JAKARTA, GRESNEWS.COM - Dua guru Jakarta Intercultural School (JIS) Neil Bantleman dan Ferdinant Tjong, yang saat ini sedang menunggu putusan banding di Pengadilan Tinggi Jakarta, patut sedikit bernafas lega. Sebuah keputusan pengadilan di Singapura memenangkan gugatan yang mereka layangkan kepada salah satu ibu korban kasus kekerasan seksual di JIS berinisial DR.

Putusan itu, akan digunakan pihak Neil dan Ferdi untuk membuktikan bahwa kasus kekerasan seksual atau sodomi yang menyeret mereka ke penjara terdapat dugaan unsur rekayasa. Memang putusan Pengadilan di Singapura diyakini tidak akan banyak berpengaruh pada proses peradilan di Indonesia. Tidak ada hubungan kausalitas putusan di Singapura dengan peradilan di Indonesia karena memang berbeda sistemnya.

Namun bagi kuasa hukum JIS Harry Ponto, putusan Pengadilan Singapura yang mengabulkan gugatan JIS dan kedua gurunya itu patut dipertimbangkan majelis hakim di Indonesia. Sebab dengan putusan itu membuktikan jika kasus sodomi yang didakwakan itu tidak ada.

Harry mengatakan, sebelum hakim pengadilan memvonis, dia akan mengecek bukti-bukti yang disampaikan penggugat. Termasuk memeriksa anus korban yang diperiksa di KK Women´s and Children´s Hospital, Singapura.

"Dalam kasus ini membuktikan bahwa tidak ada sodomi. Kami akan berupaya dua guru yang saat ini ditahan bisa bebas," kata Harry Ponto kepada gresnews.com, beberapa waktu lalu.

Gugatan dilakukan JIS dan dua guru di Pengadilan Singapura pada 2014 kepada ibu korban DR. Dilakukan gugatan di Singapura itu karena DR menyampaikan tuduhan kekerasan seksual kepada kedua guru JIS tersebut berdasar hasil pemeriksaan Rumah Sakit Singapura KK Women´s and Children´s Hospital, Singapura.

Mengutip salinan putusan yang diunggah laman www.lawnet.sg, majelis hakim Pengadilan Tinggi Singapura yang diketua Lee Seiu Kin J mengabulkan gugatan dua guru JIS tersebut. Vonis yang diputus pada 16 Juli 2015 lalu itu juga menghukum DR untuk membayar sejumlah ganti rugi. Totalnya mencapai Sin$230 ribu atau sekitar Rp2,3 miliar.

Tergugat, dalam hal ini ibu korban berinisial DR dinilai telah melakukan pencemaran nama baik melalui media whatsapp, email dan wawancara dengan sejumlah surat kabar, The Independent (Inggris) dan The Jakarta Post.  DR menyebut telah terjadi pencabulan  terhadap sejumlah murid – termasuk anaknya yang berinisial AL--yang dilakukan di sekolah yang terletak di Jakarta Selatan itu.

Hakim Lee Seiu Kin mengatakan pencemaran nama baik semakin berkembang karena pernyataan DR dikutip oleh surat kabar. Sehingga, pencemaran itu semakin berulang-ulang terus.

JANGAN ABAIKAN FAKTA HUKUM - Pengamat hukum Universitas Brawijaya Fachrizal Afandi mengatakan, putusan pengadilan di Singapura bisa melengkapi pertimbangan dan putusan hakim di Indonesia terkait sidang banding atas kasus ini. Dia menilai, putusan itu bisa melengkapi karena alat bukti dan faktanya sama dengan pengadilan yang ada di Indonesia.

"Putusan Pengadilan Singapura dapat menjadi pertimbangan hakim di Indonesia untuk memutuskan kasus JIS. Sebab bukti medis yang diajukan ke pengadilan memiliki obyek dan tuduhannya sama," kata Fachrizal kepada media, Kamis (6/8) kemarin.
 
Menurut Fachrizal, pengadilan harus berani melakukan terobosan untuk menyelamatkan hukum dan memastikan bahwa kebenaran dan keadilan harus diberikan kepada yang berhak. Dalam kasus JIS, materi yang dipersoalkan di Singapura dan di Indonesia sama, yaitu tindak kekerasan seksual dengan obyek yang sama.
 
Demi hukum, kata Fachrizal, fakta-fakta medis yang bisa menjadi rujukan untuk mengungkap kebenaran kasus JIS jangan diabaikan. "Hakim harus berani melakukan terobosan, jangan sampai orang bersalah dihukum oleh perbuatan yang tidak pernah mereka lakukan," tandasnya.

Dia menyebutkan fakta-fakta kasus kekerasan seksual yang dilakukan baik oleh dua guru JIS dan para petugas kebersihan yang dipekerjakan JIS berbanding terbalik dengan putusan pada sidang pidana kasus JIS di Pengadilan Jakarta Selatan. Para pekerja kebersihan dan dua guru JIS malah dinyatakan bersalah dan terbukti melakukan sodomi.

Padahal berdasarkan fakta dan bukti-bukti, hasil pemeriksaan yang dilakukan dokter dari Rumah Sakit Pondok Indah belum berkesimpulan terjadi sodomi. Namun majelis hakim menggunakan pertimbangan dan keterangan ibu korban.

Terakhir berdasarkan hasil pemeriksaan medis terhadap AL di RS KK Women´s and Children´s Hospital, juga tidak ditemukan adanya luka atau indikasi tertular penyakit seksual menular di lubang pelepasan AL. Pemeriksaan AL dilakukan melalui proses anuskopi lengkap yang dilakukan oleh tim dokter ahli bedah, ahli anastesi dan ahli psikologi.

Dengan demikian hasilnya sangat akurat karena melalui pembiusan total sehingga lubang pelepas dapat diteliti secara cermat. Namun hakim dua guru JIS yang dipimpin Nur Aslam Bustaman itu tak menggubris.

Dalam kasus JIS, dua guru JIS Neil dan Ferdi oleh pengadilan divonis bersalah dan dihukum kurungan penjara 10 tahun dan denda Rp100 juta. Kedua guru itu langsung mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi. Saat ini mereka tengah menunggu putusan banding tersebut.

Sementara pekerja kebersihan JIS juga divonis bersalah dengan hukuman 7 hingga 8 tahun penjara. Saat banding di Pengadilan Tinggi, mereka tetap diputus bersalah. Para pekerja kebersihan itu kemudian melakukan kasasi ke Mahkamah Agung.

MENIMBANG ULANG PUTUSAN JIS - Menurut aktivis Hak Asasi Manusia dari Human Rights Watch (HRW) Andreas Harsono, putusan Pengadilan Singapura yang menyatakan dua guru JIS, Neil Bantleman dan Ferdinant Tjong, tidak terbukti melakukan kekerasan seksual terhadap AL menjadi bukti bahwa dugaan adanya rekayasa dalam kasus ini semakin nyata.
 
Apalagi, lanjut Andreas, pengadilan Singapura mendasarkan putusannya berdasarkan bukti hasil anuskopi terhadap AL, siswa JIS yang diduga menjadi korban kekerasan seksual oleh Neil dan Ferdi. Bukti medis yang dijadikan dasar pengadilan Singapura mestinya bisa menjadi bahan pertimbangan hakim di Indonesia.

"Apalagi pemeriksaan medis di Singapura jauh lebih detil dan melibatkan banyak dokter ahli," ujar Andreas kepada media ketika disoal kasus dua guru JIS ini.

Dalam sidang pengadilan di Singapura juga terungkap adanya bukti pesan tertulis yang dikirim DR kepada seorang temannya yang mengomentari pemberitaan tentang kasus tersebut saat itu. Dengan jelas DR menyatakan anaknya tidak pernah mengalami kekerasan seksual lebih dari 20 kali.
 
Diduga tuduhan pelaku sodomi terhadap Neil dan Ferdi hanyalah tuduhan rekayasa untuk memperkuat permintaan ganti rugi sebesar US$125 juta oleh salah satu ibu pelapor lainnya. Sidang gugatan perdata tersebut digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan beberapa waktu lalu, namun saat itu majelis hakim belum memberikan putusannya.

Pada Senin (10/8) mendatang, gugatan ini akan diputus oleh majelis hakim yang diketuai Haswandi, dengan hakim anggota Lendriaty Janis dan Suprapto. Baik penggugat maupun tergugat sama-sama berharap menang.

Dalam kesempatan sidang yang lalu, kuasa hukum pihak penggugat, Nadia, mengatakan, kasus di Singapura tidak ada kaitannya dengan gugatan perdata di PN Jaksel dan tidak akan berpengaruh pada proses peradilan di Indonesia. Nadia mengaku tetap berpegang pada fakta adanya putusan pidana dari PN Jaksel bahwa kedua guru JIS terbukti bersalah.

Majelis hakim dalam perkara pidana ini berkeyakinan Neil dan Ferdi bersalah dan divonis 10 tahun penjara. Karena itu Nadia berkeyakinan putusan di Singapura tak berdampak dengan kasus di Indonesia. "Kasus berbeda, dan ini (perdata JIS) belum ada putusan," kata Nadia.

Nadia, kuasa hukum penggugat tak banyak komentar. Dia menilai kasus di Singapura tidak ada kaitannya dengan gugatan perdata di PN Jaksel.

Nadia berpegang pada fakta adanya putusan pidana dari PN Jaksel bahwa kedua guru JIS terbukti bersalah. Majelis hakim dalam perkara pidana ini berkeyakinan Neil dan Ferdi bersalah dan divonis 10 tahun penjara.

Karena itu Nadia berkeyakinan putusan di Singapura tak berdampak dengan kasus di Indonesia. "Kasus berbeda, dan ini (perdata JIS) belum ada putusan," kata Nadia di PN Jaksel usai sidang.

- See more at: http://www.gresnews.com/berita/hukum/1830307-pengadilan-singapura-dan-nasib-gugatan-perdata-jis/4/#sthash.ioMefCra.dpuf
BACA JUGA: