JAKARTA, GRESNEWS.COM - Kebijakan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menaikkan harga gas dan listik dinilai akan memperlemah daya beli masyarakat. Kebijakan tersebut juga dituding lebih berhaluan neo liberal.

Pengamat dari Energy Watch Indonesia Ferdinand Hutahaean mengatakan kebijakan bidang energi terutama minyak, gas dan listrik yang dikeluarkan pemerintah saat ini mengandung semangat kapitalis. Dimana mereka memandang rakyat sebagai obyek yang tidak perlu dilindungi dari gejolak pasar. Bahkan dia menilai kebijakan tersebut memaksa rakyat untuk membayar inefisiensi perusahaan pengelola dalam bidang energi terutama PT Pertamina (Persero) dan PT PLN (Persero).

Menurutnya kedua BUMN tersebut selalu mengungkapkan kerugian yang diderita oleh perusahaan. Namun kerugian tersebut bukan dikarenakan beban subsidi semata,  tetapi justru disebabkan akibat tidak efisiensinya  pengelolaan dan besarnya pengaruh mafia di bidang tersebut.  "Akibatnya mengambil hak rakyat secara paksa atau yang disebut korupsi," kata Ferdinand kepada Gresnews.com, Jakarta, Senin (5/1).

Ferdinand menilai kebijakan yang diterapkan Menteri ESDM Sudirman Said, terkait Pertamina dan PLN seharusnya dikaji secara matang. Menurutnya dampak pelemahan daya beli masyarakat seharusnya yang menjadi pokok pertimbangan utama dan bukan menempatkan keuntungan perusahaan sebagai pokok pertimbangan utama.

"Manfaat negara bagi rakyatnya apa? Bukankah negara hadir untuk meringankan beban rakyat dna bukan memaksa rakyat mengambil beban negara? Ini terbalik," kata Ferdinand.

Menurutnya cara berpikir pemerintah melalui Menteri ESDM sudah menyalahi dan bertolak belakang dengan cita-cita trisakti Bung Karno serta nawa cita Jokowi. Menurutnya, dengan cara seperti itu, Indonesia tidak akan bisa berdaulat dan mandiri. Hal yang akan selalu terjadi akan membuat rakyat Indonesia marah sebab harapannya sangat jauh untuk mendapatkan perbaikan hidup dengan memilih Jokowi.

Ferdinand menyarankan Presiden Jokowi untuk segera merombak Kabinet Kerja,  khususnya Menteri ESDM dan Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Bahkan Presiden Jokowi diminta mengganti direksi Pertamina dan PLN yang hanya mengusung agenda kapitalis dan kelompok tertentu.

"Apa yang telah ditetapkan Menteri ESDM dan Pertamina serta PLN seharusnya dikaji dulu secara matang," kata Ferdinand.

Sementara  Direktur Eksekutif Indonesia Resources Studies (IRESS) Marwan Batu Bara menilai masyarakat harus siap menanggung beban jika harga minyak dunia melambung tinggi sebab pemerintah sudah mencabut subsidi BBM. Dia mencontohkan jika harga harga minyak dunia turun menjadi US$60 per barel dengan nilai tukar rupiah sebesar Rp12.300, maka harga premium sekitar Rp7.600. Namun jika harga minyak dunia melambung tinggi dikisaran US$100 per barel dan pemerintah sudah mencabut subsidi BBM, maka masyarakat harus menanggung beban harga premium sebesar Rp11.000 per liter.

Menurut Marwan sebelum mencabut subsidi BBM, seharusnya pemerintah mempersiapkan program-program perlindungan sosial, seperti sarana konversi ke bahan bakar gas (BBG), energi alternatif dan peningkata fasilitas transportasi massal. Menurutnya jika hal itu dijalankan dan pemerintah sudah mencabut subsidi BBM, maka rakyat tentunya tidak akan kesulitan jika menghadapi harga minyak dunia naik.

"Sebetulnya yang lebih parah adalah kebijakan pemerintah dengan mencabut subsidi BBM. Akibat buruknya setelah harga BBM kembali normal. Tega benar ini pemerintah," kata Marwan.

BACA JUGA: