JAKARTA, GRESNEWS.COM — Jelang berakhirnya program Tax Amnesty pada 31 Maret mendatang, Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan meluncurkan Aplikasi Pembukaan Rahasia Bank Secara Elektronik. Aplikasi itu diluncurkan berdasar Pasal 35 Undang-undang Nomor 28 tahun 2007 tentang Ketentuan Umum Perpajakan (KUP). Secara teknis, aplikasi tersebut dibagi ke dalam dua sistem. Pertama, Aplikasi Usulan Buka Rahasia Bank (Akasia). Kedua, Aplikasi Buka Rahasia Bank (Akrab).

Akasia merupakan aplikasi internal Kementerian Keuangan untuk mempercepat pengajuan usulan kepada Menteri Keuangan. Sementara Akrab merupakan aplikasi internal Otoritas Jasa Keungan (OJK) untuk mempercepat proses pemberian izin atas surat permintaan Menteri Keuangan. Mulai 1 Maret 2017, kedua aplikasi tersebut akan silih terhubung guna mempercepat proses pengajuan dan perolehan perintah tertulis kepada pihak bank.

Menanggapi hal itu, Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo menerangkan, pemerintah masih menganut paradigma penegakan hukum dalam kaitannya dengan peluncuran aplikasi tersebut. Sedangkan paradigma yang ideal dalam menyikapi data para wajib pajak adalah paradigma pengendalian potensi, bukan penegakan hukum.

"Ini paradigmanya masih penegakan hukum, bukan pengendalian potensi. Pengendalian potensi itu memberikan pengawasan. Sedang paradigma penegakan hukum, jelas, dilakukan dalam rangka memberikan hukuman," kata Yustinus kepada gresnews.com, Selasa (14/2).

Yustinus menjelaskan, paradigma pengendalian potensi dalam teknisnya dapat dilakukan dengan cara pihak bank memberikan data wajib pajak kepada Dirjen Pajak secara periodik. Jadi, data tersebut diberikan secara otomatis oleh pihak bank kepada Direktorat Jenderal Pajak (Ditjen Pajak) tanpa perlu ada permintaan terlebih dulu dari Dirjen Pajak kepada bank yang disertai surat keterangan dari Menteri Keuangan.

"Nah, paradigma penggalian potensi sebetulnya relevan kalau pihak perbankan secara otomatis diwajibkan memberikan data perbankan kepada Ditjen Pajak. Secara periodik harus ada informasi atau laporan ke Dirjen Pajak sehingga jika ada ketidaksesuaian data wajib pajak di Ditjen Pajak dengan data keuangan wajib pajak di bank, Ditjen Pajak bisa langsung follow up. Mereka bisa memeriksa atau menyidik tanpa harus menunggu rekomendasi OJK atau Menteri Keuangan terlebih dulu," kata Yustinus.

Menurut Yustinus, jika pihak bank sudah bertindak proaktif, setidaknya ada 3 hal yang bisa mereka laporkan. Pertama, buka-tutup rekening nasabah. Kedua, mutasi saldo, dan terakhir mutasi bunga. "Ketiga hal itulah yang bisa jadi ukuran sesuai tidaknya data keuangan seseorang di bank dengan profilnya di Ditjen Pajak," terang Yustinus.

Namun demikian, Yustinus menyadari bahwa hal seperti itu tidak bisa dilaksanakan saat ini. Terlebih dalam kaitannya dengan Pasal 40 UU Perbankan yang menjamin data nasabah baik profil maupun uang yang disimpannya. Namun, seiring akan diberlakukannya kebijakan keterbukaan informasi atau Automatic Exchange of Information (AEoI) pada 2018 nanti, mau tidak mau UU Perbankan dan UU KUP, dua UU yang menjadi landasan terbentuknya paradigma penegakan hukum, harus segera direvisi.

"Sebab jika tidak ada keterbukaan, nantinya kita tidak bisa melakukan tukar informasi dengan negara lain," sambung Yustinus.

Namun, terlepas dari persoalan paradigma penggalian potensi atau penegakan hukum, Yustinus sendiri secara umum mendukung tindakan Ditjen Pajak mengeluarkan aturan baru mengenai Akasia dan Akrab. Menurutnya, dikeluarkannya kedua aplikasi tersebut bakal mempermudah kinerja Ditjen Pajak dalam membuka rekening wajib pajak untuk keperluan pemeriksaan dan penagihan.

"Jika menunggu revisi UU kan masih lama. Dan faktanya, penegakan hukum atas kasus perpajakan yang berlaku sekarang relatif tidak powerfull karena adanya hambatan di ranah administratif. Saat ini, jika Dirjen Pajak mau minta data, prosesnya lama. Kebijakan yang baru ini bisa memangkas proses yang panjang sehingga jika ada pemeriksaan hal itu bisa dilakukan lebih cepat," papar Yustinus.

Dalam kaitannya dengan penagihan, kebijakan baru ini juga dinilai Yustinus penting guna menghindari adanya main mata antara pihak bank dengan wajib pajak. Menurutnya, dalam mekanisme yang cenderung menyita waktu, tidak menutup kemungkinan pihak bank memberitahukan adanya pemeriksaan kepada wajib pajak sehingga sebelum tabungannya diperiksa, uang wajib pajak malah sudah diambil lebih dulu. "Makanya, jika waktunya pendek begini, Dirjen Pajak bisa cepat ambil tindakan," pungkasnya.

LANGKAH LAIN — Selain meluncurkan aplikasi, Direktur Jenderal Pajak Ken Dwijugiasteadi menerangkan, pihaknya memiliki dua kebijakan lain guna menindaklajuti program Tax Amnesty. Kebijakan pertama adalah implementasi norma Pasal 18 UU Tax Amnesty yang mengatur soal perlakuan atas harta yang belum atau kurang diungkap.

"Bagi WP yang sudah ikut tax amnesty dan ke depan ditemukan harta yang belum dilaporkan, maka harta itu dianggap sebagai penghasilan. Dengan begitu ia akan dikenai pajak penghasilan dengan tarif normal beserta sanksi kenaikan 200 persen dari pajak yang kurang bayar," kata Ken, Senin (13/2).

Sedang bagi WP yang tidak ikut tax amnesty dan ditemukan harta yang tidak dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan (SPT), maka juga dianggap penghasilan sehingga yang bersangkutan akan dikenakan pajak sesuai ketentuan yang berlaku. "Sehubungan dengan hal ini, Ditjen Pajak mengingatkan seluruh masyarakat wajib pajak yang telah atau akan ikut program amnesti pajak agar melaporkan kondisi yang sebenarnya. Apabila masih ada harta yang belum dilaporkan, maka dapat menyampaikan kembali Surat Pernyataan Harta (SPH) hingga tiga kali," papar Ken.

Seiring dengan itu, Ken juga menerangkan, Ditjen Pajak berupaya peningkatan layanan untuk wajib pajak dengan memberikan fasilitas e-form sebagai peningkatan layanan dari e-filling. "Kalau sebelumnya isinya sambil online sekarang formnya diupload dulu bisa diisi offline kalau sudah selesai baru diupload dan dikirim ke kami," kata Ken.

Selain itu, Ditjen Pajak juga menyediakan layanan pre-populated di mana data yang dimiliki Ditjen Pajak--termasuk data pihak ketiga seperti pemberi kerja-- akan otomatis terisi pada SPT elektronik baik e-filling maupun e-form. "Jadi bukti potongnya langsung masuk ke sistem kami kalau perusahaan sudah serahkan, nanti wajib pajak tidak perlu kumpulkan lagi," tutur Ken.

Adapun mengenai Akasia dan Akrab, Ken menerangkan, Ditjen Pajak sebetulnya sudah sejak dulu bisa membuka data nasabah di bank demi kepentingan perpajakan. Hanya, selama ini proses untuk membuka data tersebut berlangsung lama hingga bisa menghabiskan waktu 239 hari.

Sedang dengan adanya Akasia, proses untuk meminta data nasabah tersebut cukup berlangsung maksimal selama 30 hari. Adapun data nasabah yang dimaksud adalah data nasabah yang sedang dilakukan pemeriksaan, bukti permulaan, penyidikan, atau penagihan.

PENGGUNAAN TERBATAS - Penggunaan Akasia dilakukan secara terbatas di internal pegawai Kementerian Keuangan. Pihak-pihak yang bisa mengajukan permohonan pembukaan rahasia bank yakni Kepala Kantor Pajak, baik di tingkat Kantor Wilayah maupun Kantor Pelayanan Pajak. Permintaan itu nantinya diteruskan kepada Direktur Penegakan Hukum, Direktur Jenderal Pajak, serta Menteri Keuangan.

Ken menerangkan, jika permohonan membuka data nasabah sudah sampai di Menteri Keuangan, Menkeu kemudian menyampaikan surat permintaan tersebut kepada Dewan Komisioner OJK. Dari OJK itulah perintah tertulis untuk membuka data nasabah disampaikan kepada bank yang bersangkutan. "Segala informasi yang diperoleh akan dijaga kerahasiannya dan hanya bisa digunakan untuk kepentingan perpajakan," kata Ken.

Sementara itu, Direktur Penegakan Hukum Ditjen Pajak Dadang Suwarna menerangkan, sesuai Keputusan Direktur Jenderal (Dirjen) Nomor Kep-23/PJ/2017, per 1 Februari 2017, aplikasi Akasia telah diujicoba pada 10 Kanwil DJP dan 16 KPP. Beberapa diantaranya adalah Kanwil DJP Jakarta Khusus dan Kanwil Wajib DJP Wajib Pajak Besar. Kemudian, melalui surat Direktur Jenderal Pajak Nomor S-34/PJ/2017, ditegaskan bahwa penerapan Akasia pada seluruh Kanwil DJP dan KKP diberlakukan mulai 1 Maret 2017.

Dalam masa percontohan atau pilot project aplikasi Akasia akan melibatkan 10 kantor wilayah dan dan 16 kantor pelayanan pajak. "Nanti 1 Maret baru kami akan launching Akasia dan Akrab untuk pembukaan rekening seluruh Indonesia," tutur Dadang.

Dadang menjelaskan, bersamaan dengan diluncurkannya Akasia di internal Kemenkeu, OJK juga mengembangkan Aplikasi Buka Rahasia Bank (Akrab). Sebagaimana Akasia, Akrab juga diluncurkan guna mempercepat proses pemberian izin dari OJK atas surat permintaan Menkeu.

Dadang menambahkan, pembukaan rekening atas wajib pajak pribadi juga dapat dilakukan dengan sekaligus memeriksa data rekening pihak keluarga seperti istri dan anak. Sedang untuk wajib pajak badan hukum, data yang bisa dibuka adalah data rekening pemegang saham, direksi, dan komisaris.

"Semoga dengan adanya aplikasi elektronik ini, pembukaan data nasabah bank bisa lebih cepat sehingga akan meningkatkan efektivitas dan efisiensi pemeriksaan. Hal ini pada akhirnya akan mendorong tingkat kepatuhan pajak," kata Dadang, Senin (13/2). (gresnews.com/zulkifli songyanan)

BACA JUGA: