JAKARTA, GRESNEWS.COM - Penanganan kasus kekerasan seksual yang terjadi di Jakarta Intercultural School (JIS) oleh Polda Metro Jaya masih jadi polemik dan banyak masalah. Khususnya proses reka ulang yang dilakukan penyidik banyak yang janggal.

Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Atmajaya Jakarta Irwanto mengungkapkan sejumlah kejanggalan dalam proses reka ulang kasus JIS itu. Irwanto mengaku telah melihat video reka ulang kasus JIS, dalam video itu terungkap, MAK (korban) banyak diarahkan oleh penyidik. Meskipun MAK banyak protes tapi terlihat penyidik tak menggubrisnya.

Dan reka ulang itu dinilai tak layak dijadikan pembuktian di persidangan. "Bukti-bukti yang diarahkan itu tidak sah digunakan sebagai pembuktian. Kalau reka ulang demikian muncul pertanyaan apa benar terjadi sesuatu," kata Irwanto di Jakarta, Jumat (12/6).

Kejanggalan lain dalam reka ulang itu adalah fakta bahwa MAK tidak menunjukkan trauma. Padahal dalam laporannya, MAK dikatakan mengalami sodomi berkali-kali sejak Desember 2013 sampai dengan Maret 2014. Jadi seharusnya anak tersebut mengalami trauma mendalam dan ketakutan apabila harus berada di tempat dia mengalami kekerasan seksual.

"MAK tenang-tenang saja, tertawa ceria seperti tidak terjadi apa-apa, dia mengikuti reka ulang sambil bermain. Mustahil seorang anak yang disodomi berkali-kali tetap nyaman di lokasi dia diduga disodomi," kata Irwanto.

Irwanto juga menyayangkan proses reka ulang tidak segera dilakukan setelah ada peristiwa kekerasan seksual. Dengan kecenderungan reka ulang yang diarahkan, maka anak perlahan-lahan akan menyesuaikan dengan arahan tersebut, meskipun tidak sesuai dengan kejadian sebenarnya. Sebab anak kecil memiliki kecenderungan untuk sangat mudah
dipengaruhi atau diarahkan.

Apalagi bila dalam mengarahkannya juga dengan tekanan atau paksaan. "Yang tidak masuk akal bukti seperti itu justru dipakai untuk menvonis seseorang di pengadilan. Inilah yang menjadikan hukum kita semakin karut-marut," tandasnya.

Hal senada juga disampaikan Hakim Agung Gayus Lumbuun. Dia menyayangkan proses pengambilan putusan vonis kasus JIS tidak berdasar pembuktian di dalam persidangan. Menurutnya, dalam suatu persidangan yang harus menjadi prioritas pertimbangan ketua majelis hakim dalam mengambil suatu putusan adalah pembuktian.

"Porsi keyakinan hakim terhadap suatu kasus hanya sekitar 30 persen, sementara sisanya harus tetap berdasarkan pembuktian selama persidangan," tandasnya.

Diketahui, kasus tuduhan pelecehan seksual di JIS telah menyeret enam pekerja kebersihan PT ISS ke meja hijau setelah dilaporkan TPW selaku orang tua MAK. Mereka adalah Agus Iskandar, Virgiawan Amin, Zainal Abidin, Syahrial, Friska Setyani yang divonis 7-8 tahun penjara. Sementara Azwar meninggal dunia ketika menjalani proses penyelidikan karena menggunakan kekerasan.

Kasus ini juga menyeret dua tenaga pengajar JIS, Neil Bantleman dan Ferdinant Tjiong, yang dilaporkan orang tua anak berinisial MAK, AL dan DA. Kedua guru tersebut sedang mengajukan banding setelah divonis 10 tahun penjara dari PN Jakarta Selatan.

Dalam proses persidangan kedua guru, terungkap hasil medis terhadap MAK menyatakan nanah pada anus bukan karena virus penyakit seks menular tetapi hanya bakteri. Sedangkan hasil medis terhadap AL di sebuah RS Singapura menyatakan anusnya normal.

Tuduhan pelecehan seksual hanya berdasarkan keterangan anak yang mengaku korban dan cerita orang tuanya. Tetapi tidak ada saksi mata yang melihat langsung kejadian tersebut.

Sementara dugaan kasus kekerasan pada proses penyelidikan atas Azwar saat ini masih diinvestigasi oleh Propam Mabes Polri dan Polda Metro Jaya. Tim Propam ini telah meminta keterangan dari pekerja kebersihan JIS yang juga mendapat tindakan kekerasan saat pemeriksaan.

BACA JUGA: