JAKARTA, GRESNEWS.COM - Kejaksaan Agung (Kejagung) diragukan bakal mampu mengungkap tuntas kasus dugaan korupsi pengalihan hak tagih utang (cessie) PT Adyesta Ciptatama oleh Victoria Securities International Corporation (VSIC) dari Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Setelah setahun disidik, jaksa pada Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (Jampidsus) menemukan kebuntuan.

Soal sejumlah nama yang diduga kuat terlibat seperti Suzanna Tanodjo dan Rita Rosela hingga kini tak pernah tersentuh. Keduanya bahkan diduga telah berada di luar negeri. Apalagi masa pencegahannya telah habis sehingga saat ini penyidik tengah mempertimbangkan untuk meminta pihak Imigrasi mengeluarkan surat pencegahan baru.

Kesulitan lainnya adalah untuk mendapatkan kesaksian dari mantan pegawai BPPN Harjanto Tanuwidjaja. Bahkan penyidik tak mengetahui jejak Harjanto sampai saat ini. Saat nama Harjanto dikaitkan dengan PT CIMB Niaga, Kejagung bahkan tak mengetahuinya.

"Belum tahu orangnya, kita masih cari karena dia yang menggoreng (dugaan korupsi ini), kita masih coba cari dia," kata Jampidsus Arminsyah saat dikonfirmasi gresnews.com, Minggu (8/5).

Arminsyah mengungkap peran Harjanto sangat penting untuk memuluskan VSI memenangkan tender tahap kedua setelah PT First Capital urung membeli cessie yang dilelang BPPN itu. Selain Harjanto, jaksa akan kembali memanggil mantan Kepala BPPN Syafruddin Temenggung.

Dugaaan keterlibatan pihak BPPN dalam penjualan cessie tersebut diduga memang cukup besar. Diduga ada kongkalikong pembatalan hasil lelang yang dimenangkan PT First Capital yang kemudian menjadi dimenangkan PT VSIC. Ada dugaan kemenangan itu "diatur" oleh BPPN.

Direktur Eksekutif Indonesia Public Institute Karyono Wibowo mengungkapkan Kejagung memang harus memeriksa eks pejabat BPPN. Alasannya, karena sumber awal kejadian ini adalah dari BPPN sebagai penanggung jawab penjualan cessie.

Dengan adanya keterangan dari pihak BPPN, khususnya soal pembatalan transaksi dengan First Capital, akan makin terang posisi kasusnya. "Ya, saya kira perlu diperiksa juga peran BPPN, digali. Itu kan terjadi 2003 di mana Kepala BPPN Syafruddin Temenggung menjabat. Itu bisa dihadirkan untuk diperiksa, sehingga persoalan jadi jelas," kata Karyono.

Kasus ini juga makin kusut lantaran hingga kini Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) juga belum merampungkan perhitungan kerugian negara. Beberapa kali jaksa dan auditor BPK melakukan gelar perkara untuk menentukan kerugian negara, namun belum juga ada keputusan soal iiu.

AKAN DIHENTIKAN? - Kesulitan penyidik menemukan bukti cukup untuk menetapkan tersangka dikhawatirkan akan membuat kasus dugaan korupsi pembelian cessie PT Adyesta Ciptatama oleh VSIC ini akan dihentikan. Apalagi dalam sebulan terakhir atas sejumlah kasus yang buktinya minim telah dikeluarkan surat penghentian penyidikan (SP3). Yang terbaru adalah rencana menghentikan kasus korupsi jaringan sampah Pemprov DKI Jakarta dengan tersangka Erry Basworo.

Ketika ditanya kemungkinan penghentian perkara, Arminsyah langsung membantahnya. Dia menyatakan kasus cessie tak dihentikan. "Masih dilakukan evaluasi dari bukti dokumen dan keterangan saksi. Nggak ada, penyidik masih bekerja," kata Armin.

Sebelumnya, pihak Komisi III DPR pada Rapat Kerja dengan Jaksa Agung M Prasetyo beberapa waktu lalu juga mempertanyakan jalannya penyidikan kasus cessie Victoria ini. Setahun kasus ini disidik namun belum ditetapkan siapa tersangkanya. "Kami minta Jaksa Agung menjelaskan sampai mana penyidikannya?" kata Ketua Komisi III DPR Bambang Soesatyo (Fraksi Partai Golkar).

Komisi III DPR juga membentuk Panitia Kerja untuk mengawasi khusus penyidikan kasus ini. Alasannya, sejak kasus cessie Victoria mencuat langsung menuai kontroversi. Kasus cessie langsung mendapat atensi dari pimpinan DPR yang saat itu dipimpin Setya Novanto (Fraksi Partai Golkar). Jaksa Agung Mohammad Prasetyo pada Agustus 2015 juga sempat dipanggil ke DPR.

Dibentuknya Panja Cessie Victoria ini pun mencuatkan isu adanya intervensi oleh DPR dalam kasus ini. Meskipun dibentuk Panja oleh DPR untuk mengawasi proses penyidikan kasus itu oleh Kejagung, Prasetyo tak ambil pusing. Prasetyo mengatakan memiliki bukti kuat siapa yang paling bertanggung jawab kasus ini.

Dari keterangan saksi dan dokumen yang dimiliki penyidik ada sejumlah nama meskipun saksi yang dipanggil membantah seperti keterangan dari Mumin Ali Gunawan. "Ya, setiap orang bisa bantah, tapi buktinya kita punya. Yang menguasai fisik siapa? Kan mereka juga. Yang berkaitan dengan berkas yang kita sidik siapa? Kan mereka juga," kata Prasetyo.

Mumin Ali sendiri usai diperiksa sebagai saksi kasus ini memang tidak memberikan keterangan lengkap soal pemeriksaannya. Mumin Ali hanya mengatakan dirinya diperiksa sebagai saksi.

Kasus ini berawal dari saat PT Adyaesta Ciptatama (AC) meminjam kredit ke Bank Tabungan Negara (BTN) untuk membangun perumahan di Karawang seluas 1.200 hektare (ha). BTN, lalu mengucurkan kredit sekitar Rp469 miliar, dengan jaminan sertifikat tanah seluas 1.200 ha.

Masalah muncul, ketika krisis moneter (krismon) terjadi, BTN pun tak urung menjadi salah satu bank yang masuk program penyehatan BPPN. Badan ini selanjutnya melelang kredit-kredit tertunggak termasuk aset PT AC berupa tanah 1.200 ha.

Lelang digelar, PT First Capital sebagai pemenang dengan nilai Rp69 miliar, tapi First Capital belakangan membatalkan pembelian dengan dalih dokumen tidak lengkap.  BPPN melakukan program penjualan aset kredit IV (PPAK IV),  8 Juli 2003 hingga 6 Agustus 2003 dan dimenangkan oleh PT VSIC dengan harga yang lebih murah lagi, yakni Rp26 miliar.

PT AC telah mencoba menawar pelunasan kepada Victoria dengan harga di atas penawaran BPPN, yakni Rp266 miliar, tapi VSIC menaikkan harga secara tidak rasional yakni Rp1,9 triliun.

BACA JUGA: