JAKARTA, GRESNEWS.COM - Kasus dugaan tindak kekerasan seksual terhadap murid sekolah di Jakarta Intercultural School (JIS) yang dituduhkan kepada petugas kebersihan dan dan dua guru JIS seperti tak usai-usai. Khusus terhadappara petugas kebersihan JIS, putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang menyatakan mereka bersalah mengundang polemik tak berkesudahan dan menjadi perdebatan di kalangan pemerhati peradilan.

Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) dan Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia (MaPPI) lantas melakukan eksaminasi atas putusan PN Jaksel tersebut. Eksaminasi dilakukan melibatkan akamdemisi, aktivis Lembaga Swadaya Masyarakat, dokter forensik hingga mantan jaksa.

Faktor utama yang mendasari eksaminasi publik itu adalah untuk mendorong dan memberdayakan partisipasi publik untuk melihat lebih jauh dalam memersoalkan suatu perkara dan putusan atas perkara yang dinilai kontroversial dan melukai rasa keadilan masyarakat itu. "Eksaminasi tidak bertujuan mengintervensi proses hukum namun lebih sebagai ruang publik menjalankan fungsi kontrol terhadap kinerja aparat penegak hukum," Koordinator Kontras Haris Azhar, di Jakarta, Selasa (1/12).

Dalam kasus ini memang keadilan sepertinya tak berpihak pada rakyat kecil. Dua guru JIS yang dituduh bisa melenggang bebas setelah diputus tak bersalah oleh Pengadilan Tinggi DKI Jakarta. Sebaliknya, kelima petugas kebersihan JIS harus mendekam di penjara karena dinyatakan bersalah hingga tingkat kasasi di Mahkamah Agung dan divonis 7-8 tahun penjara.

Sementara itu, kedua guru JIS Ferdinand Tjiong dan Neil Bantleman yang dibebaskan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta, kini masih menghadapi proses kasasi yang diajukan jaksa dari Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta. Jaksa menilai putusan PT DKI tak berlandaskan fakta persidangan.

Dua kasus JIS ini sejak awal mencuat memang telah menyita perhatian masyarakat. Sebab kasus kekerasan seksual itu terjadi di sekolah bertaraf internasional. Publik awalnya melihat kekerasan seksual berupa sodomi itu benar terjadi. Apalagi kemudian, dua guru JIS yang dituduh melakukan tindakan tersebut ditetapkan sebagai tersangka.

Demikian pula kelima petugas kebersihan JIS itu. Namun bau tak sedap kasus ini mulai tercium saat salah petugas kebersihan tewas dengan wajah lebam saat diperiksa polisi. Ada dugaan kekerasan yang dilakukan terhadap petugas kebersihan bernama Azwar itu.

Belakangan, fakta persidangan kasus lima petugas kebersihan yang dilakukan secara tertutup menguak fakta bahwa tak ada peristiwa sodomi. Kuasa hukum pekerja kebersihan JIS Patra Zen menuding adanya rekayasa kasus. Namun pengadilan malah memutus pekerja kebersihan dan dua guru JIS bersalah.

Selain kasus pidana, perkara dugaan kekerasan seksual ini juga masuk ranah perdata. Salah satu ibu korban sodomi mengajukan gugatan perdata sebesar Rp1,6 triliun. Namun kasus ini kandas setelah PN Jaksel menolak gugatan itu.

HASIL EKSAMINASI - Karena menilai kasus ini menyimpang dari rasa keadilan, maka Kontras pun menggelar sidang eksaminasi publik atas kasus ini bersama MaPPI. Eksaminasi dilaksanakan sejak Juni lalu dan berakhir pada akhir September kemarin.

Eksaminasi publik atas putusan kasus JIS diselenggarakan setelah keluarga tersangka mengadukan adanya dugaan penyiksaan dan rekayasa kasus selama proses penyelidikan hingga pemidanaan yang dipaksakan. Apalagi diperkuat dengan fakta-fakta persidangan, maupun yang ditemukan Kontras.

Haris Azhar mengatakan, berdasarkan hasil analisis yang disampaikan ahli, terlihat baik aparat penegak hukum maupun pengadilan telah gagal mewujudkan keadilan dan perlindungan hukum bagi anak serta memenuhi hak-hak tersangka.

Haris mengatakan, ada sejumlah hal dari hasil eksaminasi itu. Pertama, pelanggaran terhadap hukum formil. "Dalam kasus ini, Kepolisian terlebih dahulu menetapkan petugas kebersihan sebagai tersangka baru kemudian menyusul dua guru JIS. Kasus ini terlihat sangat dipaksakan karena sumirnya tudingan kepada mereka," urai Haris.

Kedua, tidak terpenuhinya hukum materil. Dalam kasus ini, kata Haris, ada kesalahan menerapkan hukum materil seperti tidak kuatnya unsur-unsur dalam pasal yang didakwakan. "Keterangan ahli dan hasil visum tidak pernah dijadikan pertimbangan baik oleh jaksa penuntut umum maupun hakim," terang Haris.

Ketiga, tidak terlindunginya kepentingan anak-anak. "Ada sentimen publik yang dibangun oleh media yang menyebut tersangka telah melakukan kesalahan. Jadi terkesan hakim tidak netral," tegas Haris.

Haris menegaskan sekali lagi, hasil temuan dalam eksaminasi ini tidak bertujuan untuk mengintervensi proses hukum yang sedang berlansung. "Kami berharap hasil eksaminasi ini dapat menjadi pertimbangan bagi MA, Kejagung dan Kepolisian melakukan koreksi terhadap kinerja aparatnya sehingga pemidanaan yang dipaksakan tidak pernah terjadi lagi," ujarnya.

KERANCUAN HUKUM - MaPPI melihat dari berkas putusan PN Jaksel belum terbukti dengan meyakinkan telah terjadi delik yang didakwakan. Dasar yang digunakan penyidik dan JPU untuk membuktikan terjadinya kasus yang didakwakan adalah pengakuan para korban, yakni anak-anak di bawah umur.

Bukti berupa juga tidak meyakinkan karena ada visum yang berasal dari Singapura ditolak hakim. "Perkara ini tidak diikuti tertib proses yang seharusnya berdasarkan logika hukum harus dicermati dan dibuktikan oleh JPU dalam sidang pengadilan," kata peneliti MaPPI Choki Ramadhan.

Sementara itu, menurut Direktur Eksekutif Pusat Pengembangan Riset Sistes Peradilan Pidana (Persada) Fachrizal Afandi, dalam kasus ini terlihat ada pemihakan hakim dalam skenario dakwaan dan tuntutan dari JPU. Contoh, pencantuman Pasal 436 Rv terkait penolakan hakim atas alat bukti surat hasil pemeriksaan medis saksi yang dilakukan di rumah sakit di Singapura.

Rv atau Reglement op de Rechtsvordering adalah hukum acara perdata bagi golongan orang Eropa di masa Belanda yang digunakan dulu di lembaga peradilan zaman penjajahan Belanda Raad van Justitie. "Secara normatif pertimbangan tersebut aneh. Karena sejak diberlakukannya UU No 1 Darurat tahun 1951, Indonesia hanya mengenal HIR dan bukan Rv sebagai dasar bercara yang kemudian diganti 1981 dengan memperlakukan KUHAP," kata Fachrizal.

Belum lagi terkait pembuktian saksi anak dan ibu yang sangat mendominasi tuntutan dan putusan pengadilan. Terkesan sangat dipaksakan demi membangun fakta sesuai dengan Berita Acara Pemeriksaan yang dibuat penyidik. Tidak ada keterangan dari saksi yang mempunyai kekuatan pembuktian lugas menjelaskan peristiwa pidana terjadi.

"Kecuali asumsi hakim dalam putusannya terkait fakta-fakta sumir terkait sebab dan akibat yang dibangun sedemikian rupa hampir sama dengan BAP," kata Fachrizal.

Dalam tuntutan Jaksa Penuntut Umum terlihat jelas, hukum progresif yang digadang-gadang menjadi solusi malah dapat dengan mudah dipelintir berdasarkan atas kepentingan tertentu. "Dalam kasus JIS beberapa prosedur dikesampingkan demi memenuhi tekanan publik akan substansi peristiwa pidana versi penegak hukum," pungkasnya.

BACA JUGA: