JAKARTA, GRESNEWS.COM - Penerimaan pajak oleh negara dari tahun ke tahun ternyata semakin mengkhawatirkan, khususnya di era Presiden Joko Widodo. Mantan Direktur Jenderal Pajak Fuad Bawazier mengatakan, sampai dengan tahun 2014, penerimaan pajak masih bisa dicapai pada angka 90% dari target. Namun memasuki tahun 2015 hingga sekarang angkanya terus merosot.

Penerimaan tahun 2016 lalu misalnya, hanya mencapai 81,4%. Itupun sudah ditopang program tax amnesty. Jika tidak diperkirakann, penerimaan pajak hanya akan terealisasi sebesar 70%. Fuad memproyeksikan, berdasarkan realisasi kuartal 1 tahun 2017, diperkirakan realisasi pajak tahun ini akan shortfall alias kurang dari target sekitar Rp350 triliun.

Hal ini, kata dia, akan berujung pada tudingan APBN tidak realistis. "Kalau ibu (Menteri Keuangan-red) Sri Mulyani selalu bilang APBN sebelumnya tidak kredibel, maka menurut saya yang sekarang juga tidak ada bedanya. Karena tahun ini juga tidak akan mencapai target," kata Fuad, Minggu (14/5).

Karena itu, Direktorat Jenderal Pajak pun pontang-panting untuk bisa memenuhi target penerimaan pajak. Salah satunya dengan menargetkan penerimaan sebesar Rp45 triliun dari pemeriksaan dan penagihan. Direktorat Jenderal Pajak (Ditjen Pajak) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) memastikan, pemeriksaan tahun pajak berjalan dilakukan kepada seluruh Wajib Pajak (WP) baik orang pribadi dan badan.

Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Humas Ditjen Pajak Hestu Yoga Saksama mengatakan, pemeriksaan diprioritaskan kepada WP yang memang nakal. Pemeriksaan dilakukan kepada WP yang sudah ikut maupun tidak program pengampunan pajak atau tax amnesty. Khusus WP yang sudah ikut tax amnesty akan dilakukan pemeriksaan jika memang terbukti nakal.

"Mereka memanfaatkan tax amnesty hanya supaya tidak diperiksa tahun 2015 dan sebelumnya. WP ini juga tidak berubah perilakunya untuk tahun 2016 sampai sekarang," kata Hestu di Jakarta, Selasa (16/5).

Dia mencontohnya, adalah pengusaha kena pajak (PKP) pengguna faktur pajak yang tidak berdasarkan transaksi sebenarnya atau faktur pajak fiktif. Pengusaha ini ikut tax amnesty hanya untuk tidak dilakukan pemeriksaan dan dilakukan penyidikan pajak periode 2015 ke belakang.

Pemeriksaan dan penindakan yang dilakukan oleh Ditjen Pajak saat ini ditujukan atas tindakan tidak jujur dalam melaporkan kewajibannya. "Terdapat indikasi mereka tetap melakukan itu di tahun 2016 sampai dengan sekarang. Ini yang akan ditindaklanjuti dengan pemeriksaan" tambahnya.

Hestu berharap, dengan adanya pemeriksaan yang gencar kepada para penunggak pajak, para WP yang sudah ikut tax amnesty berkomitmen untuk menjadi wajib pajak yang patuh. "Dipastikan tidak akan diperiksa tahun 2016. WP tersebut hanya akan diperiksa apabila terdapat harta yang tidak diungkapkan dalam SPH TA," katanya.

Oleh karenanya, Ditjen Pajak menyarankan agar WP yang sudah ikut program tax amnesty dapat memegang komitmennya untuk menjadi warga negara Indonesia yang patuh. "Apabila masih terdapat ketidakbenaran dalam kewajiban pajak untuk masa pajak atau tahun pajak 2016 dan 2017 ini, agar segera melakukan pembetulan SPT," tutupnya.

HAPUS RAHASIA BANK - Selain mengejar wajib pajak nakal, pemerintah juga sudah menerbitkan aturan baru yang menghapus rahasia bank guna kepentingan perpajakan. Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah resmi menerbitkan aturan baru mengenai akses data nasabah perbankan untuk kebutuhan perpajakan atau yang disebut Automatic Exchange of Information (AEoI).

Aturan ini tertuang dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2017 Tentang Akses Informasi Keuangan Untuk Kepentingan Perpajakan. Perppu ini telah diundangkan pada 8 Mei 2017 oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasona Laoly dan telah ditandatangani Presiden Jokowi.

Pertimbangannya, Indonesia membutuhkan pendanaan untuk pembangunan nasional secara merata dan berkeadilan. Sumber pendanaan paling besar adalah dari pajak yang selama ini terhambat akses untuk memperoleh informasi yang lebih luas, terutama rekening perbankan.

Keterbatasan akses membuat perluasan basis pajak menjadi terhambat, begitupun dalam pengujian kepatuhan wajib pajak. Sehingga rasio pajak sangat rendah hingga sekarang.

Pada sisi lain, Indonesia juga telah mengikatkan diri pada perjanjian internasional di bidang perpajakan yang berkewajiban untuk memenuhi komitmen keikutsertaan dalam mengimplementasikan pertukaran informasi keuangan secara otomatis (AEoI) dan harus segera membentuk peraturan perundang-undangan setingkat UU mengenai akses informasi keuangan untuk kepentingan perpajakan sebelum tanggal 30 Juni 2017.

Bila tidak, maka Indonesia dinyatakan sebagai negara yang gagal untuk memenuhi komitmen pertukaran informasi keuangan secara otomatis (fail to meet its commitment), yang akan mengakibatkan kerugian yang signifikan bagi Indonesia, antara lain menurunnya kredibilitas Indonesia sebagai anggota G20, menurunnya kepercayaan investor, dan berpotensi terganggunya stabilitas ekonomi nasional, serta dapat menjadikan Indonesia sebagai negara tujuan penemapatan dana ilegal.

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution memastikan, kerahasiaan data nasabah perbankan dianulir oleh terbitnya Peraturan Pengganti Undang-Undang (Perppu) tentang akses informasi keuangan untuk kepentingan perpajakan. Darmin menyebutkan, dalam aturan yang lama, dalam membuka data nasabah perbankan untuk kepentingan perpajakan mesti harus mendapatkan persetujuan dari berbagai sektor.

Adapun, kata Darmin, aturan baru ini ditujukan kepada nasabah domestik maupun asing. "Kalau dari luar tentu harus ada yang minta, baru itu diproses. Kalau pajak itu berarti dia tidak perlu lagi minta persetujuan menteri keuangan. Kalau dulu kan gitu, minta persetujuan ke menteri keuangan, minta persetujuan OJK. Sekarang enggak, langsung saja, artinya Perppu itu yang menganulir pasal itu," kata Darmin di Kantornya, Jakarta, Selasa (16/5).

Dalam beleid ini, tidak spesifikasi tertulis ditujukan akses pemeriksaan kepada nasabah domestik maupun asing. Darmin menyebutkan, memang tidak diperlukan. "Memang enggak perlu dimasukan. Justru tadinya pernah ada aturannya hanya asing kemudian dimasukan semuanya. Ya berarti asing dan dalam negeri," tambahnya.

Darmin melanjutkan, nantinya masing-masing lembaga terkait akan membuat aturan turunan yang mengacu pada Perppu AEoI. "Mesti ada dong aturan pelaksana di masing-masing. Tapi ya masing-masing saja enggak lagi atur satu sama lain lembaganya, itu sudah Perppu-nya yang atur semuanya bahwa sudah otomatis dapat info mengenai rekening misal di bank," tukasnya.

PENGUSAHA KEBERATAN - Terkait rencana pemerintah berburu pajak ini, kalangan dunia usaha pun menyatakan keberatannya. Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Suryadi Sasmita berharap, Ditjen Pajak tidak mengulangi kesalahan yang sama seperti di masa lalu, dimana mengejar pajak layaknya berburu di kebun binatang.

Artinya, upaya pengejaran pajak oleh petugas hanya bergantung pada wajib pajak yang sudah ada. "Harus menghilangkan kesan berburu di kebun binatang," kata Sasmita, Selasa (16/5).

Dia mengatakan, harusnya Ditjen Pajak melakukan ekstensifikasi. Sasmita menilai langkah Ditjen Pajak sudah tepat dengan melangsungkan program pengampunan pajak atau tax amnesty. Sehingga ada pembayar pajak baru ke depannya. "Kita perlu ekstensifikasi, untuk meningkatkan penerimaan pajak harus bicara ekstensifikasi," ujarnya.

"Jadi bukan orang yang sudah bayar pajak lalu dikejar, tetapi orang yang punya Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) tapi tidak bayar pajak, kan banyak yang punya NPWP tapi yang lapor SPT tidak banyak," papar Sasmita

Sasmita tidak menghalangi bila petugas pajak memang ingin memantau wajib pajak yang tidak patuh dalam pembayaran. Misalnya untuk wajib pajak badan yang yang ekspansi terus menerus namun selalu melaporkan kerugian, sehingga tidak membayar pajak. "Banyak permainan PMA yang ekspansi tapi rugi, bagi perusahaan merugi tapi ekspansi itu perlu dicurigai, ini bisa bertahun-tahun rugi tapi ekspansi," terangnya.

Di samping juga masih ditemukan pengusaha besar, tapi berkedok UKM. Sehingga hanya perlu membayar pajak final 1%. Sasmita menyarankan agar petugas pajak mengetahui pola pikir pebisnis.

"Jadi Dirjen Pajak bukan memeriksa yang ada, dia mesti belajar dengan pebisnis, agar tahu trik-trik yang dilakukan pebisnis mengenai itu. Jadi kita mendukung apabila menemukan data yang konkret," tukasnya.

Sementara itu, pengamat perpajakan Danny Darussalam mengatakan, Ditjen Pajak seharusnya mengawali pemeriksaan dan penindakan dengan pemetaan perilaku wajib pajak. Bisa digunakan melalui pengakuan wajib pajak ketika menjadi peserta tax amnesty. "Wajib pajak diperlakukan sesuai dengan perilakunya," katanya.

Dalam analisa Darussalam, ada empat kelompok perilaku kepatuhan wajib pajak. Pertama, adalah wajib pajak patuh. Perlakuan dari petugas pajak seharusnya mendapatkan fasilitas kemudahan atau pelayanan dengan sebaik mungkin alias karpet merah. "Perlakuannya dipermudah dan dilayani dengan sebaik mungkin (karpet merah)," jelasnya.

Kedua adalah kelompok ingin patuh, maka perlakuan petugas pajak mengarahkan agar wajib pajak patuh sepenuhnya. Ketiga, yaitu hanya patuh ketika sudah terdeteksi oleh petugas. "Hanya patuh jika terdeteksi, perlakuannya dengan diperiksa agar patuh," imbuhnya

Keempat yaitu sengaja tidak patuh. Petugas pajak harus menyiapkan kebijakan agar mampu membuat wajib pajak patuh akan aturan. Skemanya tentu lebih keras dari yang sebelumnya. "Sengaja tidak patuh, perlakuannya segala upaya untuk memaksa mereka untuk patuh termasuk dengan melakukan penyidikan tindak pidana pajak," tandasnya.

Hal ini sangat membantu Ditjen Pajak, maupun wajib pajak sendiri juga tidak resah karena merasa dikejar-kejar. "Jadi alasan pemeriksaan jelas dan berdasarkan perilaku kepatuhan wajib pajak yg dikelompokkan menjadi 4 kelompok tersebut di atas," tandasnya. (dtc)

BACA JUGA: