JAKARTA, GRESNEWS.COM - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Ketua DPRD Provinsi Riau periode 2009-2014 Johan Firdaus beserta anggota dewan Riau pada periode yang sama, Suparman, sebagai tersangka kasus korupsi. Keduanya diduga menerima suap terkait pembahasan Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (RAPBD) tahun anggaran 2014 atau 2015.

"Uang yang diduga diterima dua orang ini masing-masing sekitar Rp800-Rp900 juta," kata Kepala Bagian Pemberitaan dan Publikasi KPK Priharsa Nugraha di kantornya, Kamis (8/4).

Priharsa mengatakan, keduanya dijerat dengan Pasal 12 huruf a atau b, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana.

Ada yang menarik dari penetapan tersangka ini. Suparman diketahui merupakan Bupati Rokan Hulu terpilih periode 2016-2021. Ia rencananya dilantik akhir Maret 2016 lalu menggantikan H. Achman sebagai bupati dan wakilnya Hafith Syukri yang masa jabatannya berakhir 19 April 2016 mendatang.

Kasus ini, menurut Priharsa, merupakan pengembangan dari perkara yang telah lebih dulu disidik KPK yaitu terkait Ahmad Kirjauhari yang juga merupakan anggota DPRD Riau beserta Anas Maamun, mantan Gubernur Riau. Keduanya pun telah dihukum majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).

Anas dihukum Majelis Hakim Tipikor Bandung pada 24 Juni 2015 dengan pidana penjara selama enam tahun dan denda Rp200 juta. Sedangkan Ahmad Kirjauhari divonis selama empat tahun dan denda Rp200 juta oleh Majelis Hakim Tipikor Pekanbaru pada 17 Desember 2015.

"Sangkaan bersama-sama maka sama dengan yang diterima AKK sekitar Rp800-900 juta," kata Priharsa.

MENAMBAH DAFTAR KORUPTOR - Priharsa menyatakan penetapan tersangka ini menambah panjang daftar para penyelenggara yang terlibat kasus korupsi di Provinsi Riau. Berdasarkan data yang dimiliki lembaga antirasuah ini, tercatat sudah puluhan oknum baik itu penyelenggara maupun pihak swasta yang sudah terjerat korupsi.

"Berdasarkan statistik sejak 2007, khusus Provinsi Riau, KPK sudah menangani tindak pidana korupsi yang melibatkan total 25 orang," terangnya.

Dari 25 orang tersebut untuk kategori anggota dewan sebanyak 11 orang, pejabat eselon di Pemprov Riau sebanyak delapan orang, gubernur tiga orang, swasta ataupun BUMN dua orang, dan satu lagi masuk dalam kategori lainnya. Ini merupakan salah satu rekor terbesar KPK menjerat pelaku korupsi dalam satu provinsi.

"Sementara di kategori berdasar sektor, sektor perizinan ada enam perkara, sektor pengurusan anggaran 21 perkara, sektor pengadaan barang dan jasa ada satu perkara," pungkasnya.

Untuk itulah, pada Rabu mendatang pihaknya akan bertemu Pemprov dan DPRD Riau untuk meminta komitmen mereka dalam pemberantasan korupsi. "Riau salah satu prioritas KPK untuk pencegahan korupsi, bentuknya pada Rabu yang akan datang KPK akan hadir di Riau untuk meminta komitmen dari seluruh pejabat yang ada di Riau baik di tingkat provinsi maupun kabupaten untuk bersama-sama melakukan pencegahan korupsi," imbuhnya.

KPK, kata Priharsa, juga akan memberikan rekomendasi mengenai bagaimana cara atau upaya yang bisa diterapkan dalam pengurusan anggaran, barang dan jasa serta perizinan yang selama ini menjadi salah satu titik timbulnya korupsi. Hal ini dilakukan agar ke depannya tingkat kasus korupsi di Riau bisa berkurang bahkan menghilang.

KORPORASI TAK TERSENTUH - KPK memang telah menetapkan puluhan orang sebagai tersangka kasus korupsi, namun mereka masih juga belum menyentuh pihak korporasi. Padahal, salah satu titik terjadinya korupsi yaitu pada sektor perizinan baik itu di sektor mineral dan batubara (minerba) ataupun kehutanan.

Pada 16 September 2015, Koalisi Anti Mafia Hutan melaporkan dugaan 27 korporasi terkait dugaan suap yang diberikan untuk Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Tanaman (IUPHHKHT) di Provinsi Riau pada kurun waktu 2002-2006. Salah satu perwakilan koalisi, Boy Even Sembiring, mengatakan, dari 27 korporasi itu, 20 diantaranya berada di Kabupaten Pelalawan dan Siak.

Dalam kasus ini, mantan Bupati Pelalawan Tengku Azmun Jaafar dan Arwin AS selaku mantan Bupati Siak telah divonis pidana masing-masing 11 tahun dan empat tahun penjara. Sedangkan tujuh korporasi lain berada di Kabupaten Indragiri Hilir dan Indragiri Hulu. Mereka, kata Boy, telah menebang hutan alam seluas 120.745 hektare sepanjang 2002 hingga 2006.

"Kami harap KPK untuk pertama kalinya menetapkan korporasi sebagai tersangka. Kalau diproses peradilan, kami berharap pengadilan bisa mencabut izin perusahaan mereka," tutur Boy kala itu.

Harapan Boy ini terbuka lebar ketika Wakil Ketua KPK Laode Muhammad Syarief menyatakan bahwa pihaknya akan mulai menyasar perusahaan sebagai subyek pelaku korupsi. Menurut Syarief, hal itu dilakukan sebab selama ini perusahaan dianggap mempunyai andil besar dalam suatu kasus korupsi.

"Kami bisa mengatakan ini adalah grand corruption karena dari awal kami berlima ingin menyasar korupsi-korupsi besar yang melibatkan pihak swasta," kata Syarief, Jumat (1/4) dalam konferensi pers terkait penetapan tersangka Presiden Direktur PT Agung Podomoro Land, Ariesman Widjaja, dalam kasus suap pembahasan dua Raperda terkait reklamasi Pantai Utara DKI Jakarta.‎

BACA JUGA: