JAKARTA, GRESNEWS.COM - Penanganan kasus dugaan korupsi pembelian hak tagih (cessie) PT Adyesta Ciptatama oleh Victoria Securities International Corporation (VSIC) dari Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) timbul tenggelam di Kejaksaan Agung. Masalahnya, sejumlah pihak yang ditengarai berperan penting, keberadaannya tak lagi di Indonesia. Kejaksaan Agung mempertimbangkan untuk memajukan kasus ini ke ke persidangan dengan in absentia.

"Apa perlu nggak di-in absentia, karena barang (calon tersangka) sudah ada," kata Jaksa Agung Muda Pidana Khusus Arminsyah, Sabtu (30/7).

Arminsyah tak menjelaskan siapa calon tersangka kasus cessie Victoria ini. Namun hingga saat ini, sejumlah nama seperti mantan Direktur eksekutif PT VSIC Lislilia Djamin, Direktur PT VSI Rita Rosela, Komisaris PT VSI Suzana Tanojo, dan Direktur PT VSI lainnya, Aldo ada di luar negeri termasuk eks pegawai BPPN Aryanto Tanuwidjaya. "Calon tersangkanya di luar negeri," kata Arminsyah.

Dan saat ini tim intelijen Kejaksaan Agung masih mengumpulkan informasi dan mencari jejak mereka. Dalam waktu dekat Kejaksaan akan bersikap atas kasus ini apakah dimajukan ke persidangan dengan in absentia atau tidak.

"Masih kerjaan intel, masih tertutup, masih kami cari, tim masih penasaran," kata Arminsyah.

Dalam perkara korupsi, sidang in absentia pernah dilakukan Kejaksaan Agung saat menyeret kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Para terpidana pengemplang BLBI divonis bersalah.

Sidang in absentia yang digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dalam putusan Nomor 1032/PID.B/2001/PN.JKT.PST tanggal 22 Maret 2002 memutuskan Terdakwa I Hendra Rahardja, Terdakwa II Eko Edy Putranto dan Terdakwa III Sherny Kojongian yang diadili secara in absentia terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama dan berlanjut.

Menghukum kepada Para Terdakwa in absentia masing-masing, Terdakwa I: Hendra Rahardja pidana penjara seumur hidup; Terdakwa II: Eko Edy Putranto dengan pidana penjara 20 tahun; dan Terdakwa III: Sherny Kojongian dengan pidana penjara 20 tahun.

Menghukum para terdakwa dengan pidana denda masing-masing sebesar Rp. 30.000.000,- (tiga puluh juta rupiah) dengan ketentuan jika denda tidak dibayarkan harus diganti dengan pidana kurungan selama 6 bulan. Menyatakan barang bukti yang berupa tanah dan bangunan berikut surat-suratnya yang terlampir dalam daftar barang bukti pengganti berupa hasil lelang barang bukti sebesar Rp.13.529.150.800 dirampas untuk negara. Menghukum para terdakwa secara tanggung renteng untuk membayar uang pengganti sebesar Rp1.950.995.354.200.

Kasus BLBI lainnya adalah obligor BLBI Bambang Sutrisno dan Adrian Kiki Ariawan dalam kasus BLBI Bank Surya yang ketika dihukum seumur hidup, berada di Singapura. David Nusa Wijaya yang terlibat kasus BLBI Bank Servitia juga telah dvonis 1 tahun penjara secara in absentia oleh Pengadilan Negeri Jakarta Barat karena sudah kabur.

DASAR HUKUM - Sidang in absentia adalah konsep di mana terdakwa telah dipanggil secara sah dan tidak hadir di persidangan tanpa alasan yang sah, sehingga pengadilan melaksanakan pemeriksaan di pengadilan tanpa kehadiran terdakwa. Pasal 196 dan Pasal 214 KUHAP mengatur in absentia untuk Acara Pemeriksaan Cepat.

Persidangan in absentia secara khusus juga diatur dalam beberapa undang-undang lainnya, antara lain Pasal 38 Ayat (1) UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang menyatakan "Dalam hal terdakwa telah dipanggil secara sah, dan tidak hadir di sidang pengadilan tanpa alasan yang sah, maka perkara dapat diperiksa dan diputus tanpa kehadirannya."

Lalu Pasal 79 Ayat (1) UU No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang yang menyatakan: "Dalam hal terdakwa telah dipanggil secara sah dan patut tidak hadir di sidang pengadilan tanpa alasan yang sah, perkara dapat diperiksa dan diputus tanpa hadirnya terdakwa."

Dengan demikian, dalam perkara tindak pidana korupsi, tindak pidana pencucian uang dimungkinkan suatu persidangan dan pembacaan putusan tanpa dihadiri terdakwa.

Meskipun ada landasan hukum, sidang in absentia akan rawan gugatan. Sidang in absentia akan dipertentangkan dengan Pasal 196 Ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang berbunyi: "Pengadilan memutus perkara dengan hadirnya terdakwa kecuali dalam hal undang-undang ini menentukan lain". Bahkan dalam Statuta Roma Tahun 1998 Pasal 63 Ayat (1) dikatakan bahwa terdakwa harus hadir selama persidangan Pengadilan.

Selain itu dalam Pasal 8 Ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, menyatakan bahwa setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, atau dihadapkan di depan pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

HEBOH DI AWAL - Penanganan kasus cessie milik PT VSIC panas di awal. Penyidikan oleh Kejaksaan Agung dinilai bernuansa politis. Pihak VSIC harus berkirim surat ke Presiden Joko Widodo dan ke Ketua DPR saat itu Setya Novanto. Setya Novanto langsung memanggil Jaksa Agung HM Prasetyo.

Kasus ini sempat dipraperadilkan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Kejagung menerima gugatan pihak VSI dan menyatakan penggeledahan dan penyitaan dokumen milik VSI tidak dan harus dikembalikan. Namun Kejagung terus menyidik kasus ini.

Namun belakangan, penanganan kasus ini kian tak terdengar. Tak ada lagi pemeriksaan saksi-saksi. Mu´min Ali Gunawan, Presiden Direktur Panin Bank menjadi penutup pemanggilan saksi-saksi. Mu´min dikaitkan dan diduga kuat sebagai pemilik VSIC.

Kelanjutan penanganan kasus Victoria dipertanyakan Komisi III DPR pada Rapat Kerja dengan Jaksa Agung M Prasetyo. Setahunan kasus ini disidik namun belum ditetapkan siapa tersangkanya. "Kami minta Jaksa Agung menjelaskan sampai mana penyidikannya?" kata Ketua Komisi III Bambang Soesatyo.

Sementara kuasa hukum VSIC Irfan Aghasar menegaskan jika penyidikan yang dilakukan Kejaksaan Agung salah kaprah karena tak ada kerugian negara dari kasus ini. Apalagi tak kunjung ditetapkannya tersangka dalam perkara ini membuat pihak VSIC meyakini tidak ada korupsi. Penyidikan kasus cessie hanya mengada-ada. "Kasus ini bukan korupsi tapi masalah bisnis," kata Irfan beberapa waktu lalu.

Seperti diketahui, kasus ini berawal saat PT Adyaesta Ciptatama (AC) meminjam kredit ke Bank BTN, untuk membangun perumahan di Karawang seluas 1.200 hektare (ha). Bank BTN, lalu mengucurkan kredit sekitar Rp469 miliar, dengan jaminan sertifikat tanah seluas 1.200 ha.

Masalah muncul, ketika krisis moneter (Krismon) terjadi, BTN pun tak urung menjadi salah satu bank masuk program penyehatan BPPN. BPPN selanjutnya melelang kredit-kredit tertunggak termasuk aset PT AC berupa tanah 1.200 ha.

Lelang digelar, PT First Capital sebagai pemenang dengan nilai Rp69 miliar, tapi First Capital belakangan, membatalkan pembelian dengan dalih dokumen tidak lengkap. BPPN melakukan program penjualan aset kredit IV (PPAK IV), 8 Juli 2003 hingga 6 Agustus 2003 dan dimenangkan oleh PT VSIC dengan harga yang lebih murah lagi, yakni Rp26 miliar. PT AC telah mencoba menawar pelunasan kepada Victoria dengan harga di atas penawaran BPPN, yakni Rp266 miliar, tapi VSIC menaikkan harga secara tidak rasional yakni Rp1,9 triliun.

BACA JUGA: