Damir, 15 tahun, tampak terengah-engah mendorong kereta lori, urat pun terlihat menonjol dari balik lengannya. Keringat mulai mengucur dari  dahinya. Pada siang yang terik itu, Damir tak mempedulikan sengatan matahari ia terus mendorong kereta lorinya di atas rel. Agus dan sejumlah teman sebayanya yang kebanyakan telah putus sekolah memanfaatkan lori sebagai angkutan alternatif untuk warga kampung Bandan, Pademangan, Jakarta Utara.

Bekas jalur rel kereta milik PT KAI yang tak lagi berfungsi di sekitar permukiman mereka itu dimanfaatkan sebagai jalur lori sejak beberapa tahun silam. Warga memanfaatkan jasa lori untuk transportasi menuju ke ke pasar dan tempat lain karena dari pada harus berjalan kaki.  Dengan 2000 rupiah jauh lebih murah dibanding ojek atau  angkutan lain yang ongkosnya berkisar 5000 rupiah.

Para penarik lori ini rata-rata anak-anak usia sekolah seperti Damir, mereka terpaksa menarik lori, setelah putus sekolah. Mereka yang sebagian dari keluarga tidak mampu di sekitar bantaran rel terpaksa harus mencari nafkah dengan cara ini karena  tak ada pekerjaan lain yang bisa mereka lakukan. "Cuma sampe SD, ibu gak cukup duit buat biayain, biar adik aja yang sekolah,"ujar Damir yang orang tuanya hanya bekerja sebagai pedagang es keliling ini.

Dalam sehari Damir bisa mengumpulkan Rp15000 sampai Rp 20.000. "Kalau sore kadang ramai orang pulang kerja banyak yang naik minta antar," tambah Damir.

Pekerja Damir mendorong lori menjadi lebih berat saat mereka berpapasan dengan lori lainnya, karena harus mengangkat lori dan membiarkan lori lainnya melintas di rel yang sama.

Selain sebagai penarik roli, Damir dan teman-temannya juga mencari nafkah dengan membantu membawakan belanjaan orang-orang yang berbelanja di pusat perbelanjaan di sekitar daerah mereka dan mengangkutnya dengan lori.  

Suatu keadaan yang miris menyaksikan anak seusia sekolah seperti Damir dan teman-teman harus kehilangan masa bermainnya dengan bekerja.Di saat anak-anak lain bisa memperoleh pendidikan yang layak, Damir dan kawan-kawannya harus bekerja membanting tulang.

Data UNESCO mencatat bahwa di Indonesia, terdapat lebih dari 1,8 juta anak putus sekolah setiap tahun karena biaya pendidikan mahal. Artinya,setiap menit ada empat pelajar putus sekolah. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan juga mencatat bahwa 1,3 juta anak berusia 7-15 tahun terancam putus sekolah dan tidak meneruskan pendidikannya.

(Edy Susanto/Gresnews.com)

BACA JUGA: