JAKARTA, GRESNEWS.COM - Majelis Hakim Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta menyatakan tidak dapat menerima tuntutan yang diajukan Jaksa Penuntut Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap Teuku Syaiful Ahmad, terdakwa kasus korupsi Pembangunan Dermaga Sabang Tahun Anggaran 2006-2010. Majelis Hakim Pimpinan Casmaya itu menolak tuntutan jaksa lantaran terdakwa diketahui menderita sakit stroke.

Sebab saat dihadirkan di muka sidang, Syaiful yang saat itu menjabat Kepala Badan Pengusahaan Kawasan Sabang (BPKS), tidak dimungkinkan lagi untuk dilakukan pemeriksaan. Ia hanya bisa duduk di kursi roda, dengan kepala dan anggota badan lainnya yang terlihat lemah, tanpa bisa merespons pertanyaan majelis hakim.  

Awalnya, Hakim Ketua Casmaya menanyakan kepada Syaiful tentang kondisi kesehatannya. Ini adalah hal yang lumrah, majelis selalu menanyakan tentang kondisi kesehatan para terdakwa sebelum sidang dilanjutan.

Namun, Syaiful hanya diam tanpa merespons apapun. Casmaya kemudian menanyakan kepada istrinya Hj Itin Agustina yang mendampingi Syaiful. "Belum merespons juga ya?" tanya Casmaya yang langsung dibenarkan Itin, Kamis (15/10).

Mendengar hal itu, majelis hakim akhirnya mengambil sikap sesuai berita acara persidangan pekan lalu bahwa jika hingga persidangan ini Syaiful masih belum pulih kesehatannya maka majelis akan mengeluarkan penetapan.

Dalam penetapan No.122/pid.sus/tpk/2015/pn Jakarta Pusat, ada beberapa pertimbangan yang menjadi dasar penetapan ini. Pertama, Syaiful dihadapkan ke persidangan dalam keadaan memakai kursi roda dan didampingi oleh istrinya.

"Selanjutnya hakim ketua memeriksa identitas terdakwa, tapi sewaktu ditanyakan terdakwa tidak bisa merespons, hanya diam saja, pikiran kosong, menerawang, sambil menggaruk-garuk dan mengusap-ngusap kepala," kata Casmaya.

Majelis Hakim akhirnya menanyakan dan istrinya menjawab bahwa Syaiful sudah tidak bisa lagi berbicara. Hal itu diperkuat dengan pernyataan penuntut umum bahwa Syaiful memang benar menderita sakit sejak dirinya diperiksa penyidik. Hal itu juga sesuai dengan hasil diagnosa tim dokter dari Ikatan Dokter Indonesia (IDI).

"Menimbang bahwa sesuai rekomendasi tim dokter dari IDI tanggal 7 mei 2015 yang memeriksa terdakwa dan berkesimpulan bahwa ditemukan riwayat stroke dan hemodialisa/cuci darah. Namun, tidak pernah ada riwayat serangan jantung, nyeri dada, dan jantung berdebar-debar," ujar Hakim Casmaya.

Karena alasan tersebut, Majelis Hakim mengeluarkan penetapan untuk menolak segala dakwaan penuntut umum atas nama terdakwa Teuku Syaiful Ahmad yang diduga terkait kasus korupsi Pembangunan Dermaga Sabang. Majelis, kemudian mengembalikan lagi perkara ini kepada jaksa KPK.


BUKAN BERARTI BEBAS - Meskipun Casmaya telah menolak untuk melanjutkan sidang, hal itu bukan berarti Syaiful terbebas dari segala jeratan hukum. Sebab, menurut Casmaya, penetapan ini dikeluarkan atas dasar kesehatan terdakwa yang memang tidak memungkinkan untuk diperiksa di persidangan.

"Walau proses penuntutan terhadap terdakwa dinyatakan tidak dapat diterima, bukan berarti terdakwa dibebaskan dari tindak pidana korupsi yang dilakukannya karena majelis hakim belum memutus substansi pokok perkara," tutur Casmaya.

Usai sidang, Jaksa KPK Iskandar Marwanto juga mengutarakan hal yang sama. Menurut Iskandar, penetapan majelis hakim ini bukan berarti Syaiful terlepas dari segala tuntutan hukum yang dialamatkan kepadanya. Tetapi hanya mengembalikan perkara tersebut kepada KPK.

Menurut Iskandar, sebenarnya Syaiful memang telah menderita sakit sejak dalam proses penyidikan. Tetapi, karena KPK tidak bisa mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3), maka perkara ini tetap dilanjutkan hingga ke penuntutan.

Terlebih lagi, dalam perkara ini juga ditemukan kerugian negara dalam jumlah yang cukup besar yaitu lebih dari Rp300 miliar, sehingga tidak mungkin lembaga antirasuah tersebut menghentikan perkara korupsi Pembangunan Dermaga Sabang ini.

"Riwayat tuntuan ini karena KPK tidak punya kewenangan menghentikan penyidikan, jadi harus kita tindak lanjuti karena ada temuan adanya kerugian negara. Itu aja, fokusnya di situ," cetus Iskandar.

Sementara itu terkait langkah teknis yang akan diambil KPK, Iskandar menjelaskan, pasca penetapan majelis yang menyatakan menolak penuntutan. Maka KPK akan melimpahkan perkara tersebut ke Kejaksaan Agung.

Kemudian, terkait kerugian negara, pihaknya juga akan melimpahkan perkara ini ke Jaksa Pengacara Negara (JPN). Dengan begitu, perkara ini akan terus berjalan sebagaimana mestinya.

Iskandar memaparkan, dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi Nomor 20 Tahun 2001 tidak ada  ketentuan mengenai pengaturan  terdakwa yang sedang sakit maka perkara bisa dilimpahkan. Aturan yang ada  hanya mengatur jika terdakwa meninggal dunia.

"Dalam UU Tipikor kepada terdakwa yang meninggal ada ketentuan di tahap penyidikan, penuntutan, tapi yang sakit tidak ada ketentuan di tahap penyidikan maupun penuntutan. Yang meninggal, bisa dilimpahkan langsung ke JPN. Tapi karena ini sakit maka tidak ada ketentuannya," tandas Iskandar

Perkara ini menurut  Iskandar merupakan hal baru bukan hanya untuk pengadilan Tipikor, tetapi juga merupakan pertama kali yang pernah dialami KPK sejak berdiri pada 2003 lalu.

"Maka ini pun satu temuan hukum bagi majelis dan upaya kita yang baru dalam kasus-kasus seperti ini ke depan," imbuhnya.

Meskipun begitu, Iskandar mengingatkan hal seperti ini bukan menjadi celah hukum bagi terdakwa lain untuk menghindari jeratan hukum. Memang sudah menjadi "kebiasaan" para terdakwa korupsi selalu mempunyai alasan sakit dan izin berobat ke rumah sakit.

Beberapa terdakwa itu diantaranya Otto Cornelis Kaligis, Jero Wacik, Suryadharma Ali, Fuad Amin Imron, dan mantan petinggi BJB Hassan Wijaya yang telah diputus kasusnya. Khusus untuk Hassan, ketika di persidangan ia selalu menggunakan kursi roda, tetapi menurut Jaksa, pada saat menjalani tahanan, yang bersangkutan justru terlihat sehat dan tidak pernah menggunakan kursi roda.

"Makanya kita minta ke Pak hakim untuk mengambil keputusan lebih lanjut. Tetapi upaya tidak akan berhenti di sini. Harus match (sesuai-red) antara dokter IDI yang di KPK dan dokter pribadi bahwa terdakwa sakit, jika tidak kita tetap menunggu putusan hakim," imbuhnya.

PENETAPAN HAKIM DAN REVISI UU - Sementara itu, salah satu pengacara Syaiful, J Kamal Farza, mengaku bersyukur atas putusan ini. Ia mengapresiasi penetapan majelis hakim pimpinan Casmaya atas perkara yang melibatkan kliennya tersebut.

Menurut Kamal, sebenarnya perkara ini harusnya sudah dihentikan dalam tahap penyidikan. Tetapi, karena KPK tidak bisa mengeluarkan SP3, maka mau tak mau ia dan kliennya mengikuti peraturan yang ada, sehingga harus sampai pada penuntutan dan menunggu penetapan hakim.

"Sebenarnya sejak penyidikan Perkara ini harus dihentikan, karena KPK tidak bisa SP3. Secara persidangan kita lihat sendiri. Kita apresiasilah keputusan ini, sebagai upaya yang harus dilakukan demi hukum," ujar Kamal.

Kamal pun menyinggung mengenai revisi RUU KPK terutama mengenai SP3 yang boleh dikeluarkan KPK. Menurutnya, hal ini diperlukan jika kondisi terdakwa benar-benar sakit seperti yang dialami kliennya.

"Usulan yang bergulir di DPR bahwa KPK bisa SP3 saya kira harus kita terima mengingat ini kejadian yang ada di depan mata kita," tutur Kamal.

Mengenai rencana KPK yang akan tetap menggugat kliennya karena ada kerugian negara yang timbul, ia pun tidak mempermasalahkannya. "Ya kita tunggu saja," kata Kamal.

PERNAH DIAJUKAN SIDANG - Syaiful sebenarnya pernah dihadirkan dalam persidangan, saat menjadi saksi terdakwa mantan petinggi Nindya Karya Heru Sulaksono, 2 Oktober 2014 lalu. Majelis Hakim perkara ini juga  dipimpin oleh hakim  Casmaya. Itu Sebabnya ia memahami betul apa yang terjadi pada Syaiful saat ini.

Saat itu, Syaiful juga batal bersaksi karena sudah terserang stroke. Dan hal itu juga dibenarkan oleh orang yang menemani Syaiful,  Darmawan. "Iya, dulu waktu pertama kali sakit saya yang jagain bapak (Syaiful-red)," ujar Darmawan kala itu.

Syaiful menjadi terdakwa ketiga dalam perkara ini. Sebelumnya Heru Sulaksono sudah terbukti bersalah dan divonis 9 tahun penjara oleh majelis hakim. Terdakwa lainnya, mantan Deputi Teknis BPKS Ramadhani Ismy, juga telah dihukum 6 tahun penjara oleh hakim Tipikor.

Kasus ini sempat menyerempet Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Azwar Abubakar. Ia memang pernah menjadi saksi saat diperiksa di KPK beberapa waktu silam. Azwar, yang juga mantan Gubernur Aceh ini, menyangkal keterlibatannya dan mengaku tidak tahu menahu perihal kasus ini.

BACA JUGA: