjadi titik awal atau transisi untuk mencapai revolusi pajak secara menyeluruh," tambahnya.

Dia mengakui, memang ada sedikit salah orientasi dari pemberlakuan amnesti pajak ini. Menurut Yustinus, tujuan pokok diberlakukannya amnesti pajak yang benar adalah untuk menambah basis pajak, bukan untuk menambal Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sebagaimana yang kini terjadi di Indonesia.  

Terkait ribut-ribut amnesti pajak akhir-akhir ini, Yustinus melempar pertanyaan menarik. "Yang diributkan itu TA-nya atau prosedur TA-nya?" katanya.

Bahwa ada pendapat yang menyatakan kebijakan baru amnesti pajak merugikan wajib pajak yang sudah taat, Yustinus memberi sangkalan. "Dengan TA, WP yang sudah taat memang tidak diuntungkan. Namun demikian mereka juga tidak dirugikan. Namun dengan adanya TA, WP yang sudah taat bisa punya teman lebih banyak," katanya.

KONDISI EKONOMI DARURAT - Pernyataan berbeda soal pemberlakuan amnesti pajak disampaikan anggota Komisi XI DPR Kardaya Warnika. Dia mengaku, disetujuinya aturan mengenai amnesti pajak tak lebih lantaran kondisi darurat perekonomian dalam negeri. Pada diskusi Geger Tax Amnesty di Jakarta, Sabtu (3/9) lalu, Kardaya menyatakan, sebelum amnesti pajak disetujui DPR, pihaknya melakukan diskusi lebih dulu dengan berbagai kalangan.

"Sebelum aturan itu diberlakukan kita sudah ada diskusi hingga ke daerah-daerah bersama para ahli dan perwakilan asosiasi. Andai saja kondisinya tidak seperti sekarang, soal TA itu tidak bakal kita setujui," kata Kardaya.

Selanjutnya, Kardaya menjelaskan TA bisa menjadi penyelamat mengingat banyaknya pendapatan negara yang tidak memenuhi target. "Jika diibaratkan, mohon maaf bagi yang bukan umat muslim, memberlakukan TA itu ibarat makan daging babi. Kita semua tahu jika daging babi itu diharamkan. Tapi dalam keadaan darurat, saat tak ada lagi yang bisa kita makan, sedangkan di depan kita ada daging babi, sudah direndang pula, maka memakan daging haram itu menjadi dibolehkan," papar Kardaya.

Selain itu, poin penting yang ditekankan Kardaya terkait TA adalah kaitannya dengan pertaruhan nama baik Indonesia. Menurutnya, jika TA gagal, Indonesia rentan menjadi bahan tertawaan dunia internasional. "Kalau gagal, orang luar akan menertawakan, bagaimana ini, dikasih ampunan saja pada enggak mau, apalagi kalau tidak diberi ampunan?" katanya.

Potensi gagal, kata Kardaya memang besar. Pasalnya, pemerintah ternyata tak memiliki database harta simpanan orang Indonesia yang di luar negeri. Kardaya menegaskan, data itu tidak ada. "Kalau ada konidisnya tidak akan seperti sekarang," katanya.

Itulah sebabnya, meski pemerintah berkeras sasaran amnesti pajak adalah pengemplang pajak yang menyimpan harta di luar negeri, tetap saja banyak kalangan terutama pengusaha kelas usaha kecil menengah yang keberatan. Pasalnya, mereka tetap merasa menjadi target amnesti pajak meski selama ini patuh membayar pajak.

Ketua Forum Komunikasi Pengusaha Kecil dan Menengah Indonesia (FK-PKMI) Arwan Simajuntak menegaskan, pihaknya menolak keras diberlakukannya kebijakan TA. Menurut Arwan, pihaknya sudah mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi terkait Peraturan Menteri Keuangan No 18 (PMK 18). Arwan menilai, peraturan tersebut sangat menyulitkan kalangan UKM.

"Persyaratan mendapat TA untuk UMKM itu sulit. Pengisian formulirnya sulit. Kemudian, pengusaha harus bayar tebusan, bayar tunggakan pajak, melunasi pokok pajak atas pencabutan permohonan dalam sengketa hukum. Sedang untuk pengusaha besar ketentuan itu tidak ada," kata Arwan.

Arwan juga menilai bahwa sikap pemerintah yang terkesan menganakemaskan pengusaha besar di dalam TA menjadikan makna TA sebagai hak jauh panggang dari api. "Kita tidak menolak TA. Orang gila yang menolak itu. Tapi samakan dong perlakuannya. Kita UMKM tidak mau diistimewakan. Tapi jangan dibikin sulit juga persyaratannya," tambah Arwan.

Sikap demikian juga dianggap Arwan sebagai pengerdilan negara terhadap kontribusi UMKM. "Kontribusi UMKM untuk perekonomian negara itu lebih jelas ketimbang pertumbuhan kontribusi perusahaan-perusahaan besar. Perlakuan seperti itu seolah dalam keadaan darurat negara menganggap tanpa bantuan pengusaha besar negara ini akan bangkrut," tambah Arwan.

Pendapat Arwan cukup beralasan mengingat berdasar keterangan Deputi Bidang Koordinasi Ekonomi Kreatif Kewirausahaan dan Daya Saing KUKM Rudy Salahuddin, kontribusi UMKM terhadap perekonomian nasional pada tahun 2015 adalah 52%. Sektor UMKM juga dinilai sebagai sektor yang sanggup bertahan di tengah terjangan krisis global sekalipun.

Adapun jumlah UMKM di Indonesia saat ini mencapai angka 57 juta. Namun perlakuan Ditjen Pajak terhadap UKM berbeda dengan perlakuan mereka terhadap pengusaha besar. Lebih-lebih saat ini Ditjen Pajak bahkan menyediakan sebuah ruang khusus di kantor Ditjen Pajak untuk memfasilitasi pengusaha-pengusaha besar yang ingin deklarasi dan repatriasi.

Sementara itu, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) Hariyadi Sukamdani mengaku, pihaknya berkomitmen membantu pemerintah dalam menarik dana deklarasi dan repatriasi aset. "Sebelum aturan itu disahkan, kami sudah mengirim kuesioner mengenai TA kepada 10 ribu responden yang terdiri dari anggota dan mitra kami. Dari 10 ribu itu, kuesioner yang kembali jumlahnya 2700.  Dari situ kita hitung potensi dana masuk dari repatriasi adalah dua ribu triliun rupiah," kata Hariyadi.

Namun Hariyadi juga cukup rasional menanggapi respons tersebut. "Dari potensi dana dua ribu triliun itu kita anggap hanya setengahnya saja yang benar-benar ikut TA. Artinya seribu triliun," katanya.

Berdasar data yang dirilis Ditjen Pajak, Jumat (2/9) dinyatakan, nilai aset repatriasi yang telah dilaporkan peserta amnesti pajak baru mencapai Rp9,37 triliun dari target pemerintah Rp1000 triliun.

PEMERINTAH MEMBANTAH - Terkait keluhan pihak UMKM, Hestu Yoga Saksama menyambut baik masukan FK-PKMI terkait antusiasme UMKM dalam mengikuti program TA. Namun demikian, Yoga juga menyarankan agar UMKM tidak buru-buru mengikuti TA, karena masih ada waktu buat mereka hingga akhir Maret 2017.

Tarif TA bagi UMKM dengan aset di bawah Rp10 miliar adalah 0,5%. Sementara UMKM dengan aset di atas Rp10 miliar dikenakan tarif sebesar 2%. Secara nilai tarif UMKM memang lebih minim dibanding tarif yang dikenakan kepada pengemplang pajak. Dia juga membantah berbagai ketentuan yang diberikan kepada UMKM memang dianggap terlalu memberatkan.

Direktur Jenderal Direktorat Jenderal Pajak (Dirjen DJP) Ken Dwijugiasteadi sebelumnya juga menegaskan, TA tidak mesti diikuti oleh semua masyarakat, lebih-lebih oleh mereka yang berpenghasilan rendah. "Ada salah informasi di sini. TA itu tidak belaku bagi semua masyarakat. Pada prinsipnya, TA adalah pilihan bagi wajib pajak (WP) yang ingin memanfaatkan. Masyarakat berpenghasilan di bawah Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) tidak perlu ikut," kata Ken.

Adapun yang dimaksud golongan masyarakat di bawah PTKP antara lain adalah petani, nelayan, pembantu rumah tangga, juga pensiunan yang semata mendapat pemasukan dari uang pensiunnya saja. "Intinya begini, yang penghasilannya di bawah 4,5 juta rupiah perbulan, tidak perlu ikut TA," tambah Ken.

Ken menilai, tudingan yang menyebut pihaknya menyasar WP di dalam negeri lantaran gagal menarik dana besar di luar negeri merupakan tudingan tidak berdasar. "Yang namanya TA itu hak. Artinya, semua WP—bukan masyarakat—boleh mendapatkan haknya. Justru kalau TA diarahkan kepada pengusaha besar saja, itu tidak adil," katanya. (Gresnews.com/Zulkifli Songyanan)

BACA JUGA: