JAKARTA, GRESNEWS.COM - Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) sudah menyiapkan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) untuk pembentukan induk usaha (holding) BUMN keuangan dan holding BUMN migas. Meski sudah menyiapkan RPP pembentukan holding, Kementerian BUMN masih terganjal dalam rapat pembahasan dengan Komisi VI DPR akibat pelarangan Menteri BUMN Rini Soemarno untuk rapat dengan DPR.

Deputi Restrukturisasi dan Pengembangan Usaha Kementerian BUMN Aloysius K.Ro mengatakan saat ini Kementerian BUMN sudah mengajukan RPP terkait pembentukan holding BUMN di bidang keuangan dan holding BUMN di bidang migas. Saat ini RPP sudah berada di Kementerian Keuangan dan Kementerian Hukum dan HAM.

Aloysius mengatakan terkait status perusahaan yang tergabung dalam holding baik anak usaha BUMN maupun perusahaan BUMN non-Tbk, untuk penataan holding akan diserahkan kepada manajemen. Dia mencontohkan seperti holding BUMN perbankan, dimana seluruh perusahaan BUMN perbankan saat ini statusnya perusahaan terbuka (Tbk). Ketika pembentukan holding, status Tbk tidak akan mengalami perubahan.

Sementara PT Danareksa (Persero) yang digadang-gadang sebagai induk holding BUMN saat ini berstatus perusahaan financial advisor, ketika menjadi induk holding BUMN perbankan, status financial advisor harus berubah menjadi financial company.

"Dia (Danareksa) berubah menjadi financial company sesuai dengan peraturan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) tentang perbankan," kata Aloysius di Gedung MPR/DPR, Jakarta, Kamis (21/4).


WAJIB IZIN DPR - Ketua Komisi VI DPR Hafisz Tohir mengatakan rencana Kementerian BUMN untuk membentuk holding BUMN harus dikomunikasikan kepada DPR karena konsep holding merupakan penyatuan beberapa perusahaan yang sejenis menjadi satu. Ketika sudah dibentuk menjadi holding, tentunya masing-masing perusahaan yang tergabung tersebut akan memiliki beberapa persen saham di dalam holding. Dengan adanya perubahan saham, hal itu perlu meminta izin kepada DPR.

Kendati demikian, dikarenakan perihal pelarangan Rini Soemarno hadir dalam rapat dengan DPR, Hafisz menyayangkan keputusan pimpinan DPR yang belum mencabut surat pelarangan tersebut. Menurutnya, jika menunggu Presiden Joko Widodo untuk melakukan reshuffle kabinet, hal itu memerlukan waktu yang lama karena reshuffle merupakan hak prerogatif Presiden. Sementara fungsi Komisi VI DPR sebagai pengawas Kementerian BUMN menjadi terbelenggu, apalagi kekayaan negara dikelola oleh perusahaan BUMN.

"Kalau begini terus dibelenggu Komisi VI DPR. Ada kerugian, itu pidana lho. Itu yang harus dipertanyaan kepada pimpinan DPR," kata Hafisz.

Sebelumnya pimpinan DPR menyatakan Rini untuk sementara tak bisa dipanggil ke DPR. Penyebabnya adalah keputusan rapat paripurna DPR yang menyetujui rekomendasi Hak Angket Pansus Pelindo II DPR, yang meminta Presiden Joko Widodo memberhentikan Rini sebagai menteri.


TERBENTUR ASET - Sementara itu, Wakil Ketua Komisi VI DPR Azam Azman Natawijana mengaku kesulitan untuk menilai rencana Kementerian BUMN untuk pembentukan holding. Sebab dalam rencana pembentukan holding menggunakan mekanisme inbreng (pengalihan aset), kemudian pertanyaan yang timbul adalah aset apa saja yang dialihkan dalam pembentukan holding tersebut.

Menurutnya, dalam pembentukan holding masih banyak yang perlu disikapi. Oleh karena itu, Komisi VI DPR perlu meminta keterangan langsung dari Menteri BUMN Rini Soemarno mengenai pembentukan holding tersebut.

Terkait sudah dibentuknya RPP pembentukan holding, Azam menilai seharusnya Rini Soemarno belum dapat mengajukan RPP sebelum ada pembicaraan dengan Komisi VI DPR. Menurutnya, pembentukan RPP tanpa adanya komunikasi dengan Komisi VI DPR dikarenakan pelarangan Rini Soemarno untuk hadir rapat.

Dia mengaku Komisi VI DPR sudah mengajukan surat permohonan kepada pimpinan DPR untuk mencabut surat pelarangan tersebut, namun hingga kini surat pelarangan tersebut tak kunjung dicabut. "Ini menjadi masalah serius terkait pengawasan kepada Kementerian BUMN. Akibat pelarangan Rini untuk rapat dengan kita kan jadi terhambat semua. Ini yang salah DPR," kata Azam.

Akibat surat pelarangan tersebut belum dicabut oleh pimpinan DPR, Azam mengaku Komisi VI DPR hanya bisa pasrah akibat pola komunikasi politik antara legislatif dan eksekutif tidak terjalin dengan baik. Maka dari itu, dia meminta agar pemerintah bisa duduk bersama dengan pimpinan DPR terkait permasalahan yang terjadi saat ini.

"Jadi bolanya ada di pimpinan DPR sekarang. Itu ruwetnya pemerintahan sekarang. Ya, mau bagaimana lagi, kita kan mau melakukan pengawasan tapi kan tidak bisa. Ya sudah kita lihat nanti seperti apa," kata Azam.

BACA JUGA: