JAKARTA, GRESNEWS.COM - Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) memastikan pembentukan holding (perusahaan induk) BUMN Migas melalui skema PT Pertamina (Persero) mengambil alih PT Perusahaan Gas Negara/PGN (Persero) Tbk. Berdasarkan skema itu PGN juga nantinya akan mengambil alih anak usaha Pertamina di bidang gas yaitu (Pertagas).

Menteri BUMN Rini Soemarno mengatakan pembentukan holding BUMN energi itu dilakukan untuk membesarkan lini usaha sektor gas yang dimiliki oleh PGN. Dia menjelaskan mekanisme penggabungan tersebut akan menggunakan mekanisme inbreng (suatu transaksi dengan menyertakan harta atau aset, tidak dalam bentuk uang tunai) yaitu Pertagas akan menyerahkan aset-asetnya sebagai modal ke PGN.

Kemudian, mengingat PGN sebagai perusahaan publik, tentunya Pertamina sebagai induk usaha akan memasukkan aset Pertagas melalui mekanisme right issue (penerbitan saham). Hal itu untuk membesarkan aset-aset milik PGN. Sebagai langkah awal, Pertamina akan mengadakan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) untuk mengambil alih PGN. "Pertagas akan masuk ke PGN. Harapannya PGN bisa menjadi lebih besar," kata Rini, Jakarta, Senin (9/5).

Menanggapi pembentukan holding BUMN Migas ini, Direktur Eksekutif Energy Watch Indonesia Ferdinand Hutahaean menyatakan menyambut baik. Apalagi holding itu dibentuk dengan menunjuk Pertamina sebagai induk holding BUMN Migas. Sebab secara konsep perusahaan BUMN Migas memang harus dijadikan satu.  

Namun ia menambahkan, dengan pembentukan holding yang menggabungkan Pertagas dengan PGN itu, maka saham asing yang ada di PGN harus dibeli kembali (buy back) oleh pemerintah.

Menurutnya jika pemerintah tidak membeli kembali saham publik di PGN, patut diduga akan ada aset negara yang dimiliki Pertagas berpindah secara tidak langsung ke pihak asing. Sebagaimana diketahui, porsi saham asing di PGN mencapai 47 persen dan 53 persen dimilik negara. Menurutnya jika hal itu terjadi akan menimbulkan kerugian negara, mengingat asing memiliki 47 persen saham di PGN.

"Makanya PGN harus buy back saham supaya tidak ada lagi saham asing di sana," kata Ferdinand kepada gresnews.com.

Lebih jauh Ferdinand mengungkapkan bahwa pihaknya memperoleh informasi terkait revisi UU Migas. Dalam revisi UU Migas tersebut akan ada tiga BUMN yang bergerak di sektor migas yaitu SKK Migas akan dijadikan BUMN migas di sektor hulu, sedangkan PGN dan Pertamina akan dijadikan BUMN migas di sektor hilir. Menurutnya jika hal tersebut terjadi, maka semakin kacau dunia migas Indonesia. Sebab di dunia migas Indonesia saat ini banyak sekali tumpang tindih kebijakan yang dikeluarkan oleh regulator, baik dari sisi hulu maupun hilir.

Oleh karena itu, dia mengusulkan kepada pemerintah agar menjadikan Pertamina sebagai holding sekaligus merangkap regulator yang mewakili pemerintah. Semua institusi baik itu SKK Migas maupun perusahaan BUMN migas seperti PGN dijadikan sebagai anak usaha Pertamina.

"Jadi memang konsepnya harus holding supaya ada satu BUMN yang induk menjadi regulator," kata Ferdinand.

BISA TIMBULKAN MASALAH - Namun demikian Wakil Ketua Komisi VI DPR Azam Azman Natawijana mengingatkan penggabungan kedua perusahaan tersebut harus dilakukan melalui kajian secara kompherensif. Terutama terkait  dampak positif dan negatif dari penggabungan.

Menurutnya sejatinya penggabungan Pertagas dengan PGN adalah agar masyarakat mudah mendapatkan gas, misalnya untuk wilayah Sumatera. Namun yang perlu diperhatikan,  pemerintah harus memastikan potensi gas yang ada di wilayah tersebut, apakah masih ada atau tidak.

Kemudian, penggabungan kedua perusahaan itu, juga harus didukung oleh kebijakan-kebijakan pemerintah. Sebab selama ini kebijakan pemerintah terhadap Pertagas dan PGN, baik terkait tugas maupun kewenangan,  tidak pernah tersampaikan kepada publik.

"Kan maunya disatukan supaya gampang? Belum tentu juga. Alasannya dijadikan satu sehingga dianggap mudah mendapatkan gas, tapi harus dilihat juga gasnya ada atau tidak, pipanya ada atau tidak. Jadi harus dilihat secara holistik," kata Azam.

Azam juga mengingatkan bahwa penggabungan itu ke depan bisa menimbulkan masalah, karena kedua perusahaan itu masing-masing memiliki sikap bisnis yang berbeda. PGN, misalnya, selama ini menentang adanya kebijakan open access, sementara Pertagas mendukung adanya kebijakan open access.

Kemudian sikap bisnis Pertagas kerap kali tidak berlaku adil bagi peserta lelang tender gas. Dia mencontohkan pada saat PLN melelang Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU), dimana Pertagas tidak memberikan informasi dan kondisi yang sama dengan peserta lelang lainnya. Artinya, Pertagas yang mengendalikan pelelangan dan cenderung berpihak kepada salah satu peserta lelang.

Terkait open access, menurutnya, kedua perusahaan tersebut harus menyelesaikan permasalahan tersebut dengan duduk bersama. Menurutnya jika penggabungan kedua perusahaan tersebut menerapkan open access, maka harus ditetapkan berapa banyak pihak yang dapat menggunakan pipa gas, kemudian nilai nominal yang harus dibayarkan.

"Jadi harus kompherensif kalau mau melakukan perubahan tidak bisa sesederhana seperti itu," kata Azam.

BACA JUGA: