‎JAKARTA, GRESNEWS.COM - Majelis Hakim Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta menjatuhkan hukuman 2 tahun penjara dan denda Rp200 juta kepada Ketua Hakim Pengadilan Tata Usaha (PTUN) Medan Tripeni Irianto Putro. Jika tidak bisa membayar, maka harus diganti dengan pidana penjara selama 2 bulan.

Hakim menilai, Tripeni terbukti bersalah menerima suap dari Pengacara Otto Cornelis Kaligis. "Menyatakan terdakwa Tripeni terbukti secara sah dan meyakinan melakukan tindak pidana korupsi secara bersama," kata Ketua Majelis Hakim Syaiful Arif, Kamis (17/12) malam.

Hukuman ini jauh lebih ringan dari tuntutan jaksa pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) empat tahun penjara dan denda Rp300 juta subsider lima bulan kurungan. Dalam putusannya, hakim menggunakan Pasal 12 huruf c Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 sebagai perbuatan bersama-sama juncto Pasal 64 ayat (1) KUHPidana.

Pasal tersebut berbunyi "Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun dan pidana denda paling sedikit Rp200 juta dan paling banyak Rp1 miliar" begitu petikan bunyi pasal tersebut.

"Setiap hakim yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga hadiah atau janji tersebut diberikan untuk mempengaruhi putusan perkaranya yang diadili" sambung bunyi pasal itu.

Tripeni, memang merupakan Ketua Majelis Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Medan, Sumatera Utara yang mengadili perkara gugatan kewenangan Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara dalam melakukan pemanggilan para staf pemprov terkait kasus dugaan korupsi dana Bantuan Sosial (Bansos), Bantuan Daerah Bawahan (BDB) dan beberapa dana lain yang dianggarkan dalam APBD.

ALASAN DAPAT HUKUMAN RINGAN - Hakim Ketua Syaiful mengakui bahwa putusan ini memang menyimpang dari peraturan hukum yang ada. Tetapi, majelis hakim mempunyai beberapa pertimbangan dalam menjatuhkan putusan yang berbeda dari undang-undang.

Salah satunya, Tripeni telah ditetapkan oleh jaksa KPK sebagai Justice Collaborator atau yang berarti pelaku yang bekerja sama dengan aparat penegak hukum dalam mengungkap suatu perkara yang melibatkan pelaku yang lebih besar mempunyai peran.

"Terdakwa sudah ditetepkan KPK sebagai Justice Collaborator sehingga menjatuhkan pidana paling ringan dengan memperhatkan keadlian masyarakat, menyimpangi Pasal 12 huruf c," terang Hakim Ketua Syaiful.

Kemudian alasan lainnya yaitu terkait adanya Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 4 Tahun 2011 tentang Perlakuan Bagi Pelapor Tindak Pidana (Whistleblower) dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama (Justice Collaborator) di Dalam Tindak Pidana Korupsi.

Dalam poin nomor 9 huruf c dalam SEMA itu menyatakan bahwa atas bantuan para Justice Collaborator ataupun Whistleblower dalam mengungkap suatu pelaku yang lebih besar, maka terhadap saksi pelaku, hakim dalam menentukan pidana yang akan dijatuhkan dapat mempertimbangkan hal-hal penjatuhan pidana.

Pertama, menjatuhkan pidana percobaan bersyarat khusus dan kedua menjatuhkan pidana berupa penjara yang paling ringan di antara terdakwa lainnya yang terbukti bersalah dalam tindak pidana yang dimaksud.

BERHARAP JAKSA TAK BANDING - Usai membacakan putusan, majelis hakim memberikan kesempatan kepada Tripeni dan penasehat hukumnya beserta jaksa KPK untuk menyampaikan tanggapan. Melalui salah satu pengacaranya, Tripeni menyatakan langsung menerima putusan tersebut.

Tak cuma itu, dalam tanggapanya pengacara meminta Jaksa KPK untuk tidak mengajukan langkah hukum selanjutnya di Pengadilan Tinggi, Jakarta. Hal itu dilakukan, agar menghindari kliennya jika putusan hakim Tipikor dianggap tidak tepat dan akhirnya divonis jauh lebih berat.

"Kami bukan bermaksud untuk mengintervensi jaksa. Tetapi Pak Tripeni berharap agar jaksa KPK tidak banding," ujar pengacara itu. Sementara jaksa KPK yang diwakili Wirasakjaya mengatakan pikir-pikir.

Usai sidang, Jaksa Wira juga enggan mengatakan bagaimana sikap KPK selanjutnya. Apakah akan mengajukan banding atau menerima putusan tersebut. Apalagi, selain menyimpang dari peraturan perundang-undangan yang ada, hukuman itu juga tidak sampa 2/3 dari tuntutan jaksa.

Biasanya, bila tidak mencapai angka tersebut jaksa akan mengajukan banding. "Ya kami pelajari dulu, kami akan lapor dulu (ke pimpinan)," terang Jaksa Wira.

BACA JUGA: